Isi obrolan itu menarik karena mengangkat dilema klise, tapi selalu terjadi, tentang mana yang harus diprioritaskan antara cinta dan cita-cita.
Cinta disini tidak hanya cinta pada pasangan, tapi juga cinta keluarga, atau cinta pada teman-teman. Hari Dharmawan, pendiri toserba Matahari, dalam wawancaranya dengan Forbes Indonesia edisi April 2011, mengatakan bahwa keputusannya menjual Matahari pada Lippo Group adalah karena dia menyadari keluarganya lebih penting dibanding bisnis. Saat itu, katanya, Matahari tumbuh dengan gerai semakin banyak, dan menangani Matahari mengambil semua waktu hidupnya dan tidak menyisakan waktu untuk keluarganya.
Cinta, dalam arti yang lebih luas, seringkali juga menjadi hal yang menarik, seiring dengan makin kuatnya fenomena best friend forever (BFF) di kalangan anak muda sekarang. Ini juga bisa jadi menjadi trend di kalang usia yang lebih dewasa, seiring makin banyaknya acara reunian yang berlanjut dalam beragam bentuk kegiatan bersosialisasi.
Tidak hanya dalam konsteks pribadi hal ini menjadi dilema. Dalam konteks organisasi juga demikian. Banyak tulisan dan anjuran di media massa tentang work-life balance. Banyak pula public speaker seputar gaya hidup dan profesionalisme yang mengangkat soal ini. Saya tidak memungkiri bahwa ini penting, tapi saya juga tidak bisa menolak bahwa work-life balance bukan sekedar membagi waktu. Work-life balance adalah soal menyeimbangkan antara hidup dan pekerjaan; termasuk di dalamnya adalah soal apakah kita bekerja untuk hidup bahagia atau kita hidup untuk bekerja.
Maka, cita-cita adalah soal karya dalam hidup kita, yang biasanya terwujud dalam karir dan pekerjaan, Sedangkan cinta sesungguhnya soal kebahagiaan dan kepuasan atas makna hidup. Namun, keduanya seringkali menjadi dilema hidup banyak orang. Bahkan banyak yang mengatakan, ini semua soal pengorbanan. Artinya, pilih mana yang diprioritaskan, cinta atau cita-cita. Konsekuensi dari asumsi pilihan seperti ini tentunya ialah memprioritaskan yang satu sama dengan mengorbankan yang lain.
Di titik ini, saya sungguh bertanya, dimanakah cinta dan cita-cita berada. Tentu ini adalah sebuah pertanyaan yang sesungguhnya mengajak diri kita memikirkan lebih jernih, apakah definisi yang kita gunakan tentang cinta, cita-cita, keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan.
Di dalam family business yang tak punya prinsip meritokrasi apalagi, cinta pada keluarga dan cita-cita besar di masa depan sering tergulung dalam benang kusut. Cinta dan cita-cita begitu rumit membelit, sehingga tak lagi jelas apakah yang disebut sebagai cinta benar-benar cinta, ketika ia digunakan sebagai alasan untuk penguasaan harta. Cita-cita pun tak lagi jelas karena atas nama ‘cinta’, atau ‘cinta kasih’, segala hal destruktif dan kontraproduktif ditoleransi.
Pelajaran dari Rubens Ometto, pendiri Cosan (industri ethanol raksasa dunia), juga bisa menjadi inspirasi menarik. Ketika dia dipaksa kembali oleh ayahnya untuk meneruskan bisnis keluarga, ia yang sudah berkarir sebagai profesional sekian lama tahu bahwa ‘politik cinta’ sudah menghancurkan cita-cita ayahnya. Maka, yang ia lakukan adalah melakukan reformasi meritokrasi dalam perusahaan itu, yang akhirnya hanya menyisakan dirinya yang merupakan anggota keluarga pemilik. Ia ‘menyingkirkan’ saudara-saudaranya serta para kerabat yang telah membuat perusahaan menjadi tercerai-berai karena begitu banyaknya kepentingan. Perusahaan, yang kini besar dengan nama Cosan itu, menjadi kuat setelah dibersihkan dari kemelut yang timbul dari semua anggota keluarga yang berkuasa atas nama ‘cinta’.
Saya sendiri merasa, cinta dan cita-cita memang dua sisi dari satu koin, yaitu koin kebahagiaan. Cinta yang membunuh cita-cita, bukanlah cinta.
Cinta yang menghancurkan, mengkerdilkan dan memecahbelah diri kita dalam mencapai cita-cita, tak akan membuat hidup kita bermakna. Bila demikian, apakah itu sungguh-sungguh cinta?
Cita-cita yang tidak disemangati cinta, tak akan membuat kita bahagia. Bila demikian, apalah arti tercapainya cita-cita.
Seperti yang kamu bilang, cinta dan cita seharusnya memang tak usah dipisahkan. Orang bekerja dengan hati sebenarnya sudah menggabungkan antara cita dan cinta dalam hidupnya.
Dan orang memang tidak boleh sembarangan antara nama cinta. Seringkali kata itu digunakan untuk menutupi nafsu menguasai dari orang yang mengucapkannya. Kata itu seringkali juga digunakan untuk menutupi sikap bodoh yang bersembunyi di belakangnya.
Cinta pada esensinya menurut saya adalah penempaan karakter untuk mencapai hidup yang berkeutamaan, baik pada level sosial maupun pribadi. Maka orang seringkali juga perlu bersikap tegas dan keras untuk menunjukkan kedalaman cintanya.
Ini yang masih sulit dipahami masyarakat kita.
Saya setuju, cinta dimaknai secara dangkal melalui seremonial dan pola-pola perilaku superfisial. Padahal cinta haruslah dalam dan esensial, untuk bisa disebut cinta. Karena dalam dan esensial itulah, cinta sesungguhnya merupakan energi seseorang untuk mencapai cita-citanya.
Tapi seperti yang kamu bilang, ini menjadi tantangan ketika berada dalam konteks yang berkarakter ‘seadanya’, ‘setampaknya’, dan ‘sejadinya’.
cita-cita dan cinta memang idealnya dan alangkah indahnya kalau sejalan/saling mendukung..tapi seringkali situasi yang kompleks (seperti pengaruh budaya, nilai, gender,perubahan pola pikir) dan ketidakjelasan definisi pribadi “cinta dan cita-cita” membuat seseorang merasa terdesak untuk memilih…
setelah memilih, apakah bahagia?..belum tentu..masih banyak yang harus dipikirkan..
memilih cinta, harus menemukan cita-citanya yang disesuaikan dengan cintanya, membongkar ulang apa yang ia jadikan gairah hidup…memilih cita-cita, harus “memperbaiki” perasaannya, berusaha merepress kenangan yang selamanya tidak mungkin terlupakan karena manusia punya memori…
point pentingnya, setidaknya, manusia tersebut pernah mengambil sebuah pilihan dalam hidupnya..dia sadar dia punya kuasa atas hidupnya..dia menjadi apa yg dia pilih..
dan saya setuju dengan pesan2 pak james “Za, Hiduplah untuk bahagia…”
Hehehehe…..kok fatalis banget gitu ? 😉
Komentarku cuma satu, apakah cinta dan cita-cita itu kewajiban sosial? Sebab, ketika terasa seperti beban sosial dan lain sebagainya, aku melihat bahwa cinta dan cita-cita menjadi sebuah kewajiban sosial, bukan kreasi individual.
Memang betul bahwa tidak selalu akan berjalan ideal antar keduanya. Tapi apa yang dalam hidup yang tidak begitu? Justru mungkin perlu dipikirkan ulang, apa sebenarnya yang diinginkan dalam hidup? Dan tentu saja yang kumaksudkan disini adalah keinginan individual, bukan ‘kewajiban sosial’. 😉
hahaha…saya menemukan sesuatu yang baru…
cinta dan cita-cita…apakah kewajiban sosial?…
Hehehe…..bagaimana menurutmu?
Atasan saya pernah berkata, apabila cinta itu yang disebut cinta sejati adalah pengorbanan…nah apakah bila adanya cita-cita hrs disertai dengan cinta, maka itu adalah keinginan kita utk mengorbankan segalanya demi mencapai cita2. 😀
Hahaha….itu kan kata atasanmu…. 🙂
Aku justru mau menggarisbawahi tentang ‘cinta adalah pengorbanan’ itu. Ini frase yang sering disalahgunakan, seperti yang dikatakan Reza.
Seringkali itu adalah pernyataan politik yang bikin ruwet, dan menimbulkan cinta-cinta palsu.
Bagaimana menurutmu?
saya meyoroti yang kewajiban sosialnya pak…agak diluar konteks yg pak james tulis, karena berkaitan dgn obrolan kita..
saya setuju kalau seharusnya cita-cita dan cinta itu adalah kreasi individu, saya punya pengalaman, terlibat dalam obrolan ttg pernikahan mau diusia berapa, lihat bagaimana super ego saya..
saya blg mgkn 27 ato 28..temen saya blg “biasae cewek tuh umur 25 belum punya pacar wes bingung, menikah diusia segitu apa ga terlalu tua?”
“saya rasa saya cukup matang diusia segitu”
trs saya ditanya “apa pacarmu yang sekarang kamu perkirakan suamimu nanti?”
saya jawab “belum tentu, saya suka memiliki hubungan spesial, tapi saya nggak terlalu suka membayangkan pernikahan, mgkn karena aku juga masih muda,belum mikir kesitu” tiba2 temen-temen saya berekspresi aneh..
padahal yang saya maksud, pernikahan itu terjadi kalau memang keduanya sudah cocok..bukan karena seharusnya menikah diusia berapa..
orang yang ga punya cita-cita, juga repot, ntr dibilangi “kamu itu kok ga punya cita2”
itu yang saya blg kmrn “kalau memang dia terpaksa harus memilih, setidaknya dia sdh memilih menjadi yang dia pilih” orang yang cm ngalir dan tidak pernah memilih bukankah lebih menyedihkan?..
saya punya temen yg pernah bilang “kamu tipe orang yang kalau diusia muda km ga punya passion, diusia tua nanti kamu akan menyesal dan merasa sia2, karena tidak ada yang kamu kejar dalam hidupmu”
kesimpulannya, cita dan cita2 itu lbh indah klo atas kreasi individu.. ^__^
I see……ya aku setuju, setidaknya ada sikap yg tegas dan jelas. Itu sebenarnya sebuah bentuk kreasi individu. Itu soal cita-cita dan cinta juga, kalau dipikir-pikir.
Apakah selalu cinta akan membawa kehancuran pada sebuah cita-cita Pak?
Jika iya bagaimana cinta yang baik? 😀
Hai janice…rasae pertanyaanmu sdh dijawab di tulisan pak james.. dan obrolan2 sebelumnya… ^__^
selamat membaca yaa… ;p
Yanie betul, Janice. Aku sudah menguraikan pendapatku dalam tulisan. Keduanya tidak sepatutnya diadu, karena mengorbankan yang satu sama dengan menghilangkan makna yang satunya. Mungkin bagian ini dapat memperjelas : “Saya sendiri merasa, cinta dan cita-cita memang dua sisi dari satu koin, yaitu koin kebahagiaan.”
lha kalo memang “cinta adalah pengorbanan” menghasilkan pernyataan politik yang bikin ruwet, lalu dr mana kita tahu itu adalah cinta yang palsu?. Toh, ketika bapak sndr blg bahwa cinta dan cita2 itu tidak dapat dipisahkan. apakah itu sndr bknnya politik yg bikin ruwet? 😀
Kedua, kalo emang cinta adalah kreasi individual, berarti ini yang menarik :)…berarti kita bs membuatnya tampak indah dan palsu?
Hahaha….bantahan ini menarik, karena mengangkat asumsi–asumsi yang jarang dikritisi….atau, malah sering dibikin lebih rumit daripada aslinya 😉
Pertama, palsu tidaknya cinta kan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pengorbanan hehe. Ini ada asumsi yang mengartikan kalau pengorbananlah yang membuktikan palsu tidaknya cinta. Kan cinta jauh lebih besar dari sekedar pengorbanan. Belum lagi, sebutan pengorbanan itu kan sebutan yang diberikan oleh orang luar, sementara yang terikat dalam relasi cinta biasanya malah menggunakan istilah pemberian yang tulus. Sebuah pernyataan kerelaan, bukan keterpaksaan (yang tergambar implisit dalam pengorbanan) hehehehe……
Soal cinta dan cita-cita adalah politik yang bikin ruwet, saya tidak paham maksudmu. Yang jelas justru saya menyarankan untuk tidak membikin ruwet, dengan menyembunyikan kelemahan kita dengan mempersalahkan pilihan cinta dan cita-cita yang dibikin seakan-akan keduanya berlawanan. Ini kan asumsi yang sama dibalik kata ‘pengorbanan’, yang biasanya muncul dalam bentuk klasik: “Aku korbankan cita-cita ku demi cintaku padamu” atau “aku korbankan cintaku demi cita-citaku”
Ini justru kental dengan politik membikin alasan, untuk menyelubungi kegagalan kita untuk menjaga dua-duanya. Kenyataannya, kalau jujur dan tidak munafik, kan kita mau dua-duanya. Kalau gagal, ya udah, gagal deh. Gitu aja kok ruwet-ruwet. Tapi kita malu, jadi kita bikin seakan keduanya meniadakan satu sama lain hehehe 🙂
Kedua, cinta kreasi individual berarti bisa membuat cinta indah tapi palsu? Hehehe….bukan hanya cinta, bahkan kita bisa membuat diri kita dan apapun dalam hidup kita tampak indah tapi palsu. Ini tentu juga berlaku pada cinta, makanya kan ada orang yang cintanya palsu. Akhirnya, dia berujung pada rasa tidak bahagia, dan pasangan atau siapapun yang terlibat dalam relasinya berakhir tidak bahagia pula. Awalnya sih indah, lha wong masih buta. Tapi bisa juga sebaliknya, cinta pura-pura atau tidak ada cinta lama-lama jadi cinta beneran. Itulah memang kreasi individual, bisa apapun hehehe…….
Menurutku sih, menganalisis cinta secara rumit bikin kita tidak jujur dan makin jauh dari cinta. Bahkan, prinsip yang sama juga berlaku untuk politik dan hidup hahaha… 😉
Gimana, Nielsen?
Hahahaha..Mungkin aku bisa menangkap maksudnya, cinta adalah soal merasakan bukan menganalisa…
Bila merasakan adalah salah satu modal cinta berarti kita mengikuti kemanakah berjalannya cinta? (kok terasa filsafat banget hahaha…)
Hahaha…..itu mungkin juga. Tapi bisa juga cinta yang menuntun kita 😉