Nyleneh

 

The Dali Atomicus, photo by Philippe Halsman (...
Image via Wikipedia

Ada seseorang yang saya kenal, yang menurut saya benar-benar unik. Yang saya maksud unik bukan sekedar ‘unik’ dalam artian tampil beda seperti yang lagi ngetrend dalam budaya populer saat ini.

Orang yang saya bicarakan ini adalah seseorang yang sangat lemah dalam komunikasi verbal, sangat suka berpikir kompleks, dan dia sangat kebal terhadap reaksi orang lain. Tidak hanya itu, ia sering mengakibatkan masalah untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain. Seringkali masalah timbul karena kemampuan komunikasinya, dan juga karena dia nggak nyambung dengan rekan kerjanya.

Namun, dengan begitu banyak kegagalan, dia tidak pernah putus asa. Saya pribadi melihat bahwa dia benar-benar gambaran yang sangat pas untuk ungkapan ‘bermental baja dan daya juang tinggi’. Beberapa orang malah memperoloknya dengan sinis melalui ungkapan ‘kulit tebal otak bebal’. Bagi sebagian orang, dia dipandang teguh prinsip. Bagi sebagian lagi, dia bebal dan tidak bisa belajar.

Sejujurnya, saya juga jadi ragu atas penilaian saya sendiri hehehe….. 🙂 Ini karena saya melihat kedua sisi pandangan memiliki kebenarannya sendiri. Berdasar pengalaman bekerja pada yang bersangkutan, saya tahu bahwa dia memang cukup kuat dalam memperjuangkan yang ia yakini, dan……ia memang sulit belajar dari kegagalan, walau ia tercebur ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Inilah keunikan dia.

OK, kita bisa berhenti diskusi di sini, dan langsung menyepakati bahwa dia bebal ya urusan dia. Habis perkara! Tapi saya tetap terusik dengan kenyataan bahwa ada orang seperti ini itu adalah sesuatu yang menarik. Apalagi mengingat bahwa dalam sejarah, banyak orang yang ‘unik’ alias nyleneh macam ini, dan setelah seakan seluruh dunia mencibir kebebalan mereka…..eh ternyata mereka merubah sejarah. Tapi…..sulit juga mengetahui yang mana yang orang nyleneh yang akan merubah sejarah, dan yang mana orang nyleneh yang kebetulan nyleneh aja.

Mungkin agak sulit menemukan petunjuk untuk membedakan mana yang nyleneh tapi merubah sejarah, dan mana yang nyleneh aja tanpa manfaat bagi lingkungannya. Saya bahkan juga mempertanyakan apakah betul  nyleneh itu masalah yang terletak pada orang lain? Seringkali ketika seseorang mengatakan orang lain nyleneh, itu seringkali disebabkan karena orang tersebut tidak menemukan titik temu dengan orang yang dikatakan nyleneh itu. Nyleneh digunakan untuk membentuk representasi yang sifatnya personal pada orang lain ketika tidak ada titik temu dalam interaksi, padahal masalahnya mungkin justru terletak pada yang mengatakan ‘nyleneh’ itu. Saya temukan ini sebagai hal yang jamak di tempat kerja, dan menyisihkan sejenak waktu untuk memahami karakter nyleneh ini sebenarnya menyenangkan.

Maksud saya, profil-profil unik ini menarik untuk dipahami…..walau untuk sebagian orang mungkin tidak menarik untuk diajak kerjasama hehehe 🙂 Dan peringatan saya: jangan sok jadi psikolog disini, dan kemudian mengeluarkan penilaian-penilaian kepribadian sembarangan. Karena orang nyleneh kemudian dengan mudah dicap ‘gila’ dan sebagainya, eh ternyata dia justru orang yang nantinya punya pengaruh luar biasa. Profil-profil begini sulit diajak kerjasama karena kita yang tidak paham bagaimana dunia dan cara pikir mereka. Tapi sekali kita paham dunia mereka, bekerja dengan mereka akan menjadi pengalaman luar biasa.

Bila kita bersikap apresiatif pada ke-nyleneh-an mereka, dan mencoba memahaminya sebagaimana kita mencoba memahami makna waktu dalam lukisan Salvador Dali, atau bentuk-bentuk dalam coretan Affandi; mungkin kita akan melihat sesuatu di balik ke-nyleneh-an itu. Kalo ternyata tidak, ya sudah, tidak ada ruginya. Kita toh tetap jadi belajar bagaimana berurusan dengannya, dan tentunya memahami sejauh mana kita bisa mengharapkan sesuatu darinya 🙂

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

27 thoughts on “Nyleneh

  1. ya. Dulu saya pernah berpikir2 iseng, kalo orang itu sukses, ia disebut sebagai tokoh yang punya prinsip dan integritas. Sebaliknya kalau orang itu gagal, ia dianggap keras kepala. Dua label yang sama sekali berbeda untuk memahami fenomena yang kurang lebih serupa, yakni kengototan.

    Namun apa yang membedakan keduanya? Dari sudut pragmatisme mungkin hasil dari tindakanlah yang membedakan keduanya. Si punya prinsip berhasil memberikan kontribusi pada dunia. Maka itu ia disebut sebagai orang sukses. Sementara si keras kepala ngotot, namun tidak memiliki kontribusi apapun pada masyarakat ataupun orang-orang sekitarnya. Maka itu ia dianggap menyebalkan. Tapi apakah penilaian pragmatis ini mencukupi?

    Secara eksistensialis keduanya serupa, yakni berpegang pada satu nilai di dalam hidup mereka, dan tidak ragu-ragu mewujudkannya. Keduanya hampir tak terbedakan.

    Saya punya hipotesis begini. Si orang punya prinsip berpegang pada satu nilai yang ia peroleh dari permenungan yang mendalam atas berbagai peristiwa hidupnya. Dengan kata lain nilai yang ia pegang lahir dari pergulatan eksistensial yang mendalam sekaligus menyakitkan. Sementara si keras kepala berpegang pada satu nilai begitu saja, tanpa permenungan, dan bahkan cenderung ikut2an trend semata, tanpa ada kedalaman atau visi yang jelas. Maka konsep yang membedakan keduanya adalah “kedalaman permenungan atas nilai yang dipegang” tadi.

    Orang pertama akan menjadi panutan. Orang kedua akan menjadi pecundang. Waktu dan hasil yang akan membuktikan obyektivitas penilaian ini. What do u think?

    1. Saya sepakat. Bukan hanya semaat prinsip, tapi idealisme dan keluwesan yang melekat pada prinsip itu yang menentukan. Tanpa idealisme, itu namanya keras kepala yang destruktif. Tanpa keluwesan, itu namanya tidak pragmatis, sehingga tidak berpijak pada bumi. Idealisme dan keluwesan hanya bisa muncul melalui refleksi mendalam dan terus-menerus atas prinsip itu. Bila ini tidak ada, kekeraskepalaan itu hanya menjadi ide berkerak yang kehilangan esensinya, dan tanpa esensi, tidak ada hasil.

      1. Setuju. Ada beberapa paradoks yang bisa dihayati disini. Otentik pada prinsip sekaligus luwes dalam praksis. Mencebur dalam praksis sekaligus berjarak-reflektif dari mentalitas massa yang cenderung ikut2an. Kebijaksanaan ada di dalam paradoks2 hidup tersebut.

  2. Sepengetahuan saya, malah ada beberapa orang yang ketimbang berusaha mencuci bersih reputasi mereka (memutihkannya kembali), mereka lebih suka menggelapkannya dan semakin menggelapkan lembar hidup mereka dengan kontroversi, isu dan mitos yang “gelap”. Mereka dicerca, dikutuk, diasingkan, dianggap sampah oleh media dan masyarakat.

    Tapi toh akhirnya jauh setelah kematiannya mereka malah balik dianggap orang suci dan juga sekaligus orang yang paling salah dimengerti. Kenyataannya adalah, saat pola pikir masyarakat sudah berkembang sedikit lebih maju, baru mereka mengerti kenapa figur yang begitu menjijikkan dulunya itu bertahan dengan prinsip kakunya itu, karena dia merasa dirinya itu benar, dan memang prinsipnya itu terbukti lebih benar daripada cara pandang masyarakat pada umumnya.

    Menurut saya pribadi, sudah dari sananya orang2 yang kita cap “beda” itu tidak kita sukai. Dan kita cenderung merasa asing dengan orang semacam itu. Lalu barulah ketika ada suatu pemicu bagi jalan pemikiran kita untuk mengambil langkah yang berbeda dari yang biasa kita ambil, barulah kita bisa mulai memahami jalan pikiran orang yang “beda” itu.

    1. Betul sekali! Memahami perbedaan memang sangat sulit, karena kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Ini semua karena pada hakikatnya, frame dan worldview kita membantu kita memahami dunia, sekaligus juga membatasi kita untuk melihat warna-warni di dalamnya. Makanya George Bernard Shaw pernah mengatakan bahwa dari sejarah kita belajar bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah 🙂

      Soal ada yg membiarkan dirinya menjadi kontroversi, saya punya catatan khusus. Ada orang yang demikian karena memang berprinsip. Ada yang demikian karena bebal dan tidak punya kepedulian aja (ignorant).

    2. Itu disebut heterophobia. Kita semua memilikinya. Ellias Canetti dalam bukunya yang berjudul Crowds and Power pernah menulis, “Tidak ada yang lebih ditakuti manusia daripada persentuhan dengan yang lain.” Yang lain itulah yang berbeda.

  3. Saya jadi teringat dalam banyak kasus di dunia kerja, terutama organisasi, perbedaan selalu menjadi simalakama yang sangat dilematik. Satu sisi jelas untuk organisasi agar kreatif dan sustainable, diperlukan perbedaan dan kenyelenehan yang kuat prinsip plus luwes pragmatis seperti diskusi kita di atas. Tapi banyak sekali orang yang merasa tak nyaman dengan perbedaan, kenyelenehan dan beragam kemungkinan.

    Bahkan, sekalipun manusia selalu menuntut sebanyak mungkin kemungkinan dan kebebasan, mereka juga mudah dongkol ketika benar-benar dihadapkan dengan banyak kemungkinan-kebebasan-perbedaan. Kalau sudah begini, kebanyakan orang bukannya berefleksi, tapi malah mencari kestabilan dan ketetapan semu melalui otoritas manusia (rezim otoriter) atau otoritas yang seakan ilahi (dogma agamis dan sosial). Karena akhirnya lebih enak serba teratur-patuh-sama………Hehehehehe……

    Kalau di dunia industri, inilah yang membuat organisasi macet dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman 😉

    1. Manusia-manusia lemah selalu mencari kepastian dan kenyamanan, kata Nietzsche. Mereka rindu untuk dikuasai dengan aturan dan hukum yang pasti, sehingga mereka tidak perlu berpikir sendiri mau berbuat apa, dan tidak perlu lagi bertanggung jawab atas akibat dari pilihan ataupun tindakannya. Kita punya banyak sekali stok manusia semacam ini. 😦

      1. huahaha stock ready d gudang yg namanya indonesia,…^^
        ya walo orang2 itu mengaggungkan kebebasan tapi apa betul itu benar2 karena memikirkan kebebasannya? itu kok seperti impian yang terjadi justru karena mereka sendiri yang hidup terkurung dalam pikirannya, tapi tidak berani buat berubah karena semua zona nyaman yang ada,.
        Jangankan keluar dari zona nyaman yang membutuhkan keberanian dan pemikiran, kebanyakan dari kita benar-benar jadi orang penganut ABS malah,.(Asal Bapak Senang)

  4. Jadi membayangkan beberapa hal,. hehe baik sebagai pelaku knyelenehan ataupun ketika punya teman nyeleh. jadi sadar kalau nyeleneh atau tidak itu pun juga relatif dengan kondisi sekeliling,..Kalau sekeliling bisa memahami dan mengerti itu ya tidak akan menjadi nyeleneh lagi. Tapi kalau tidak ya tetap saja akan dianggap nyeleneh.
    Kalau dari pengalaman saya, saya setuju skali dengan pendapat kalau nyeleneh terjadi karena perbedaan pola pikir,.
    Tapi dari perbedaan itu ada yang bisa jadi sadar kalau pikirannya beda dan berusaha untuk menyamakan pikiran, ada juga yang malah semakin kukuh sama pendapatnya sendiri. Dan akan bertambah celaka bila orang itu tidak melakukan refleksi dan hanya berusaha mematahkan opini orang tanpa menilai opininya sendiri(bebal/ignorant seperti kata bapak), atau memang orang itu benar-benar berprinsip sehingga merasa pendapatnya benar dan tidak ikut common sense (seperti kata raymond,.).
    Terkadang dari orang-orang yang nyeleneh itu qta bisa dapat sudut pandang orisinil+kreatif yang ok. Tapi karena mereka memang beda pola pikirnya, jadi butuh tenaga ekstra juga buat bisa kerja sama dengan mereka. Apalagi jenis orang yg jdi inspirasi bpk buat nulis ini, dimana orang nya mempunyai masalah juga dalam berkomunikasi,. wew, semakin mantab itu knyelenehannya,.. Dan ketika berusaha mencari titik temu, saya sependapat kalau itu kadang menyenangkan, tapi tidak selalu seperti itu,.^^”. Karena dengan berusaha memahami pikiran nya jadi harus kerja ekstra,.
    Hehe dan dapat sudut pandang lain lo yang baru kepikir hari ini setelah baca komen,. Kalau dari pandangan saya sebagai mahasiswi bapak, kadang saya juga berpikir kalau bapak nyeleneh lo,. haha,. dosen lain biasanya cuma teori, kalau bapak? haha ga perlu punya buku malah, tapi perlu logika+kreatifitas tinggi,. ^^
    Jadi kesimpulannya, menurut saya jadi orang nyeleneh itu pun tidak selalu negatif,. tergantung dari dampak kenyelenehannya (baik pada diri sendiri atau orang lain)+juga harus tetap refleksi terus menerus, biar bisa tetap nyeleneh atau berhenti bila sudah tidak esensial lagi.

    1. Walah….kok ga perlu punya buku??? Lha terus mana bisa orang punya logika kreatif kalau kurang baca? justru karena kurang baca, orang menjadi ingin dituntun dan disuapi terus menerus…..dan jadi ABS

      1. BTW, saya setuju denganmu bahwa sebenarnya nylenedh adalah semata-mata atribusi atau label. Label itu muncul sebagai akibat kesulitan kita memahami framework yang berbeda, sistem nalar yang berbeda. Itu yang membuat kita bingung dan merasa tak nyaman, lalu mengkategorikan dengan istilah nyleneh dan aneh dsb.

      2. hehehe.. sepakat sama James. Orang kreatif bukan berarti ga pernah baca buku. Yang perlu diperhatikan emang (1) buku macam apa yang dibaca dan (2) bagaimana cara membaca bukunya, diolah atau ditelen mentah2.

        Saranku sih banyak baca buku, terutama buku2 kritis, dan juga dibaca dengan cara kritis, artinya jangan gampang percaya argumennya, tapi ditimbang dulu, dilihat relevansinya, lalu dikembangkan, dan mulai ajukan argumenmu sendiri.

        Kalau ini dilakukan kita pasti jadi orang nyeleneh, apalagi di Indonesia. Tapi yah semoga nyeleneh yang reflektif dan luwes liat situasi.

  5. haha ini kliatanny harus d lurus kan soal punya buku nya,.
    ya ne buku kan memang tidak harus punya (bisa minjem ataupun baca d mbah goggle ato perpus,. walo perpus wm kadang kehilangan buku2 secara mendadak)
    kalo terus disuapi doang sama slide d kelas yang kadang cuman menawarkan permukaan bukan dalaman ny apa caranya buat proyek po,… haha,. toh rugi kalau membuat po hanya untuk menyenangkan dosennya atau mengejar nilai,.

  6. Nyleneh itu sifatnya abstract, karena variable & attribute nya buanyak sekali. tetapi perkara seseorang itu nyleneh apa nggak, tergantung dari bagaimana penilaian saya maupun lingkungan saya terhadap seseorang. Ambil contoh waktu saya berlatih wushu. ketika praktisi lain berlatih sesuai curriculum TS, saya belajar diluar aturan. bisa jadi penilaian anda maupun lingkungan TS, saya ini nyleneh, atau malah freak? tetapi terlepas dari pada result atas kenylenehan saya, pasti saya punya alasan tersendiri.
    dari kasus ini, seharusnya kita selidiki dulu kasus ‘nyleneh’ ini, berdasarkan reason bukannya result. karena jika kita tahu reason, dan itu salah, kita bisa bantu untuk meluruskan ‘kenylenehan’ itu menjadi sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat.

    1. Betul, Glenn. Tapi aku malah lebih berpikirnya bukan soal meluruskan. Apa ya betul perbedaan itu soal benar salah? Yang penting justru harmonisasi antara perbedaan. Yang nyleneh, selama tidak merusak dan masih memiliki arah/tujuan yang sama, malah bagus. Walaupun aku juga paham bahwa mengharmonisasikan manusia adalah pekerjaan yang tidak sembarang orang bisa hehehe….memang perlu skill dan pengalaman juga untuk itu 😉

  7. yap.. setuju dengan peryataan diats…
    memang betul bekerja dengan orang nyeleneh (sprt saya) butuh tingkat kesulitan ekstra buat memahaminya. tp perlu dikritisi juga, apakah kesulitan untuk memahami ini karena pemikirian orang trsbt tidak masuk akal atau jangan2x pemikiran kita yang sudah terkotak2x jd sulit untuk memahami apa yang yg dimaksudkan orang di “luar kotak”.
    jujur sebagai salah satu orang nyeleneh saya sempat berpikir untuk berubah menjadi seseorang yg mengikuti arus aja karena ketika mencoba untuk keluar dari arus maka yang terjadi adalah kelompok saya menunjukan pertentangan karena perngerjaan tugas akan memakan waktu lebih lama. dan belum tentu pemikiran saya yang melawan arus tersebut merupakan pemikiran yang baik.
    namun, mengikuti kuliah kapita dan stgh semester po membuat saya kembali berpikir bahwa perlu pemikiran nyeleneh karena pemikiran mengikuti arus sudah sangat tidak relevan dengan po maupun kapita. dan saya suka dengan cara ngajarnya sir JWS yg nyeleneh tp kl dikritisi lagi itu memang yang mahasiswa butuhkan untuk menjadi lulusan yg bersaing bukan jd lulusan pada umumnya

    1. Menjadi berbeda tidak selalu benar. Tapi tanpa ada perbedaan pemikiran, pasti akhirnya salah. Karena melalui perbedaanlah, kita bisa melihat beragam sisi dari suatu masalah. Ini simpel sekali untuk diomongkan, tapi sulit untuk dilakukan : )

    2. Setuju. Setiap orang pasti punya cara dan pola berpikir. Boundary nya adalah Paradigma berpikir. karena itu dibutuhkan pola pemikiran yang bukan hanya kreatif dan inovatif, tetapi pola pemikiran disertai dengan tindakan yang proaktif (dalam arti positif). Setelah itu baru kita bisa melihat hasilnya, apakah bisa di selaraskan dengan lingkungan yang ada di sekitar kita. Saya sudah cukup lama tinggal dan bekerja di Jakarta, dimana saya selalu dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target yang deadline nya mepet. karena itu saya lebih sering berpikir dan bertindak nyleneh ketimbang mengikuti workflow yang standar, tapi selama itu bisa selesai dan hasilnya OK ya tidak masalah. pro-kontra penilaian orang lain terhadap tindakan yang saya ambil itu hal biasa, selama saya bisa memberikan alasan tepat dan bertanggungjawab atas tindakan saya. sekali lagi, 1000 jalan ke Roma, 1jalan ke surga.

  8. Tugas kita sebagai scholar adalah memecah arus, membuat arus baru, dan memecahnya lagi, tanpa henti, sampai kita mati. Mungkin hidup jadi sedikit bermakna dan berwarna, jika kita melakukannya secara konsisten. 🙂

      1. Dan dalam paradoks kita bisa pula memahami gerakan2 yang muncul.
        hehehe…u know what I meant already… 🙂

      2. Prinsip Taiji Quan ya James? dengan kita bisa memahami gerakan-gerakan yang akan muncul, kita bisa mengerti bagaimana menanganinya….

        di Taiji Quan, saya juga belajar untuk fokus dan bersikap objective agar mendapatkan sudut pandang yang lebih luas dan lebih baik. hal ini berguna untuk mengetahui karakteristik “lawan” sehingga saya paham cara menaklukannya.

        Salam Wu Shu…..

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s