Spiritualitas dalam pengembangan organisasi

Dragon

“ada dua jalan menuju kesempurnaan

terbang jauh ke langit bagai naga

atau mengeborkan kepala ke dalam tanah bagai cacing”

Begitu kira-kira kalimat yang saya bisa ingat dari salah satu buku ‘tua’ yang pernah saya baca, novel Judge Dee : The Chinese Maze Murders karya Robert Hans van Gulik. Saya pikir kalimat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual Taoisme ini, menjadi makin dalam maknanya bagi saya seiring waktu berjalan dan pengalaman demi pengalaman di lapangan saya lalui.

Dalam pekerjaan saya selama ini, saya belajar satu hal besar: Dalam organisasi, ada beragam pekerjaan besar hingga kecil, namun semuanya adalah jalan menuju kesempurnaan yang sama. Ya, kesempurnaan yang saya bicarakan di sini, bukan profit atau kinerja fungsional.

Mengapa? Saya menemukan bahwa seorang direktur dan komisaris menentukan keberhasilan organisasi, sebagaimana seorang petugas security atau cleaning service juga menentukan keberhasilan dalam organisasi dalam bentuk yang berbeda. Khususnya, dalam konteks perubahan dan pengembangan organisasi.

Ketika seorang yang bertugas menyediakan teh tiap pagi dibandingkan dengan seorang marketing team leader, maka dia tampak sebagai orang biasa di mata perusahaan. Petugas dapur yang membuat teh tampak jelas bukan pilar kesuksesan perusahaan, dibandingkan dengan sang marketing team leader. Alasannya sederhana. Si petugas dapur yang bertugas membikin teh tidak punya indikator kinerja yang dengan jelas menentukan pencapaian hasil perusahaan.

Namun ketika kita bicara dalam proses perubahan dan pengembangan organisasi, saya belajar bahwa semuanya akan terlihat sedikit berbeda.

Si pembuat teh, tampak sebagai posisi remeh saat situasi biasa. Tapi ketika proses perubahan tengah terjadi, isu negatif yang ditiupkan oleh seorang pembuat teh tak kalah signifikan dengan persetujuan seorang direktur. Misalnya saja ketika kita ingin membangun budaya excellent service quality, dan seluruh direksi sudah menyetujui. Namun, petugas pembuat teh, entah karena tak paham atau tak terbiasa, ternyata tidak bisa menjalankan prosedur layanan sebagus yang diharapkan. Maka, kita sulit memungkiri bahwa buy-in si pembuat teh terhadap budaya baru ini sama pentingnya dengan buy-in dari top management.

Pada konteks perubahan organisasi, makin banyak kesungguhan hati dan support dari semua orang, makin besar kemungkinan untuk membuat perubahan dan pengembangan organisasi menjadi sustainable. Sebaliknya, makin banyak kepalsuan dan sikap setengah hati, makin besar kemungkinan perubahan yang kita lakukan menjadi kesia-siaan.

Mungkin kita sering abaikan ini, entah karena keangkuhan atau ketidakpedulian. Bayangkan saja bila direktur tidak sungguh-sungguh dalam memikirkan arah organisasi ke depan, dan malah bekerja bagai pembuat teh di dapur yang setiap hari tehnya ya sama terus. Sebaliknya, pembuat teh malah bukannya disiplin membuat teh yang sama setiap pagi, malah sibuk berkomentar dan bergosip sembarangan tentang rencana perubahan organisasi.

Perencanaan dan konsep yang luar biasa dari top management bagai naga yang terbang ke angkasa. Kedisiplinan dan kesungguhan membuat teh setiap hari bagai cacing yang terus menggali ke dalam tanah. Bila cacing mencoba terbang ke langit, dan naga memilih menggali tanah, maka keduanya tak menjalani kesempurnaan yang diamanatkan padanya.

Keduanya, dengan cara dan perannya sendiri, bila dijalankan dengan kesungguhan, memiliki nilai kesempurnaan yang sama. Menurut saya, inilah makna spiritualitas dalam pengembangan organisasi. Dan kita semua, entah yang bergelut dengan konsep dan visi yang membumbung ke langit tanpa batas…..atau yang terus bergelut dengan peluh dan keruwetan pekerjaan setiap hari yang sangat membumi…..kita punya jalan menuju kesempurnaan masing-masing.

Advertisement

4 thoughts on “Spiritualitas dalam pengembangan organisasi

  1. Saya suka sekali tulisan ini James. Keteguhan hati berhadapan dengan kejenuhan maupun tantangan di dalam mewujudkan tujuan hidup pribadi maupun bersama adalah sesuatu yang amat esensial. Saya juga tahu membicarakannya jauh lebih mudah dari menjalankannya.. jauh…

    1. Betul, jauh sekali hehehehe…….oleh karena itu aku menyebutnya sebagai sebuah kualitas spiritual, dan perlu direfleksikan ulang terus menerus agak tak ‘lenyap’ dalam perjalanan. Entah sebagai naga, atau cacing 🙂

  2. Ya. Amat menarik melihat fakta, bahwa hal-hal yang terlihat begitu profan ternyata memerlukan kualitas-kualitas yang amat spiritual.

    Saya jadi teringat diktum kuno para Yesuit: menemukan Tuhan di dalam segala sesuatu (terutama hal-hal yang paling terlihat tak bertuhan).

    Atau mungkin pembedaan antara profan dan spiritual itu sendiri sebenarnya bermasalah? Bagaimana menurutmu?

    1. Menurutku, memang disitulah yang bikin ruwet. Realitas profan dan spiritualitas sebenarnya tak terpisahkan. Pembedaan ini menguntungkan dari segi permainan kepentingan, tapi menjauhi makna spiritualitas yang sejati.

      Padahal, spiritualitas yang menjiwai peran keseharian bisa berdampak luar biasa.

Leave a Reply to Reza A.A Wattimena Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s