Saya yakin anda cukup akrab dengan apa yang disebut kafe. Tidak berarti anda harus orang yang hobby-nya hang-out di kafe, alias ngafe. Di jaman dimana kafe menjamur bagaikan warung di tepi jalan, kita tidak harus jadi orang yang sering ngafe untuk tahu apa itu kafe.
Di kafe-kafe inilah terjadi kehidupan yang informal, yang biasanya merupakan urusan pribadi, tapi bisa juga yang terkait pekerjaan tapi dilakukan secara informal. Banyak orang bersantai di kafe. Namun banyak pula yang ke kafe untuk membicarakan pekerjaan. Ini adalah masa dimana relasi informal tercipta dengan sedemikian rupa, dan menjadi suatu pilar penting dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks organisasi atau pekerjaan, interaksi informal sangat berguna untuk memperpendek jarak komunikasi. Namun itu hanya bisa terjadi dalam suasana informal. Lingkungan ‘ruang minum kopi’ ini kini menjadi salah satu simbol budaya yang penting, merepresentasikan kerinduan dan kebutuhan kita untuk situasi yang lebih informal.
Nah, saya tidak berencana membahas efektivitas komunikasi informal disini. Itu sudah banyak dibahas selama bertahun-tahun. Saya justru ingin menunjuk pada kenyataan yang tak disadari bahwa kita sudah hidup dalam ‘dunia birokrat’. Keberadaan ‘dunia birokrat’ inilah yang membikin kita jengah, dan akhirnya mendorong kita mencari jalan keluar melalui ruang fleksibel dan informal dalam bentuk ‘ruang minum kopi’.
Apa yang saya maksud dengan ‘dunia birokrat’?

Itu adalah mekanisme kehidupan kita yang dipenuhi lima hal yang tadinya baik dari birokrasi. Saya gunakan kata-kata ‘tadinya baik’ karena memang pada awal mulanya, kelima hal ini adalah baik adanya. Namun jelas sekali kita melihat bahwa kelimanya sering kali sudah dipelintir dan tersesat menjadi lima ‘penyakit’ birokrasi.
Lima hal yang tadinya baik itu adalah:
1. Perwakilan atau representasi
Pada awalnya representasi ini adalah untuk membantu menjembatani proses yang panjang melalui fungsi perantara. Namun, peran ini mudah sekali menjadi fungsi per’calo’an dan penghambat proses, sebagaimana kerap kita saksikan dalam birokrasi, karena berbagai alasan.
2. Proses dan tahapan-tahapan
Semua butuh proses, itu benar. Namun proses yang berputar-putar tanpa ujung dan tanpa hasil bukan proses yang benar, apapun alasannya. Birokrasi dan para birokrat di dalamnya menentukan apakah prosesnya menjadi lebih efektif dan efisien, atau malah lebih ruwet dan ngawur.
3. Kontribusi
Kontribusi perlu sekali dalam semua proses. Namun ketika kontribusi harus terus diberikan, sementara hasil tidak kunjung ada, itu jelas tidak beres. Apalagi bila situasi macam ini dianggap sudah sewajarnya, dan kontribusi dianggap sebagai kewajiban, tanpa disadari bahwa proses yang ada sudah bagaikan black-hole yang terus menyedot tanpa menghasilkan apapun.
4. Deklarasi dan retorika
Retorika penting untuk memberikan arah dan konsep. Deklarasi penting untuk memotivasi dan sosialisasi. Tapi retorika yang tidak dipraktekan secara konsisten adalah tragedi, dan deklarasi yang tidak berujung pada hasil adalah tindakan bunuh diri. Sering sekali kita menyaksikan para ‘birokrat’ yang sibuk dengan deklarasi dan retorika tanpa aksi ini di sekitar kita.
5. Dokumentasi dan regales
Dokumentasi dan regulasi adalah penting agar sistem terjaga dan dipatuhi. Tapi kalau dokumentasi dan regulasi malah membuat segala hal lebih tidak bisa dijalankan daripada bisa dijalankan, maka itu adalah ‘penyakit’. Atau apabila dokumentasi dan regulasi yang ada adalah formalitas bohong-bohongan (proforma).
Kelima hal di atas bukanlah hal buruk. Itu semua baik dan penting. Yang bermasalah adalah manusianya. Lebih tepatnya, mental birokrat yang jelek lah yang membuat 5 hal di atas menjadi ‘penyakit’. Birokrat, sebagai jembatan, bisa memperlancar proses berubahnya sumber daya menjadi apa yang dibutuhkan stakeholder dengan sangat cepat dan tepat. Atau, sangat lambat dan tidak sesuai harapan. Bukannya menjadi jembatan, birokrat malah bisa menjadi beban bagi proses.

Penting sekali untuk diingat, birokrat tidak hanya ada di dalam birokrasi pemerintahan, tapi di semua organisasi! Di dalam bisnis pun, para professional yang menjalankan administrasi bisnis pun adalah birokrat. Dalam lembaga sosial non-bisnis pun terdapat para relawan administrasi dan koordinasi, yang sebenarnya adalah birokrat juga.
Banyak contoh untuk ini. Proses demokrasi Indonesia yang lebih merupakan demokrasi prosedural yang sarat dengan birokrasi bermasalah. Atau bisa juga perusahaan-perusahaan besar yang sulit berubah, sibuk dengan birokrasi administrasi yang membuat mereka raksasa tambun yang lamban dan berpenyakitan, tapi masih beruntung karena branding mereka masih mendukung. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, kita bisa melihat gencarnya pendidikan dan pelatihan sibuk dengan sertifikasi, yang lebih merupakan proses birokrasi yang lebih mendominasi daripada esensi peningkatakn kemampuas SDM itu sendiri.
Bahkan di kalangan yang sering dianggap sebagai peran atau profesi yang independen pun, ada juga mereka-mereka yang sibuk dengan administrasi, koordinasi, komunikasi dan organisasi. Jadilah mereka birokrat, sehingga kita mengenal adanya birokratnya asosiasi wartawan, birokratnya komunitas seniman, birokratnya persatuan olahragawan, birokratnya kelompok pecinta lingkungan, dan juga birokratnya kaum agamawan.
Kuncinya adalah pada ‘mental birokrat’nya, apakah mereka termasuk birokrat yang melalui pengaruhnya membuat 5 hal baik di atas jadi 5 penyakit atau tidak. Birokrat jenis mana yang pada realitanya lebih banyak, saya rasa saya tidak perlu menjawab karena anda semua sudah tahu.
Itulah inti masalah yang kerap kita saksikan di sekitar kita: ‘Mental birokrat’ yang acap kali bukan lagi memperlancar, tapi justru memelintir proses.
Saya rasa kita secara kolektif dan mungkin tidak begitu disadari mengalami kejenuhan dan kejengahan terhadap begitu kuatnya ‘mental birokrat’ yang menghambat dalam banyak sisi kehidupan kita. Maka kita terdorong untuk mencari ruang informal untuk memecah kebuntuan.
Sekali lagi, ini bukan hanya soal mencari situasi informal karena jenuh dengan formalitas. Perubahan perilaku ini menandakan keinginan untuk ‘memotong kompas’ melalui setting informal, dimana hal-hal yang selama ini kerap terlilit oleh ‘mental birokrat’ yang memperlambat bisa diatasi. Kafe seperti halnya interaksi bisnis di lapangan golf, dimana pertemuan-pertemuan yang tampak informal bisa jadi malah sangat strategis.
Mungkin kita telah membiarkan masyarakat kita terjerumus terlalu jauh dalam ‘dunia birokrat’. Dan kini kita ‘memberontak’.
thx atas ini James. Aku setuju. Tapi, darimana dan mengapa mental ini bisa muncul dan berkembang? Jadi inget kata-katanya Robespierre dulu. Revolusi tidak muncul dari tempat2 mewah, seperti kampus, tetapi dari kafe yang jauh dari para birokrat.
Kemunculan mental birokrasi adalah sesuatu yanga alamiah dalam organisasi, Za. Seperti munculnya regulasi ekonomi dan sistem keuangan dalam upaya manusia memenuhi kebetuhan hidup. Ini adalah paradoks hidup sosial, dimana pada tingkat perkembangan tertentu, ketika kompleksitas melampaui kemampuan kita mengatur secara sederhana dan informal, maka diperlukan sistem pengaturan berdasar konvensi tertentu. Itulah proses dimana birokrasi, dan birokrat, diperlukan.
Nah ketika sistem yg tadinya diciptakan untuk menyokong dan menjembatani kompleksitas ini menjadi terlalu mondominasi, bahkan membelokkan dari esensinya, jadilah masalah.
Seperti halnya sistem ekonomi yang malah membahayakan ekonomi, birokrasi (dan mentalitas birokrat) bisa membahayakan organisasi kalau tidak terkendali.