Salah seorang klien saya pernah ngomong begini kepada saya: “Sebenarnya kita ini harus bagaimana supaya bisa dapat SDM yang nggak suka cuman loncat sana loncat sini?”……….Saya sungguh tidak bisa membantah……karena kegelisahan dia benar adanya. Pembicaraan kami pun berlanjut tentang sulitnya SDM sekarang untuk loyal dan menetap pada suatu perusahaan, terutama kalau ini menyangkut posisi-posisi yang memang selalu ada tawaran menggiurkan di tempat lain, semisal IT. Kata dia, ” Gimana Indonesia bisa maju kalau anak-anak mudanya suka pindah-pindah kerja begini”….walau kemudian dia juga berkata ” yah sebenarnya mereka itu punya banyak impian dan punya banyak kemampuan, jadi mereka suka tantangan baru…”
Nah, saya terus jadi mikir juga…..yang diperlukan sekarang ini apa ya di Indonesia? Asumsi saya, makin banyak SDM berkualitas yang suka tantangan berarti makin kreatif pula SDM kita. Tapi, bisa juga keprihatinan klien saya tadi ada benarnya, karena kalau tanpa konsistensi dan keuletan, sulit juga mencapai hasil jangka panjang yang bagus. Artinya, SDM yang sering pindah bakal bikin industri tidak optimal, dan tentu ini ada efeknya pada ekonomi secara keseluruhan.
Benarkah?
Ah sudahlah, saya lagi nggak mood bicara ekonomi skala Indonesia…..Bukan saya tidak suka, tapi ekonomi skala Indonesia adalah sebuah topik kompleks……dan saya lagi ingin mengangkat hal-hal kecil yang menarik saja kali ini : )
Apa? Ya tentang orang-orang IT yang unik tapi kompetitif itu hehehe…..Kalau merujuk omongan klien saya itu, sebenarnya mereka ngomongin satu hal aja: Lulusan IT banyak yang nggak betah jadi karyawan, dan sangat ingin buka bisnis sendiri!
Saya setuju, bahkan saya akan mengatakan bahwa saat ini, tidak hanya profesional dibidang IT. Semua SDM berkualitas yang menyadari betul potensinya dalam persaingan pasti pernah berpikir untuk ‘menjual’ kemampuannya dengan nilai yang lebih tinggi.
Saya pikir mereka ini membentuk jenis SDM baru. Mereka ini bebas menentukan bagaimana mereka ingin mewujudkan visi mereka dan membangun kesejahteraan mereka. Tapi perlu diingat, bukan berarti mereka pasti akan keluar dari pekerjaan dan berwirausaha. Bisa jadi mereka berpikir seperti ‘peladang berpindah-pindah’, karena mereka tahu bahwa kualitas mereka yang unik dan spesial memberi mereka daya tawar tinggi. Jadi ada dua tipe SDM jenis baru ini: profesional yang menjadi pemilik usaha dan profesional yang berdayatawar luar biasa.
Yang pertama adalah SDM yang punya latar belakang pekerjaan profesional yang cukup mendalam di suatu bidang kerja tertentu; sangat terampil dalam menggunakan teknologi yang terkait dengan pekerjaannya; serta dilengkapi dengan personality yang independen, matang serta visi yang kuat.
Banyak dari mereka memang punya latar belakang pendidikan di bidang-bidang spesifik berbau teknologi seperti IT. Mau contoh di Indonesia? Mari kita lihat Kaskus, Koprol, Urbanesia dan sebagainya.
Selain yang berlatar profesional bidang IT, mulai bermunculan pula yang berlatarbelakang bidang-bidang lain. Mereka ‘menjual’ beragam jasa dan produk mereka melalui komunitas-komunitas dengan bantuan teknologi, minimal melalui website. Untuk contoh yang ini, nggak usah jauh-jauh: mahasiswa yang berbisnis hewan dan tanaman di internet dengan website dan e-commerce technology. Mereka ini yang kerap disebut dengan technopreneur.
Nah, sekarang jenis SDM yang satunya: profesional dengan personal brand yang spesial. SDM jenis ini resminya karyawan; tapi mereka bukan karyawan biasa. Mereka punya beberapa ciri utama: mereka lebih tampak sebagai seniman manajemen yang terampil, seringkali pekerjaannya tidak relevan dengan latarbelakang pendidikannya, tapi hasil kerjanya lebih efektif daripada karyawan yang pendidikannya relevan; dan mereka sangat bagus dalam mengatasi tantangan sulit yang tidak ada referensinya dalam teori-teori.
Orang-orang ini memang karyawan, tapi mereka karyawan ‘bertangan emas’ yang selalui dipandang sebagai SDM yang luar biasa berharga oleh tempat kerjanya. Tentu saja mereka memiliki daya tawar yang sangat tinggi, sehingga kebebasan mereka dalam menentukan karirnya tak kalah dengan para technopreneur. Mereka menjadi luar biasa berharga bukan saja karena kompetensinya, tapi terlebih lagi karena personal quality mereka yang berpengaruh luar biasa. Sekalipun sebagai karyawan, personal brand mereka seringkali tidak kalah dengan brand tempat kerja mereka. Contoh di Indonesia? Sebut saja Agus Martowardoyo, Sri Mulyani Indrawati, dan beberapa nama profesional yang sepertinya akan selalu dapat kerjaan bergengsi. Kalaupun bukan nama-nama besar seperti mereka, lihat saja orang-orang sekitar anda yang menjadi incaran headhunter. Mereka ini yang oleh Seth Godin disebut sebagai linchpin.
Jadi sepertinya, dunia SDM tidak lagi seperti teori-teori klasik yang menggolongkan SDM sebagai pemilik modal dan pekerja. Sekarang bisa jadi pengelompokkannya berbeda. Satu kelompok adalah para technopreneur dan linchpin yang sedang menjadi nafas ekonomi kreatif yang perubahannya sangat dinamis. Kelompok satunya adalah enterpreneur konvensional dan karyawan konvensional yang menjadi ‘mesin’ industri konvensional, yang mulai ketinggalkan jaman. Bila demikian, pandangan-pandangan dan teori-teori konvensional tentu tak lagi menjadi rujukan utama untuk masa depan.
Bagaimana menurut anda? Atau lebih tepatnya, jenis SDM yang manakah anda di dunia yang sedang berubah ini?