Silau! Awas nabrak!

Pernahkah anda ketika berjalan atau mengemudi, lalu berpapasan dengan sesuatu yang berkilau atau membikin silau, sehingga anda tidak bisa lagi melihat apa yang ada di depan anda? Saya yakin pasti anda pernah mengalaminya, setidaknya sekali dalam hidup. Kalau saya sih paling sering terkena silaunya kendaraan di depan saya.

Tapi, silau ini ada dua macam lho. Yang pertama adalah silau beneran, karena pantulan sinar yang menyilaukan. Yang kedua adalah ‘silau’ bukan karena efek pantulan cahaya, tapi karena kita terpana atau terpesona akan sesuatu. Silau yang kedua ini, sebagaimana yang pertama, juga membuat kita tidak bisa lagi dengan jelas melihat apa yang ada di depan kita. Dengan kata lain, silau yang pertama bisa dibilang semacam ilusi penglihatan, sedangkan yang kedua adalah ilusi pikiran. Silau yang kedua ini yang lebih tricky.

Lucunya, kita memang hidup di dunia yang penuh dengan ilusi. Ilusi itu bisa jadi fisik, seperti ketika kaum laki-laki yang asyik ngobrol bisa tiba-tiba melongo bersama ketika seorang perempuan menarik lewat di depan mereka. Atau sekelompok perempuan penggemar fashion tiba-tiba kehilangan ‘kewarasan’ ketika menemukan sale merk fashion yang lagi populer. Tapi lebih jauh lagi, ilusi itu bisa jadi dalam bentuk konsep atau ide, misal ide tentang kesuksesan, kebahagiaan atau bahkan soal surga dan neraka.

Dan, ketika makin banyak hal yang dieksplorasi sedemikian rupa, maka kita semakin mudah terjebak dengan ilusi. Dalam dunia bisnis dan organisasi, ilusi itu berwujud konsep dan model-model yang tampaknya baru plus keren alias sexy. Konsep dan model yang bikin terperangah dan bergumam tentang betapa mempesonanya mereka. Konsep dan model yang membuat kita silau.

Ya. Silau. Silau karena begitu berkilaunya konsep atau ide itu, sehingga kita tidak bisa lagi melihat dengan jelas apa sesungguhnya ide yang ‘dijual’ di balik konsep atau model itu. Karena silau itu pula, kita tak lagi bisa melihat jalan dengan benar, dan mudah sekali salah arah atau bahkan menabrak sesuatu yang berbahaya.

Dalam beberapa peristiwa belakangan, kita kerap mendengar istilah kompetensi dan sertifikasi. Belum lama berselang, yang namanya uji kompetensi dan proses sertifikasi begitu populer karena menimbulkan polemik pada profesi guru. Belum jelas soal itu, ditambah pula dengan ide lucu soal sertifikasi uztad untuk menanggulangi terorisme. Semua ribut dan heboh, padahal dua konsep ini adalah bukan sesuatu yang sederhana dan dipahami dengan benar oleh kebanyakan orang. Jadinya, media kita dipenuhi oleh hiruk pikuk debat dan celotehan orang yang menggunakan sudut pandang dan versinya masing-masing tanpa upaya jernih mencari titik temu. Alhasil, konsep kompetensi dan sertifikasi ini tak lagi hanya menyilaukan, tapi bahkan bikin pening.

Saya masih ingat dulu saat krisis ekonomi 1997 mengguncang Indonesia, dimana nilai tukar Rupiah yang terkenal dengan kestabilan di angka 2500an per US Dollar, tiba-tiba terjun bebas ke kisaran belasan ribu. Waktu itu pejabat pemerintah, ekonom dan pelaku bisnis ribut soal beragam cara untuk mengatasi krisis yang belum pernah terjadi di Indonesia itu. Saat itu, saya masih ingat, betapa tiba-tiba muncul banyak konsep yang diusulkan sebagai solusi. Mulai perubahan dari rezim devisa bebas menjadi fixed rate, sampai konsep currency board system. Pastinya, semua terdengar canggih dan keren, dan terasa baru dan menjanjikan.

Demikian juga setelah pasca 1998, reformasi politik membuat kita mengenal beragam istilah dan konsep keren. Dulu semasa saya SMA sekitar tahun 1998, bagi saya reformasi politik itu ya demokratisasi. Itu saja. Ternyata, kemudian bermunculan konsep seperti electoral threshold, sistem federal dan otonomi khusus, komisi negara, elektabilitas kandidat, judicial review, dan lain lain. Dalam dunia manajemen organisasi pun bertebaran konsep-konsep menyilaukan, antara lain balanced scorecard, employee engagement, quality of work-life, talent management, employee involvement, performance management, dan sebagainya.

Selain konsep, ada pula figur-figur yang menjadi role model yang ‘menyilaukan’. Mulanya, figur-figur ini tampak menyilaukan indahnya, sampai kemudian penggemarnya sadar bahwa keterpesonaan mereka berujung pada kekecewaan. Kecewa sebab apa yang mereka pikirkan tentang figur itu terlalu indah dibanding realitanya. Contoh dari ini misalnya gegap gempita terhadap Obama, yang kini setelah hampir satu periode kepemimpinanya, tidak lagi seindah impian para pendukungnya. Atau kepemimpinan SBY yang dulu begitu dikagumi bak artis idola dan kini banyak dikeluhkan. Dalam bisnis, mengidolakan perusahaan yang dianggap luar biasa sehingga muncul GE model, Starbuck model sampai  Google model. Semua menyilaukan di awal, dan datang pergi silih berganti seiring kesadaran orang bahwa idolanya tak seindah bayangan mereka.

Bukan berarti semua model dan figur role model yang kita kagumi itu salah. Malah, menurut saya, mereka semua benar pada konteks-konteks yang relevan. Tapi semua adalah soal cara pandang. Dan yang namanya cara pandang, tidaklah aman kalau cuma satu dan menyilaukan, sehingga membuat kita tak lagi mampu melihat dari cara pandang yang lain.

All models are wrong, but some are useful. Demikian kata George EP Box, seorang ahli statistik yang terkenal karena kata-katanya ini. Saya pikir ini sangatlah penting. Kita harus sadar bahwa kesilauan kita tas hal-hal yang kelihatannya keren ini bisa berbahaya. Apalagi kalau bukan hanya terjebak ilusi saja, tapi bahkan sampai ‘mengimaninya’. Itu lebih fatal.

Maka, kalau ‘silau’ akan sesuatu, segeralah jewer kuping anda, dan jernihkan pikiran anda dari ilusi yang terjadi. Ingat. awas nabrak!

Advertisement

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s