Kota modern dan tranformasinya sebagai organisasi bisnis

New York City at night, photographed using the...
Image via Wikipedia

Menjadi sebuah kota bukan lagi sebatas menjadi sebuah masyarakat yang hidup bersama di sebuah letak geografis perkotaan yang sama. Bahkan, makna kota tak lagi sederhana. Dahulu, yang penting ada kompleks pemerintahan, kompleks perniagaan, kompleks pendidikan dan kebudayaan, serta kompleks pemukiman; jadilah sebuah kota. Arsitektur kota pun kini jauh lebih rumit daripada dulu.

Kota modern adalah sebuah entitas kosmopolit yang unik, karena di satu sisi terlalu jenuh dan ruwet untuk dihidupi, dan di sisi lain sangat sulit dipungkiri daya tariknya. Dalam perspektif ini, kota modern sesungguhnya sudah berevolusi menjadi sebuah organisasi bisnis, dan oleh karenanya akan lebih baik bila dikelola mengikuti prinsip organisasi bisnis.

Mengapa saya berpikir demikian?

Dinamika kota modern: Jaringan kerja, informasi dan komunikasi raksasa

Pertama-tama, kota modern adalah sebuah sistem pertukaran informasi raksasa. Dulu mungkin orang memiliki perilaku hidup yang sederhana, dimana pergaulan dan interaksi terjadi di lingkungan rumah dan lingkungan kerja. Lingkungan rumah dan tempat kerja adalah lokasi dimana kita bertemu dengan orang-orang yang kita kenal.

Kini, kita bisa terhubungan dengan di belahan dunia lain sekalipun, hanya dengan email, chatting, atau kanal komunikasi lainnya. Kenalan kita bukan hanya orang dari lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan, tapi bisa darimana pun. Terkadang, orang  harus mengarungi seluruh wilayah kota untuk bertemu. Rumah hanya menjadi alamat resmi, sementara kehidupan sesungguhnya adalah ‘bergerak kesana kemari’. Jakarta dan Surabaya merupakan contoh nyata untuk ini.

Penduduk kota modern bukan lagi sekedar kumpulan orang yang tinggal bersama di suatu area geografis. Mereka adalah nafas, atau darah, yang menjadi penggerak kehidupan kota. Kesibukan kota mencerminkan sistem pertukaran informasi yang luar biasa padat (hectic). Oleh sebab itu, salah satu ciri kota modern yang maju adalah terdapatnya information network system yang efektif dan berkapasitas tinggi. Inilah ciri-ciri kota-kota besar dunia yang sering disebut kota-kota cerdas (smart cities).

Adalah tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dinamika penduduk kota modern menyerupai dinamika orang-orang yang bekerja dalam sebuah organisasi bisnis. Dinamika kota modern berisikan interaksi dan tingkahlaku manusia yang berusaha mengoptimalkan perannya dalam memutar roda ekonomi dan kesejahteraan. Kota modern bukan lagi paguyuban, tapi sebuah ‘mesin’ raksasa yang berusaha menciptakan kesejahteraan bagi orang-orang di dalamnya. Dinamika yang terjadi menentukan kemakmuran kota secara keseluruhan, dan kemakmuran kota menentukan kesejahteraan orang-orang di dalamnya.

Penduduk kota modern: Masyarakat autopoiesis

Penduduk kota modern juga merupakan sebuah fenomena evolusi. Penduduk kota modern tidak lagi melihat dirinya sebagai kumpulan masyarakat yang menghabiskan waktu bersama. Mereka adalah masyarakat yang senantiasa berevolusi dalam kreasinya dari waktu ke waktu. Mereka hidup dalam proses mengkreasi diri terus-menerus (autopoiesis). Ini dibentuk oleh struktur pembentuk masyarakat yang didominasi banyak pekerja profesional dan  pekerja kreatif. Ini bukan berarti kota modern tak punya pekerja fisik dan pekerja teknis. Namun, kota modern memiliki keberagaman talents dalam beragam pekerjaan, yang membuat segalanya menjadi sebuah complex mix yang memutar ekonomi kota.

Infrastruktur pun memiliki makna berbeda dalam kota modern. Bila dulu ruang publik adalah wilayah sosial yang tersedia untuk siapapun, kini seiring kota beranjak modern, semua ruang publik dikelola sebagai komoditas sosial. Di sana masyarakat memberi nafas hidup kota melalui kreasi, produksi dan konsumsinya. Demikian pula dengan infrastruktur transportasi.

Oleh karena itu, ruang publik menjadi identik dengan pusat perdagangan dan pusat ekonomi. Transportasi dimaknai sebagai kantor berjalan. Ruang publik, transportasi dan berbagai wilayah di luar tempat kerja dan rumah kini dilengkapi koneksi wi-fi dan berbagai stand/tempat penjualan, agar siapaun tetap dapat mengakses informasi on-the-go. Inilah mengapa ruang publik di kota modern bukan lagi alun-alun atau tempat ibadah, tapi mal atau pusat-pusat perbelanjaan lainnya; dan jalan-jalan utama yang berada di jantung ekonomi kota diberi nama business district, dimana fasilitas koneksi dan ketersedian kebutuhan dibuat selengkap mungkin.

Karena sebagai masyarakat autopoiesis, kemanapun dan dimanapun adalah tempat kreasi; dan infrastruktur kota harus membuat kota menjadi sebuah kantor bisnis raksasa.

Pengelolaan kota modern: Stakeholder engagement & participatory decision making

Tata kelola atau governance kota modern pun tidak lagi sama. Kota modern kini menghadapi kenyataan bahwa demokrasi konvensional dimana dewan kota atau lembaga representasi aspirasi masyarakat tidak lagi mencukupi bagi tata kelola. Kota modern tidak lagi seperti polis-polis Yunani kuno dimana para tetua dan pemimpin menentukan agenda kota dalam proses konvensi di sebuah gedung istimewa. Denyut aspirasi masyarakat kota modern secepat derasnya informasi melalui internet, dan ide-ide bermuculan seiring suburnya diskusi-diskusi melalui komunitas di dunia nyata maupun maya. Aspirasi tidak lagi terpusat, melainkan bergerak lateral dan divergen.

Dengan demikian kepemimpinan dan tata kelola kota tidak lagi mengikuti hirarki berpuncak (apex), melainkan terbangun dalam jaringan komunitas dan relasi antara internal-external stakeholders.  Pelaksana pemerintahan dituntut untuk menjadi ‘pegawai kreatif’ bagi kotanya. Pengunjung, turis, investor dan penjelajah cosmopolitan lain adalah konsumen bagi kota modern. Kota modern, sebenarnya adalah sebuah social enterprise besar. Kota modern adalah sebuah entitas bisnis yang dimiliki oleh semua penduduknya.

Maka, sebagai sebuah social enterprise, tata kelola kota harus mengadopsi participatory decision making, dimana terdapat sebuah jaring aspirasi dan kolaborasi yang melibatkan para stakeholder kota (stakeholder engagement). Stakeholder engagement is the new citizenship and the new practice of democracy.

Sayangnya, ini sering dipersepsikan sebagai sekedar kumpul sana dan sini tanpa didukung infrastruktur berupa information framework yang kokoh dan modern. Sehingga yang terjadi adalah semua meng-klaim menjadi suara masyarakat dan berteriak-teriak di media tanpa arah. Yang terjadi sesungguhnya adalah opini publik tanpa agenda kota yang jelas. Itu sama sekali bukan participatory decision making yang menjadi inti dalam tata kelola kota modern.

Jadi, sampai dimanakah kota kita? Bisakah semua impian dan idealisme kota modern terwujud, di tengah overwhelming complexity yang kita rasakan dalam kehidupan urban masa kini?

 

 

12 thoughts on “Kota modern dan tranformasinya sebagai organisasi bisnis

  1. Halo James, lama tidak jumpa.

    Wah kali ini saya kurang setuju dengan argumenmu, terutama yang menyatakan bahwa kota modern harus diatur seperti layaknya organisasi bisnis. Organisasi bisnis berorientasi untuk mencapai profit, baik dalam arti sempit maupun luas. Sementara kehadiran sebuah kota pertama-tama bukanlah soal profit, tetapi soal mengoptimalkan kualitas hidup warganya. Mencampurkan keduanya hanya akan bermuara pada bencana tata kota.

    Namun saya setuju dengan argumenmu soal pembuatan keputusan partisipatif. Itu memang satu-satunya cara untuk menjaga legitimasi suatu keputusan terhadap warganya.

    Pada hemat saya yang diperlukan adalah pemerataan pembangunan kota, sehingga kemajuan bisa dirasakan di semua pihak di dalam kota, maupun di kota-kota lainnya (bukan hanya Jakarta atau Surabaya, atau pusat-pusat lainnya).

    1. Hahahaha…..finally we find something worth to fight upon 🙂 Dan betul, lama tak jumpa, aku punya banyak cerita dari Filipina hehehe….

      Now, about our discussion….

      Ya, saya paham argumenmu. Walau demikian, saya tetap berangkat dari asumsi bahwa bisnis dan profit tidak sendirinya jahat, karena keduanya mencerminkan proses dan indikator luaran (output). Yang jadi isu utamanya adalah pada siapa yang memiliki akses pada proses, dan bagi siapakah profit tersebut diberikan. Kesejahteraan dan kualitas hidup warga adalah manfaat (outcome) yang merupakan hasil dari penggunaan profit kota. Pada bisnis yang privately owned, ini memang yang tidak ada.

      Sedangkan pada social enterprise, pemilik adalah semua anggota. Dalam konteks tulisan ini, kota modern saat ini sudah menjadi sebuah konsorsium bisnis. Celakanya, pemilik sejati kota yaitu penduduknya, tidak berperan sebagai pemilik. Padahal mereka yang menyetor pajak sebagai penanaman modal rutinnya. Malah oligarki pebisnis dan birokrat yang berkuasa bertingkah menjadi pemilik kota sesungguhnya.

      Ini yang saya lihat cukup kontras, dalam perbandingan antara kota-kota di Indonesia dengan di negara lain yang pernah saya kunjungi/tinggali. Kemarin di Filipina, sepertinya ada praktek jamak untuk melibatkan stakeholder dalam proses kebijakan strategis dan penyusunan anggaran.

      Saat saya tinggal di Seattle, saya beberapa kali diundang menghadiri forum strategic planning di tingkat district bersama warga yang lain, padahal saya bukan warga negara USA. Mereka mengatakan, walau saya bukan warga negara, tapi saya turut bayar pajak dan turut menggunakan kota. Saat tinggal di kota inilah saya jadi bisa merasakan apa sebenarnya praktek social enterprise itu.

      Mereka justru kota-kota negara kapitalis liberal yang mengelola kota sebagai organisasi bisnis, tapi menurut saya justru lebih memiliki demokrasi sosial. Kota-kota kita justru yang mengaku menganut non-bisnis, tapi pada prakteknya justru dikelola seperti perusahaan pribadi penguasanya.

      What do you think?

      1. Ya.. saya mengerti argumenmu.

        MEmang yang perlu diklarifikasi adalah arti kata “organisasi bisnis”. Yang saya tolak adalah tata kota dengan berpijak pada pengaturan organisasi bisnis yang dimiliki secara pribadi, yang memang motif utamanya adalah keuntungan bagi diri maupun kelompoknya. Jika itu yang terjadi, maka tepatlah ramalan para kritikus neoliberalisme, bahwa kota pun akan ditata seturut dengan logika neoliberal. Ini sebenarnya sudah tampak di Surabaya, apalagi Jakarta. Para konglomerat melobi pemkot untuk proyek-proyek yang menguntungkan mereka pribadi, dan mengesampingkan nilai-nilai pengaturan tata kota lainnya. Akibatnya ruang-ruang publik, seperti taman kota dan forum-forum yang mendorong partisipasi publik lainnya, lenyap, dan digantikan oleh mall yang mendorong hasrat konsumsi sampai mati, serta membuat warga menjadi jinak,karena terpesona oleh konsumsi yang tidak perlu. Jika sudah begitu masalah menjadi rumit, karena akan tercipta kesenjangan sosial antara yang berpunya dan yang tidak, serta tercipta kelas-kelas sosial lainnya yang berpotensi melahirkan konflik, dan bahkan revolusi berdarah. Ini yang jelas saya tolak!

        Namun seperti argumenmu di atas, ada model bisnis lainnya, yakni bisnis sosial. Tata manajerialnya tetap sama, yakni mengedepankan efektivitas, efisiensi, serta self sustained. Namun motif utamanya berbeda, yakni untuk pengembangan kehidupan bersama, dan bukan hanya pemilik, atau kelompoknya semata. Kalo ditata dengan model ini, saya setuju. Motif menentukan arah kebijakan, dan itu membawa perubahan yang amat besar. Dalam hal ini setiap warga berhak dan wajib untuk mengawal proses pembangunan kota, dan memastikan, agar semua nilai tertampung di dalamnya, nilai lokalitas, ekologis, ekonomis, kultural, dan sebagainya. Yang kita butuhkan adalah warga-warga yang cerdas dan peduli, dan di situ peran kita, para pendidik, amat diperlukan.

        Sayangnya pendidikan kita belum berorientasi menciptakan warga-warga yang cerdas dan peduli. Yah… ini kembali ke diskusi kita sebelumnya tentang krisis visi di dalam pendidikan.

      2. Benar sekali, itu sebenarnya isu kita. Neoliberal itu sendiri kan sebenarnya tidak ada sebagai sebuah konsep tersendiri. Itu digunakan untuk menunjuk pada pandangan liberal yang kini punya cara baru untuk mengajak mayoritas masyarakat mengikutinya.

        Sayangnya, seperti yang kamu katakan, ketidakseimbanagn ini terjadi bukan semata penguasa dan pengusaha yang mendominasi, tapi juga karena masyarakat yang mau didominasi. Jadi yang liberalis berinovasi agar bisa mempengaruhi zeitgeist masyarakat, sementara yang pro social welfare masih berkutat pada konsep kuno yang tak lagi menarik bagi masyarakat zaman sekarang.

        Jadinya, masyarakat lebih suka mengikuti neoliberal sebagai zeitgeist-nya. Akibatnya, mal menjadi berlebihan, konsumerisme melampaui kemampuan ekonomi, dan ketipangan semakin melebar.

        Kondisi ini makin menjadi ketika pemimpin budaya cuma pandai omong, tapi tidak bisa meyakinkan melalui jalur-jalur utama seperti pendidikan, politik dan ekonomi. Sesungguhnya masyarakat Indonesia adalah neoliberal sejati.

        Sementara, ada beberapa kelompok masyarakat yang sebenarnya centrist, dimana mereka menganut paham bahwa liberalisasi ekonomi adalah alat untuk penguatan kesejahteraan sosial. Kelompok ini, karena centrist, ya kurang bisa mencolok dibanding para ekstrimis. Tapi merekalah yang berkiprah di balik banyak praktek stakholder engagament dan praticipatory democracy di berbagai kota modern di berbagai belahan dunia.

      3. Menurut saya, kota modern juga memerluksn pengelolaan modern. Konsep Organisasi sekarang tidak lagi dibatasi pada business operation, tetapi cakupannya jauh lebih luas lagi. Penerapan Kota Modern sebagai Social Enterprise dapat saya contohkan dari lisensi Microsoft Windows. Lisensi Microsoft ini tersedia untuk Non-Profit Organization maupun Government. Pengelolaan kota modern memang membutuhkan modernisasi perangkat dan teknologi yang umumnya dipakai organisasi bisnis untuk mencapai kualitas hidup warganya ke tahap sustain.

      4. Saya sepakat akan ide bahwa kita butuh perangkat lunak yang mendukung untuk participatory management. Ini penting sekali untuk memungkinkan akses bagi semua terhadap pertukaran informasi, penentuan agenda dan pengambilan keputusan secara umum.

        Namun, perangkat lunak tidak cukup, apabila masyarakat tidak dibekali kapasitas untuk menggunakannya dengan baik. Ini yang sering kali dilupakan. Internet contohnya, bisa sangat berguna untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Tapi kalau masyarakatnya masih dungu dan dangkal, ya hasilnya cuma semata pornografi dan pertunjukkan kekonyolan-kekonyolan lain di media.

  2. Ya. Ini menarik.

    Saya pikir gejala utamanya tetap, yakni ketidakberpikiran, sehingga kita mudah sekali tergoda oleh apapun yang membawa kenikmatan sesaat (paradigma neoliberal misalnya yang menawarkan konsumsi memikat tanpa batas).

    Para centrist menjadi tidka menarik, karena mereka berpikir. Tindak berpikir secara kritis dan mendasar membuat orang tidak jatuh pada ekstrem-ektrem. Mereka memang tidak terdengar, tetapi karena mereka bekerja secara efektif, dan tidak banyak bersuara di ruang publik. Mungkin itu juga kelemahan mereka (tidak bersuara di ruang publik).

  3. aku mau tanya, dari semua kota modern yang ada, dari semua sistem yang canggih yang ada, apa yang akan terjadi bila suatu kota memang dirancang menjadi kota modern yang terdiri dari berbagai sistem canggih (tidak hanya sistem komputerisasi tentunya) lalu semua sistemnya itu berhasil “dibobol” entah oleh siapapun??? (pretend, ia tidak memiliki dasar kota yang tidak bisa hidup tanpa sistem canggih…)

  4. argumentasinya menarik. kota seperti dalam imajinasi ini memang sementara menggeliat di berbagai belahan dunia apalagi di Indonesia. namun mengikuti ritme dan alur penjelasan mengenai kota modern saya punya pemikiran bahwa dalam konteks ini keuntungan-keuntungan yang dipersembahkan oleh sebuah kota modern lebih banyak berpihak pada kaum urban apalagi bila tidak ada perlindungan terhadap penduduk lokal dalam membentengi sumber daya (assetnya) dan memberikan affirmasi dalam persaingan-persaingan. hal ini karena, secara fitrawi manusia urban lebih siap untuk bertarung, agar dapat eksis sehingga dapat lebih lihay melihat dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, sebaliknya penduduk asli justeru lebih senang dalam posisi nyaman sehingga tidak ikut dalam mekanisme gerak sebuah kota modern, akibatnya dalam suatu rentang waktu mereka mengalami pemunduran kualitas kehidupan yang mungkin saja dapat turun temurun yang mengakibatkan semakin sulit mengakses berbagai ekbutuhan mendasar seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. mungkin teman-teman dapat pula memberikan respon atas tanggapan kami baik penulis awal maupun penanggap lain karena saat ini kami sementara menyusun narasi mengenai kota modern

    1. Sepakat sekali bahwa memang pola progress yang membuat kota bertumbuh (baca: menjadi modern 🙂 ) adalah pola yang lekat dengan kaum urban. Namun hal ini adalah sesuatu yang niscaya bisa dijaga agar berimbang melalui tata kelola kota yang beradab dan memiliki perspektif keberlanjutan (sustainability) yang utuh. Keberlanjutan itu terwujud melalui keseimbangan interaksi kepentingan antar para pemangku kepentingan (stakeholder). Ide inilah yang saya coba ajukan dalam diskursus tentang kota modern dalam konteks Indonesia.

      Dalam perspektif stakeholder engagement, sesungguhnya entitas kota modern adalah sebuah dinamika sosial yang senantiasa bergerak dan mencari keseimbangan (equilibrium). Dengan dinamika ‘amat cepat’ yang kerap kita rasakan saat ini, tata kelola kota memiliki peran sebagai regulator dan fasilitator. Bisa juga dikatakan, pemerintah kota adalah wasit dan penengah untuk menjaga keseimbangan dinamika antar kelompok, entah itu antara komponen urban progresif dengan komponen konservatif, atau antara investor dan stakholder kebudayaan, atau apapun.

      Hanya bila sudah ada kesadaran akan pentingnya keseimbangan sebagai dasar keberlanjutan kota modern itu sendiri, maka ketersediaan akses yang layak bagi semua komponen ini bisa terwujud.

      Sebagai catatan kecil di akhir tanggapan saya ini, saya ingin menyatakan bahwa tulisan ini diinspirasi oleh program tata kota yang pernah saya tinggali saat di Amerika Serikat. Jadi ide ini bisa terwujud. Namun untuk bisa mewujudkan ini, maka kita perlu masyarakat yang tidak dijajah oleh feudalisme agar antar komponen masyarakat terjadi interaksi yang demokratis dan terbuka pada perbedaan, dan tentu pemerintahan yang tegas selaku “wasit’ dan bijak selaku fasilitator. Prasyarat-prasyarat ini mungkin masih suatu ‘kemewahan’ yang harus diperjuangkan dalam konteks Indonesia.

Any thoughts?