Di tahun 2012 ini, kita melihat kegembiraan Agustusan terjadi bersamaan dengan kegembiraan merayakan Lebaran. Keceriaan tampak dimana-mana. Atau, setidaknya mereka tampak ceria, berdasar apa yang saya lihat dalam keseharian liburan kali ini.
Di tempat saya bekerja, terdapat tradisi mudik massal untuk karyawan, dimana perusahaan membiayai transportasi karyawan yang ingin pulang kampung dengan menyediakan bis yang mengantar ke berbagai tujuan. Yang menarik, ketika jumlah karyawan bertambah dari tahun ke tahun, jumlah bis yang disediakan justru menurun karena jumlah karyawan yang ingin mudik melalui program ini makin turun. Mengapa? Karena makin banyak dari mereka yang memilih mudik dengan biaya sendiri, dan sebagian bahkan memiliki kendaraan sendiri.
Mereka semua ceria, baik yang bisa mudik sendiri, maupun yang ikut serta mudik bersama. Mereka juga tampak gembira dengan bawaan mereka yang sangat banyak, hasil belanja oleh-oleh orang di kampung.
Nah di situlah pula saya mulai bertanya. Apakah ini artinya kita semakin maju dalam kemerdekaan? Apakah keceriaan yang saya lihat karena menyambut Lebaran? Mungkin juga lebih banyak mereka yang ceria karena liburan, dimana ini waktunya untuk berwisata dan berbelanja?
Kalau saya melihat sekeliling, tampaknya macet di jalan jadi topik ‘nasional’. Media massa mengangkat ini, sebagaimana juga tahun-tahun sebelumnya. Di status media sosial, isinya kebanyakan tentang perjalanan mudik atau perjalanan liburan. Seiring dengan berita itu, saya mendengar berita peningkatan jumlah kecelakaan, makin panjangnya antrian kemacetan. Ini semua bisa jadi memang lebih banyak yang mudik dengan kendaraan pribadi.
Saya juga melihat berita di media massa tentang makin banyaknya turis memenuhi tempat wisata. Bali misalnya, makin banyak dipenuhi wisatawan domestik. Sebagai akibat dari makin banyaknya orang bepergian, pembangunan ditingkatkan, dan Bali semakin padat dengan bangunan. Mungkin cuaca pun makin panas dan berpolusi. Hal yang sama juga saya pikir akan terjadi di daerah-daerah lain yang menjadi tujuan orang bepergian.
Secara ekonomis, semua ini bagus. Orang bepergian, orang berbelanja, beragam fasilitas dibangun dan mendatangkan investasi, yang pada gilirannya meningkatkan ekonomi makro, kata para ekonom. Mudik menjadi bukan semata tradisi yang penting untuk menjaga kesalehan pada orangtua dan silaturahmi dengan kerabat dan lingkungan sekitar; tapi juga membawa manfaat luar biasa bagi kesejateraan masyarakat.
Semua itu bagus, saya setuju. Tapi saya berharap dan bermimpi, bahwa semua ini terjadi dalam di negeri yang sungguh merdeka.
Sungguh merdeka dalam arti bahwa yang mengalami kecelakaan itu adalah karena murni kesalahan sendiri, bukan karena tidak layaknya infrastruktur transportasi. Bukan pula karena banyak pengemudi yang setengah mati terhimpit setoran sehingga bikin celaka di jalan bagi penumpangnya maupun pemakai jalan lain. Bukan pula karena banyaknya masalah kemacetan yang tidak lagi sebanding dengan jumlah polisi lalu lintas yang idealnya dibutuhkan.
Merdeka dalam arti bahwa peningkatan jumlah kendaraan karena memang pertumbuhan kesejahteraan yang riil, bukan semata karena jebakan hutang barang konsumtif. Merdeka dalam arti bahwa belanjaan yang mereka beli memang sanggup mereka pikul dengan kondisi keuangan mereka, dan bukan karena berhutang gali lobang tutup lobang. Hanya di negeri merdeka,
Merdeka dalam arti bahwa kesejahteraan memang sungguh tumbuh, sementara tingkat kecelakaan, kerusakan lingkungan dan hutang per kapita terkendali. Merdeka dalam arti bahwa ketika mereka memutuskan mudik, itu karena mereka mampu dan memilih melakukannya. Hanya di negeri merdeka, mudik sepadat apapun, kesejahteraan dan kenyamanan umum tetap memadai.
Bukan mudik yang membuat mereka harus berhutang lagi seusai mudik untuk membayar hutang pengeluaran untuk mudik. Bukan mudik yang membuat desa makin kekurangan orang yang mau bertani, karena banyak yang mencoba mengadu nasib ke kota akibat silau pada mereka yang tampak ‘kaya’ saat pulang mudik. Hanya di negeri merdeka, mudik adalah sungguh-sungguh mudik, dan tak menyisakan ‘bom’ waktu hutang dan urbanisasi.
Saya berharap, bahwa mereka mudik di negeri merdeka.
*) Tulisan ini sebelumnya sudah diunggah di http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/20/mudik-di-negeri-merdeka/
Menurut saya, kemerdekaan di Indonesia itu hanya ilusi. Kita sama sekali belum merdeka, baik soal politik, ekonomi, agama, dan sebagainya. Perayaan 17 an itu hanya formalitas untuk senang-senang. Memang, ini terdengar radikal. Tapi, ini yang sungguh saya rasakan. Kita sama sekali belum merdeka.
Hehehehe……maka sesungguhnya melepaskan diri dari mental jajahan dengan mengusir kemalasan dan keengganan bertanggungjawab adalah tugas utama, bukan yang muluk-muluk 🙂
Ya, mengusir kesesatan berpikir kita.. itu tugas utamanya…