Ingin lebih baik? Just do it right!

Sand
Image by Ela2007 via Flickr

Beberapa waktu lalu saat saya sedang mempersiapkan sebuah aktivitas employee engagement, sebuah obrolan tiba-tiba menyadarkan satu hal yang bisa dibilang cukup lucu. Saat itu, obrolan itu membicarakan tentang betapa rasa peduli dan antusiasme, yang tentunya merupakan hal-hal yang positif, bisa membuat kita bertengkar.

Cinta dan keluarga merupakan contoh yang sangat pas untuk ini. Banyak sekali pertengkaran dan konflik yang sebenarnya terjadi bukan karena kita tidak peduli dan tidak antusias, tapi justru karena kita terlalu peduli dan terlalu antusias.

Ya! Justru ‘terlalu’, bukannya ‘kurang’.

Lihat saja betapa banyak pertengkaran terjadi karena semua menginginkan yang terbaik, tapi ternyata penafsiran tentang apa yang terbaik itu berbeda. Banyak konflik dan kecemburuan terjadi karena disebabkan oleh rasa antusias terhadap satu sama lain yang begitu tinggi, sehingga luapan emosional mengelabui akal sehat yang jernih. Atau, bisa juga dikatakan, kadar rasa memiliki kita yang berlebihan membuat kita kesulitan melihat realitas yang sesungguhnya.

Padahal, untuk membuat situasi lebih baik, kita harus mampu menerima situasi riil apa adanya. Yang saya maksudkan sebagai apa adanya adalah melihat situasi yang ada sebagaimana situasi itu terjadi, terlepas betapa besar harapan dan antusiasme kita tentang situasi itu. Beberapa orang mungkin menyebut ini sebagai obyektifitas, tapi menurut saya tidak ada yang namanya obyektifitas dalam hal begini. Semuanya kontekstual, semuanya punya perspektif dan proporsinya sendiri.

Oleh karena itu, reaksi kita, entah berupa kepedulian, antusiasme atau pesimisme sekalipun; harus sesuai dengan proporsinya. Tidak berlebihan, dan tidak juga kurang. Sesuatu yang tepat dilakukan di kondisi A sangatlah mungkin tidak akan berjalan di kondisi B. Yang benar di masa lalu sangat boleh jadi akan gagal di konteks masa kini. Di era yang penuh kemungkinan seperti ini, bersikap bijak dan jeli agar bisa bereaksi dengan tepat dan benar menjadi amatlah penting.

Ini menyadarkan kita akan sesuatu: Kita suka menjadi lebih hebat, lebih hebat, lebih keras dan lebih-lebih yang lain, tapi lupa sebenarnya bagaimana melakukan dengan tepat.

Kalau kita bekerja keras, kita kemudian berkeyakinan secara membuta untuk lebih keras lagi, tanpa mencoba berefleksi apakah kita sudah melakukan oekerjaan kita dengan benar. Di bidang ekonomi, kita bangga dengan peningkatan jumlah orang yang bekerja dan jumlah usaha baru. Tapi kita tak melihat apakah para pekerja tersebut mendapat pekerjaan tetap, atau pekerjaan kontrak jangka pendek yang akan mengantar mereka menjadi penganguran lagi dalam beberapa bulan ke depan. Kita tidak melihat lebih jauh, apakah usaha-usaha baru itu sudah siap bertahan dan bersaing di masa depan, atau tinggal menunggu waktu untuk berguguran.

Di dunia pendidikan, kita berlomba lulus dengan nilai tinggi dengan gelar akademik yang tinggi, dan menghasilkan lebih banyak hasil penelitian setiap tahunnya. Tapi kita lupa apakah kita menghasilkan orang-orang pintar dan bergelar yang kiprahnya sungguh memajukan masyarakat.  Dan, apakah kita sudah melihat lebih jeli sejauh mana penelitian-penilitian tersebut benar-benar penelitian yang valid dan berguna?

Bahkan, dalam hal-hal sederhana dalam keseharian, seperti makan dan kesehatan. Kita makan lebih banyak apapun yang kita anggap baik untuk tubuh, tapi lupa untuk memikirkan apakah pola makan itu sudah benar. Kita juga suka mengkonsumsi lebih banyak vitamin dan obat-obatan, dengan harapan kita akan makin sehat. Padahal, yang lebih penting adalah mengkonsumsi vitamin dari makanan dengan benar sehingga badan kita sehat.

Saya pikir, dalam segala hal di kehidupan kita, yang paling penting bukan soal lebih banyak atau lebih sedikit; tapi apa kita sudah melakukan dengan benar. Untuk menjadi lebih baik dalam apapun yang kita lakukan dan kerjakan, yang penting adalah: just do it right!

6 thoughts on “Ingin lebih baik? Just do it right!

  1. Tampaknya kamu merekomendasikan fenomenologi sebagai sebuah cara hidup. Artinya orang selalu diajak untuk melihat realitas sebagaimana adanya, sedapat mungkin tanpa dibebani prasangka ataupun penilaian tertentu. Namun Thomas Kuhn berulang kali menegaskan, “observation is theory laden”. Kita tidak bisa lepas dari “teori”, atau horison pengertian yang menjadi latar belakang setiap tindakan, perkataan, maupun keputusan yang kita buat. Kata “benar” pun seringkali theory laden.

    Saya tidak mau jadi relativistik disini, tetapi juga tidak mau menjadi universalistik yang percaya ada kebenaran universal yang berlaku kapanpun, dimanapun, dan untuk siapapun. Tapi seperti yang kamu tulis, yang amat dibutuhkan sekarang ini adalah kesadaran kritis terhadap apa yang baik dan apa yang benar, sehingga kita bisa terus mengkaji apa yang sungguh kita anggap baik, atau benar dalam hidup kita.

    1. Hahaha….kamu benar. ‘apa adanya’ pun juga theory-laden 🙂 Tapi menyadari bahwa semua adalah dalam frame kita masing-masing membuat fenomenologi menjadi berguna sebagai praktek keseharian. Main point-nya adalah kesadaran atas apapun yang kita hidupi.

  2. Right Man on the Right Place. “BAIK” adalah hasil pencapaian atas suatu proses. Agar bisa melakukan yang lebih baik, maka kita perlu yang namanya right roles & place to do it.

Any thoughts?