Tiga kali, lalu penggal!

IMG_6537
Image by Matthew Stinson via Flickr

Salah satu kisah yang sangat terkenal tentang Sun Zi (Sun Tzu), ahli strategi terkenal Cina kuno, adalah tentang keputusannya memenggal selir-selir kesayangan Raja Wu Helu. Bagi yang belum pernah membaca, kira-kira begini cerita ringkasnya:

Sun Zi diundang oleh Raja Wu Helu untuk membuktikan kemampuannya dalam memimpin militer. Raja meminta Sun Zi membentuk batalyon militer yang terdiri dari semua perempuan istana. Batalyon tersebut dipimpin oleh dua selir kesayangan raja.

Saat latihan militer, Sun Zi memberikan komando untuk mengatur barisan. Ternyata komando Sun Zi disembut dengan tawa cekikikan dari pasukan perempuan ini. Sun Zi kemudian berkata: “Perintah pertama yang tidak bisa direspon oleh pasukan adalah kesalahan komandan. Oleh sebab itu komandan harus menjelaskan kepada pasukan”. Lalu Sun Zi pun menjelaskan arti dari perintahnya pada seluruh pasukan untuk memastikan mereka paham.

Lalu Sun Zi mengulang perintahnya kembali untuk kedua kalinya. Kali ini pun, ternyata dia mendapat respon yang sama, yaitu tawa cekikikan. Sun Zi lalu berkata, ” Apabila kali kedua komando diberikan, pasukan gagal merespon dengan tepat, maka ada dua kemungkinan. Pertama, perintah komandan masih kurang jelas, atau kedua, pasukan tidak patuh”.

Sun Zi kemudian menanyai kedua selir yang menjadi pimpinan pasukan. Ternyata mereka mengatakan bahwa komando Sun Zi sudah bisa dipahami. Maka Sun Zi berkata, ” Apabila demikian, maka komando yang kuberikan harus dipatuhi. Apabila tidak, maka itu pelanggaran hukum. Jadi kali ketiga ini, aku ingin semua bisa melaksanakan dengan baik”. Lalu Sun Zi memberikan perintah yang sama untuk ketiga kalinya.

Kali ini, kedua selir pemimpin pasukan tetap tertawa cekikikan. Tanpa banyak bicara, Sun Zi memerintahkan algojo untuk memenggal kedua selir tersebut, dan menunjuk pemimpin pasukan baru. Sesudah itu, tak satupun pasukan perempuan yang berani tidak patuh pada perintah Sun Zi, dan pasukan dapat digerakkan sesuai komando.

Raja Wu Helu sangat marah karena kehilangan kedua selirnya, dan ingin memenggal Sun Zi. Tapi dengan tegas Sun Zi berkata, “Yang Mulia, saya sudah melaksanakan amanat Yang Mulia untuk membentuk pasukan militer yang bagus. Kedua selir sebagai pemimpin pasukan tidak patuh pada perintah saya sebagai panglima pengemban amanat yang Mulia. Perbuatan mereka telah melecehkan hukum militer dan perintah Yang Mulia untuk membangun pasukan ini. Mereka telah merusak moral pasukan, dan saya harus menegakkan hukum. Yang Mulia telah menyerahkan amanat pada saya sebagai penguasa militer, jadi Yang Mulia tidak bisa membatalkan keputusan saya dan merusak tatanan hukum militer”.

Raja dongkol, tapi tidak bisa membantah kebenaran kata-kata Sun Zi. Sun Zi pun dikenal sebagai ahli strategi militer yang hebat di kemudian hari dan berhasil membawa pasukan Raja Wu Helu memenangkan beragam pertempuran.

Kisah ini sudah sangat populer, dan banyak yang telah membacanya. Akan tetapi, tak banyak yang sungguh-sungguh belajar darinya. Dalam situasi apapun, peraturan harus ditegakkan. Karena peraturan dan hukum adalah tatanan yang mengatur situasi dimana kebebasan seseorang berbenturan dengan kebebasan orang lain. Melaksanakan hal ini tentu sulit, tapi tidak melaksanakan hal ini akan membikin situasi lebih sulit.

Anda mungkin ingin bertanya: ” Lalu bagaimana bila hukum dan peraturannya tidak benar?”

Benar sekali, peraturan dan hukum adalah bikinan manusia. Sebagaimana halnya bikinan manusia yang lain, mereka bisa saja cacat, salah atau ketinggalan jaman. Oleh sebab itu peraturan harus jelas dan dapat dipahami oleh mereka yang dikenai peraturan itu. Kewajiabn otoritas untuk memastikan bahwa peraturan itu jelas, relevan, dan dipahami oleh siapapun yang dikenai olehnya. Seperti kata Sun Zi, apabila peraturan tidak jelas dan tidak dapat dipahami, itu adalah tanggungjawab otoritas.

Dalam pengertian itu pula, peraturan sesungguhnya harus disusun dengan benar dan bisa diperbaiki bila salah atau tidak sesuai. Pada proses menyusun dan memperbaiki inilah, perdebatan dan argumentasi konstruktif diperlukan agar peraturan yang dihasilkan adalah yang terbaik. Namun ketika peraturan telah disepakati, disahkan, dan sudah tersosialisasi denga jelas; maka siapapun harus menepati dan mematuhinya, termasuk sang penyusun peraturan.

Kewibawaan peraturan tergantung pada sejauh mana peraturan itu jelas, dan sejauh mana peraturan itu ditegakkan dalam praktek. Hal ini juga menentukan kewibawaan sistem dan keseluruhan otoritas. Ini tidak hanya pada militer, tapi juga pada semua konteks organisasi, mulai dari negara hingga keluarga.

Kini, saatnya kita merefleksikan diri. Sungguh sadarkah kita pentingnya penegakan peraturan dalam keseharian kita?

Advertisement

24 thoughts on “Tiga kali, lalu penggal!

  1. hehehe.. ini adalah tema skripsi saya dulu; filsafat hukum. Prinsip dasarnya begini. Di dalam masyarakat majemuk, ada banyak pandangan dunia. Satu-satunya yang bisa menjaga ikatan adalah hukum. Namun bukan sembarang hukum. Hukum haruslah merupakan hasil dari “PROSES DISKUSI YANG BEBAS DOMINASI, EGALITER, DAN RASIONAL DARI SEMUA PIHAK YANG NANTINYA AKAN TERKENA DAMPAK HUKUM TERSEBUT, BAIK LANGSUNG ATAUPUN TIDAK.”Inilah dasar legitimasi hukum di dalam masyarakat majemuk.

    Yang terjadi di Indonesia sekarang ini hukum dibuat di dalam ruang-ruang rahasia, eh tau2 sudah jadi hukum. Akhirnya orang malas dan merasa tidak perlu patuh, karena mereka merasa tidak diajak berembug pada awalnya. Ini terjadi di banyak hal, mulai dari pelarangan merokok, sampai penetapan undang-undang. Inilah inti teori hukum demokrasi radikal.

    Gimana menurutmu?

    1. Aku sepakat soal anehnya hukum di Indonesia. Dan sudah biasa dipahami juga di Indonesia, bahwa namanya hukum harus diakali, karena hukum itu sendiri hasil akal-akalan.

      Salah satu penyebab dari ini semua mungkin juga karen si pembuat hukum juga tidak yakin dia bisa tegas menegakkan hukum. Jadi, semua dibikin tidak jelas dan multiinterpretatif; mulai dari proses pembuatan, isi, penerapan hingga sanksi-sanksinya. Akibatnya, sistem hukum tidak memberi kepastian dan tidak punya wibawa. Ini juga berarti secara riil, hukum tidak ada.

      Jadi sesungguhnya, negeri ini bisa dikatakan hampir tidak punya sistem hukum. Maka, demokrasi kita pun bukan demokrasi. Demokrasi hanya terbentuk ketika ada kebebasan aspirasi dan tegaknya hukum. Demokrasi tanpa hukum adalah disintegrasi, diorganisasi, dan kehancuran peradaban.

      1. Ini tesis menari. Demokrasi tanpa hukum adalah disorganisasi. Ada artikel dari salah satu dosen saya dulu di Driyarkara. Isinya tentang “lubang2 hukum”. Ada banyak sekali cacat di dalam hukum, mulai dari soal bahasa sampai penafsiran. Ini membuat hukum tidak pernah sempurna. Maka hukum perlu terbuka untuk perubahan, terutama dengan mengacu terus pada prinsip keadilan yang tertanam di hati manusia.

  2. Excelence review my bro…
    Peraturan ataupun undang2 ataupun hukum adalah pagar. Peraturan tentunya dibuat untuk melindungi kepentingan yg besar dlm arti melindungi kepentingan mayoritas. Bila peraturan sudah tdk bisa ditegakkan maka sistem akan bergerak dengan liar tanpa kendali. Tidak akan ada lagi yg namanya keteraturan.
    Dalam tulisan saya di atas ada menyebutkan “melindungi kepentingan mayoritas”, yah…memang akan selalu ada kepentingan2 tertentu yg tidak tercover oleh peraturan. Oleh sebab itu harus ada satu sistem yg juga mengakomodasi kepentingan2 yg tak tercover oleh peraturan td. Sistem yg menjembatani kepentingan yg tak tercover agar tidak menjadi liar dan tak terkendali atau justru memungkinkan peraturan td utk terus diperbarui sesuai dengan perkembangan terkini. Dalam hal ini para pelaku sistem dan pembuat peraturan haruslah peka dengan perubahan yg ada dan sesegera mungkin melakukan perubahan seperlunya sebelum peraturan diubah secara paksa dengan revolusi. Tentunya akan lebih baik mengantisipasi perubahan daripada terkena gelombang perubahan itu sendiri.

    1. Yup, Bro!
      Peraturan memang berlaku mengikuti pola mayoritas, dan harus bisa mengakomodasi minoritas. Itu karena fungsi dasar hukum adalah mengatur hubungan antar kebebasan satu orang dengan yang lain, satu kelompok dengan kelompok lain; termasuk antara mayoritas dengan minoritas.

      Jadi seperti katamu, situasi ini bergerak dinamis dan pengelola sistem harus peka pada perubahan polanya. Salah menyikapi perubahan yang terjadi pada ‘senggol-senggolan’ antar kebebasan ini, akan membuat peraturan jadi out-dated. Kalau parah, peraturan yang tidak sesuai bahkan bisa menimbulkan revolusi.

  3. menarik sekali.. ikut nimbrung ah… well, kalo pak james mempertanyakan jangan2 di indonesia nggak ada sistem hukum.. memang benar sekali indonesi sampai saat ini tidak memiliki sistem hukum sendiri dalam artian sistem hukum di indonesia ini masih mengadopsi negara kolonial… jadi nggak heran kalau banyak org yg nggak taat sama peraturan karena tahu celah2 hukumnya itu dimana… hukum berbau politik itu sudah pasti… peraturan itu dibuat didasarkan kesepakan bersama.. masalahnya sekarang kesepakatan bersama ini hanya org2 tertentu yg punya kepentingan…. hehehehe.. secara ideal dengan adanya peraturan atas kesepakan bersama ini bisa di taati oleh masyarakat..tpi fakta bicara lain, banyak sekali yg melanggar peraturan didasarkan itu kesepakatan sepihak… dari cerita tiga kali penggal saya refleksikan mungkin kita lebih baik kembali ke jaman soeharto dimana org yg melanggar aturan dan melawan ditembak mati atau dimusnahkan.. dampaknya juga masyarakat akirnya tunduk dan tidak berani menentang…

    1. Betul, sepertinya otoritas masih sering melihat dirinya sebagai ‘pengganti pemerintah penjajah’. Jadinya secara politik kacau. Semacam ganti giliran menjajah. Jadi kerangka governance yang bertujuan konstruktif sepertinya tidak dipentingkan. Ini yang saya bahas di post sebelumnya yang berjudul ‘It’s my turn philosophy and its corresponding tragedy’.

      Saya pikir yang penting adalah ketegasan dalam penegakan hukum, dan akuntabilitas penyusunan hukum. Kalo kembali ke jaman Soeharto ya sama kacaunya, karena hukumnya kejam, tapi banyak yang salah hukum.

      1. waw,. lama ga buka web, seperti biasa tulisanny ttp ok pak,. 🙂
        bisa belajar dari cerita sunzi. Tapi dari sudut pandang kaisarnya saya menemukan hal baru, dimana jadi manusia benar-benar tidak boleh mengikuti emosi dan harus mendengarkan duduk perkara sampai tuntas baru bisa berlaku benar,.
        kalau sekarang kan kebanyakan emosi +maki an dulu yg keluar,.

        sayang ya hukum di indonesia ini benar2 out of date dan seperti kata geo buat orang “pintar” bisa memanfaatkan celah untuk kepentingan sendiri.. hukum yang seharusnya untuk mengatur dan membentuk demokrasi malah menjadi alat yang dimanfaatkan doang.

        waduh jangan kembali ke zaman suharto dong,. bahaya,. selain kacau juga jadi pembodohan masal nanti,… jangan harap bisa komen di blog kaya gini.. bisa2 besok uda RIP,. +keluarga juga ikutan di eksekusi,…

      2. Thanks, Sianny 🙂
        Benar, relasi emosional dan attachment berlebihan atas kekuasaan lah yang membuat manusia jadi gelap mata 😉

        Kalau hukum di Indonesia, ya seperti pendapat saya di atas. Banyak orang pintar memang, tapi orang pintar ini tidak punya yang namanya sehati untuk republik ini, jadi tidak ada komitmen dan visi bersama. Jadinya semua mengeksploitasi untuk kepentingan-kepentingan sempit. Inilah yang disebut disorganisasi. Mirip disorganisasi kognitif dan disorganisasi kepribadian.

        Saya etuju sekali dengan pendapatmu tentang jaman Soeharto. Kita semua sudah ‘masuk’ kalau ini jaman Soeharto. Itulah kenapa Indonesia haruslah bersyukur dengan kondisi saat ini, namun sekaligus tidak boleh terlena.

      3. Sayangnya sehati itu kata yang terlalu tinggi rasanya,.. zaman sekarang susah bicara “hati”. itu konsep murni yang bisa2 sudah dilupakan orang dan hanya beberapa orang yang bijak yang mungkin bisa mempertahankannya,. tp mayoritas politik yang saya lihat kebanyakan seperti yg bpk bilang eksploitasi kepentingan sempit saja,.

        Maksut bapak soal dangkal nya pemaknaan hukum itu apa seperti orang2 yang menjadi takut sama aturan tp malah ga tau kenapa aturan itu berguna? Kalau saya melihat skr, orang2 malas untuk meninjau dan merevisi aturan yang ada. padahal itu malah membuat aturan itu out of date dan tidak lagi berguna untuk memperlancar kinerja malah terasa makin memberatkan dan hanya menjadi rutinitas saja…

      4. Betul, sehati itu sudah tida menjadi sesuatu yang penting saat ini. Ini salah satunya karena secara psikologis kita dibentuk oleh budaya yang hanya mengagungkan rasio dan materi. Bahkan aspek emosional pun dirasionalkan dan dimaterikan. Sebagai konsekuensi tentu pola pikir kita dibentuk dalam fungsi rasional materialistik, dan disini yang namanya pemikiran transaksional untung rugi pribadi cenderung menguat.

        Betul, yang saya maksud adalah kedangkalan superfisial dalam bentuk takut hukum, bukan sadar hukum. Ini juga karena hukum tidak didiskusikan secara esensial, tapi lebih leksikal saja. Ditambah lagi pola pikir masyarakat yang memang mementingkan yang terlihat dari luar, bukan esensi di dalamnya.

        Secara keseluruhan, saya setujua bahwa jaman ini memang lagi dalam proses pendangkalan. Kurvanya lagi anjlok ke bawah supaya punya momentum untuk memantul ke atas 😉

  4. Apakah tujuan hukum dibuat?
    Pertanyaan ini pasti beragam jawabannya. Ada yang bilang kalau hukum itu dibuat untuk mengatur tata kehidupan negara dan masyarakat. Ada pula yang punya jawaban nyeleneh yang menjawab bahwa hukum itu dibuat untuk “DILANGGAR”.

    Bagaimana DILANGGAR?
    Namanya juga bikinan manusia, pasti hukum itu punya sisi kelemahan, karena manusia tidak sempurna. Saya masih ingat ada satu filosofi Cina yang mengatakan BERUSAHALAH UNTUK MENCAPAI YANG TIDAK SEMPURNA DARI YANG TIDAK SEMPURNA. Hukum itu punya celah yang memungkinkan untuk di hack dan di crack oleh orang yang jeli dengan celah tersebut. Kalo nggak gitu, nggak ada lawyer, hehehehe……

    Solusinya?
    Hukum harus dievaluasi secara berkala dan diperbaiki oleh pihak-pihak yang kompeten untuk memperbaiki celah yang memungkinkan orang jeli untuk merusak tatanannya. Kalau perlu, ya pake cara Sun Zi tadi, TIGA KALI NGELAWAN YA PANGKAS SAJA dari NEGARA.

    Problem?

    Seberapa commit kita untuk patuh pada hukum?

    1. Saya rasa commitment itu pertama-tama adalah pada sistemnya dulu. Ini meliputi komitmen pada tujuan bersama, visi bersama, alasan keberadaan (raison d’etre), dan nilai bersama sistemnya. Itu bisa dalam konteks negara, organisasi, keluarga, atau entitas-entitas kesatuan sosial apapun.

      Kalau komitmen pada sistem itu ada, maka kepatuhan, rasa memiliki dan partisipasi itu adalah konsekuensi tindakan. Istilah gampangnya, kalau sudah satu pandangan satu perasaan, ya lebih mudah berjalan seiring bersama 🙂

      Tapi kalau tidak, ya apapun peraturan dan kesepakatan yang dibikin, pasti diacak-acak juga.

  5. hmm…Ada dua proficiat disini…
    pertama, buat Sun Zi. ketika aku mengenalnya, hanya di pada saat dosen PPKn memperkenalkan dirinya sebagai salah satu ahli perang. hanya sampai situ…
    yang kedua, buat Pak James, yang uda ngolah salah satu cerita tentang dia…

    menanggapi hal itu, saya tertarik dengan apa yang disebut peraturan. Tapi, big bos (motherq) lebih suka menggunakan istilah prosedur. Hal ini sempat saya bahas di artikel dengan link

    http://andhikaalexander.wordpress.com/2011/01/04/peraturan%e2%80%a6-ditaati-atau-dilawan-yaa/

    kalo sempat bisa diliat pak…hehe..yang jelas, pada saat saya membuat ini (kira-kira SMA kelas 3 dengan blogspot.com versi aslinya), memang bertanya, peraturan ini, dibuat buat apa sih???kenapa sih kita harus saklek taat pada peraturan???

    Saya setuju dengan pendapat bapak yang mengatakan bahwa peraturan tidak lepas dari cacat. tapi, seberapa “tangguhkan” sih pembuat peraturan ini mau turun kebawah lagi untuk melihat peraturan yang didewakannya itu???kebanyakan kan sekarang kita liat, di sekolah-sekolah konvensional (bukan asumsi pak ^^), para guru yang menegakkan peraturan kadang tidak liat perkembangan zaman, apalgi guru-guru konvensional. meskipun memang kita tidak boleh generalisasi ya tentunya. tapi, apa yang terjadi sekarang terhadap peraturan di dunia pendidikan konvensional sangatlah miris. guru yang tua dianggap segalanya, dan peraturan yang dibuatnya adalah selalu benar.

    memang peraturan itu penting, bahkan penting untuk membentuk suatu tatanan keteraturan, tapi kalo peraturan itu hanya membuat orang membuat kenakalan sebagai wujud tidak patuhnya terhadap peraturan itu bagaiaman??? membangkang dalam aturan adalah istilah yang saya gunakan di artikel tersebut.

    tapi, pada intinya, kadang, kita harus menyesuaikan apakah peraturan tersebut di taati atau dilanggar…^^hehehe….

    Salam Brillian!!!
    GBU

    1. Lao Zi pernah berkata bahwa keberhasilan sebuah negara dan pemerintahan itu diukur dari sejauh mana rakyat merasa perlu tahu keberadaan mereka. Artinya, makin rakyat merasa bahwa hidup sudah berjalan aman dan sejahtera dengan sendirinya, maka makin berhasil negara dan pemerintahan itu. Sebaliknya, ketika rakyat merasa peran pemerintah begitu nyata dalam kehidupan, maka pemerintah itu belum berhasil.

      Pandangan Lao Zi ini berguna untuk memahami hakikat keberadaan hukum dan peraturan. Adanya hukum dan peraturan yang harus ditegakkan oleh otoritas menunjukkan bahwa masyarakat belum bisa mengatur dirinya sendiri secara bertanggungjawab. Apabila semua orang dalam sebuah masyarakat sudah paham dan bisa menjaga keseimbangan antara kebebasan diri dengan kebebasa orang lain, maka hukum dan peraturan akan makin sedikit diperlukan.

      Jadi intinya bukan pada peraturan, tapi kematangan sebuah masyarakat. Penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu instrumen penjaga keseimbangan, tapi dia tidak akan menciptakan peradaban. Peradaban berasal dari dalam diri manusia.

      Apapun sistem hukumnya, apabila masyarakatnya kurang beradab, dan hanya suka melawan peraturan karena mau sok beda dan sok bebas, maka tetaplah terjadi destruksi. Dan, di situlah diperlukan negara dan pemerintahan yang tegas dan akuntabel. Tapi bila peradaban sudah terbentuk dari dalamsecara dewasa, maka hukum dan peraturan yang ruwet mungkin tidaklah yang paling utama. Yang ada dalam komentarmu sesungguhnya menunjukkan dangkalnya peradaban, dan pada titik itu, hukum tidak dipahami dan dikritisi, tapi cuma direspon secara dangkal pula.

      1. apakah destruksi dapat berkurang dengan adanya pemerintah yang akuntabel seperti disini???

        tapi terlepas dari topik tentang hukum di atas, Bapak menuliskan tentang peradaban…

        peradaban…saya setuju bahwa peradaban berasal dari diri individu, manusia. dari bahasa inggris pun kan, peradaban = civilization…dalam arti sempit dengan pemikiran sempit bisa diartikan sebagai meng-sipilkan…ya siapa? ya manusia itu sendiri…
        tapi muncul pertanyaan buatku, bukankah civilization is the culture developmental???
        More civilized usage would refer to more highly and less highly civilized peoples, the refer to more highly and less highly civilized peoples,the determinative characteristic being intellectual, aesthetic technological, and spiritual attainments…
        itu katanya Newel R. Sims…gimana mnrt Bapak?

      2. Secara prinsip, destruksi akan berkurang karena konflik akan termanifestasikan dalam bentuk yang konstruktif. Begitu asumsi dasarnya.
        Secara realistik, potensi destruksi selalu ada. Bahkan penegakan hukum oleh pemerintah yang akuntabel dengan sendirinya menstimulasi percobaan pelanggaran (breach) dan penolakan (resistant). Itu sebuah dinamikan yang normal dan wajar, karena dinamika itulah yang membuat sistem hukum harus selalu beradaptasi seiring waktu.

        Soal peradaban, saya sepakat bahwa intinya adalah soal budaya. Budaya adalah penerapan cara pandang akan dunia (worldviews) serta asumsi dan nilai dasar tentang hidup (basic values and assumptions) ke dalam kehidupan sehari-hari. Nah, ya mengkonstruksikan worlviews, basic values dan basic assumptions itu manusia. Namun sekaligus, mereka juga dibentuk oleh itu. Kalau saya memahami komentarmua dengan tepat, kamu ingin mengangkat bagaimana manusia membentuk peradaban dan bagaimana peradaban membentuk manusia. Betul begitu?

        Apabila benar, menurut saya bahkan pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana peradaban berkembang dari waktu ke waktu melalui proses saling mempengaruhi itu 😉

  6. Seharusnya peraturan sendiri itu apa harusnya di rembuk bersama dulu baru membuat peraturan atau memang kita harus mematuhi peraturan yang sudah ada?
    Tapi saat orang sudah mematuhi, namun jika sekitarnya tidak mematuhi itu akan membuat seseorang menjadi malas juga mengikutinya. Bagaimana pak?

    Saya memang belum pernah (sampai sekarang membaca tentang Sun zi) tapi yang saya tahu dia adalah ahli strategi dalam perang yang saya tahu dia bisa melawan musuhnya yang lebih banyak jumlahnya dengan strateginya. Namun yang ini saya baru dengar, makasih pak ceritanya 😀

    1. Pertanyaan pertamamu terkait dengan pendapat kawan-kawan lain. Prinsipnya peraturan harus dibikin dengan melibatkan para stakeholder, dan peraturan juga harus ditinjau ulang dari waktu ke waktu bersama stakeholder. Selama ditinjau, ya peraturan sah yang ada ya harus dipatuhi. Kalau seudah direvisi dan disahkan perubahannya, baru berlaku.

      Mematuhi peraturan yang sudah ada tanpa ditinjau ulang itu masalah klasik di Indonesia, dimana orang Indonesia suka meng-sakral-kan yang kuno tanpa memahami relevansinya dengan situasi terkini. Kebetulan saya lagi mempersiapkan post soal ini.

      Kalau soal orang tidak mematuhi terus membuat yang lain tidak patuh, itu jelas soal penegakan hukum dan peraturan yang sangat payah. Dengan demikian, hukum dan peraturan tidak berwibawa

      1. Mungkin post selanjutnya bapak bisa menjawab pertanyaan saya 🙂

        Memang seperti yang ada di Indonesia sendiri banyak orang lebih mengikuti peraturan yang lama, karena lebih dianggap menguntungkan daripada yang baru pak…

        Jika sampai orang tidak mematuhi peraturan maka perlu di kaji ulang penengakan hukumnya dan siapa yang mengontrolnya 😀

  7. Menurut saya kalau hukum (legis) sudah menjadi salah (injuria), perlu tindakan suatu pihak, entah siapa, untuk membenarkannya (juria). Saya mengusulkan warga masyarakat melakukan tindakan vigilante (menegakkan keadilan atas inisiatif sendiri) apabila masyarakat memerlukan penanganan hukum yang darurat. “WHEN INJUSTICE BECOMES LAW, RESISTANCE BECOMES DUTY”.

    1. Hahaha….secara konsep memang demikian. Tapi secara implementasi, tidak sesimpel itu. Sangatlah penting agar penegakan keadilan tidak melanggar keadilan itu sendiri. Ini kesalahan klasik yang sering dilakukan mereka yang meng-klaim dirinya sebagai kaum resistant atau pembawa perubahan. Tanpa sadar mereka menjadi musuh yang mereka sendiri ingin lawan 🙂

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s