Kredibilitas bisnis dan profesionalisme

I tried out split toning in Photoshop. Then, f...
Image via Wikipedia

Kehebohan yang timbul karena kasus Malinda Dee, tersangka penggelapan uang nasabah sebuah Bank Asing di Jakarta, tampak menghiasi media-media. Kehebohannya berwarna-warni, tapi jelas yang menjadi substansi penting adalah kenyataan bahwa kredibilitas manajemen perbankan menjadi ‘renyah’ untuk didiskusikan.

Kehebohan Briptu Norman Kamaru, seorang polisi dengan kemampuan entertainer, mulai menggelinding dari youtube dan menjadi selebritis baru. Ini menjadi lebih menarik karena Briptu Norman naik daun saat ada pemboman di masjid mapolresta Cirebon. Menarik, karena sebanrnya ise pemboman yang menyerang kesatuan Polri relatif kalah populer dengan Briptu Norman. Polri memang naik daun lagi belakang ini, tapi karena ada anggotanya yang pandai bernyanyi.

Banker senior, tapi terkenal karena ketidakprofesionalannya. Polisi yang membangun impresi lebih baik di mata rakyat, namun sayangnya bukan karena mereka makin sukses dalam menjalankan perannya sebagai tulang punggung keamanan negeri ini. Saya merasa bahwa kita harus lebih memperhatikan betapa banyak profesi yang mengalami proses menjadi ‘tidak jelas’, dan bisnis yang mengalami ujian kepercayaan.

Ini tidak hanya menjangkiti polisi dan perbankan. Sepertinya fenomena yang sama muncul pada profesi dokter, guru, ahli hukum, bahkan politisi. Semua terkesan menjadi kabur.

Kasus Malinda Dee membuat kita bertanya-tanya, apakah kepercayaan justru membuat seseorang bisa sebegitu bebasnya memainkan hak milik orang lain, hingga tidak bisa digeser dari posisi yang sama selama belasan tahun? Kisah Briptu Norman, yang hampir dihukum, tapi kemudian malah jadi populer, membuat kita menyadari bahwa citra polisi di mata rakyat lebih efektif diperbaiki melalui nyanyian.

Ada apa sebenarnya dengan bisnis dan profesi dalam masyarakat kita?

Ada yang bilang bahwa sekarang saatnya menjadi serba bisa? Tapi benarkah demikian? Apakah keserbabisaan Malinda Dee adalah serbabisa yang kita inginkan dalam bisnis dan profesi kita?

Saya pribadi sangat mengagumi Briptu Norman dengan ketrampilannya. Tapi benarkah kita mengharapkan polisi kita lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai selebritis daripada mengoptimalkan dirinya dalam peningkatan keamanan publik? Briptu Norman memang serbabisa, namun apakah itu keserbabisaan yang kita harapkan terjadi pada kepolisian kita?

Saya pikir, ada banyak hal yang perlu kita refleksikan bagi masa depan masyarakat kita.

(Tulisan ini sudah saya unggah di kompasiana saya pada tanggal 16 April 2011)

9 thoughts on “Kredibilitas bisnis dan profesionalisme

  1. Saya pikir kita perlu melakukan redefinisi pada dua konsep itu, yakni kredibilitas bisnis, maupun profesionalisme.

    Bisnis adalah soal cinta dan pengembangan karakter (jujur, inovatif) di dalam menciptakan produk yang bermakna. Sementara profesionalisme adalah soal penguasaan keahlian tertentu, dan pengabdian total pada perkembangan masyarakat. Dua hal itu yang harus tertanam di dalam dunia pendidikan kita.

    1. Setuju. Itulah yang harus dilakukan secara sistemik, mulai dari tataran filsafat, edkasi hingga praksisnya. Dengan demikian, masyarakat akan melihat bahwa kemungkinan perubahan ke arah lebih konstruktif adalah keniscayaan.

  2. belakangan ini juga aq juga bertanya-tanya pak, apakah sekarang tugasnya briptu norman itu cuma jadi artis ya, harusnya kan dia sebagai polisi ya menjalankan tugasnya sebagai polisi, eh tapi malah diberi ijin khusus untuk mendatangi acara-acara di televisi. saya jadi heran pak, sekarang malah banyak polisi yg mencari ketenaran gara-gara briptu norman, secara kualitas suara saya mengagumi pelafalan bahasa indianya pak, tapi kalau menjalankan tugasnya saya jadi ragu…apalagi dia diberikan banyak keuntungan dari ketenarannya itu, bisa-bisa polisi beralih profesi semua….polisi Indo udah sedikit malah tambah sedikit nanti pak….

    1. Hehehe….itulah yang aku coba angkat dalam tulisan ini, Len. Profesi dan bisnis memang harus berevolusi seiring perkembangan jaman, tapi artinya esensi yang sama dimaknai dengan cara baru. Yang terjadi sekarang adalah hilangnya esensi, bukan evolusi, dan, ini tidak hanya pada polisi. Ini terjadi di berbagai macam bisnis dan profesi.

      1. Aku setuju bahwa saat ini orang harus serba bisa, terlebih jika punya talent. Contohnya, ya aku sendiri. main job saya adalah IT, tapi saya juga bisa berperan jadi orang purchasing, marketing, dll. disini saya punya kesimpulan orang sekarang harus bisa kerja multitasking karena perusahaan saat ini punya trend untuk eksplorasi kemampuan SDM nya dengan berbagai alasan, yang paling valid adalah efisiensi (you know what I mean). dalam keseharian saya sebagai praktisi sekaligus “kuli”, saya bisa belajar satu hal penting dalam menyelesaikan pekerjaan saya secara professional, yaitu dengan priority. Dalam kasus Briptu Norman, menurut saya sah-sah saja dia mau kembangkan bakat nyanyi, asalkan dia bisa bagi prioritas dalam menyelesaikan pekerjaannya baik sebagai aparat negara maupun penyanyi. Kesempatan untuk dapat “fulus” tambahan harus dimanfaatkan sebijaksana mungkin mengingat revenue dari main job di Indonesia masih kurang, bahkan masih jauh dari standard negara lain.

      2. Saya sepakat bahwa multitasking dan penggunaanya sebagai solusi ekonomi. Tapi saya berpendapat bahwa proses demikian tidak boleh mengorbankan tanggungjawab profesi, seperti pendapatmu tentang Briptu Norman. Soalnya, kalau terlalu ekstrim, lama-lama justru tidak ada value.

  3. Thanks for correction. Value itu ada karena adanya tanggungjawab atas profesi yang dijalani. Karena itu dibutuhkan kebijaksanaan yang didukung strong commitment atas tanggungjawab & resiko dari profesi yang dijalani agar tidak ekstrim.

Any thoughts?