Reformis, tapi kok kolot?

Sekarang ini di Indonesia, hampir semua mengaku reformis. Semua mengaku ingin dan bisa melakukan perubahan. Saya tidak bicara soal negara di sini. Dalam keseharian, saya rasa sangat mudah untuk menemukan orang yang berkoar-koar menjanjikan perubahan dalam sekejap pada lingkungan sekitarnya. Mudah pula untuk menemukan orang yang menuntut perubahan bisa terjadi dan berhasil dalam sekejap.

Memangnya perubahan dan reformasi itu kacang goreng? Mudah diperoleh, renyah, dan cepat habis?

Sejarah, perubahan dan kisah para reformis

Kalau kita menilik dari sejarah, ada banyak contoh bahwa reformasi dan perubahan adalah soal proses. Lihat saja sejarah dua agama yang mendominasi bumi pada beberapa abad terakhir, gereja Nasrani dan gerakan Islam. Sejarah Nasrani berisi adalah pembaruan makna, yang kemudian mengalami ‘peng-kuno-an’, lalu direformasi lagi, lalu menjadi kuno lagi dan seterusnya. Sejak era Yesus hingga kokohnya Katholik Roma, dari Masa Kegelapan hingga lahirnya Protestan, dan dari jaman Luther dan Calvin hingga munculnya ratusan denominasi dalam kelompok Protestan sendiri. Pembaruan dan ketertinggalan jaman datang dan pergi silih berganti.

Sejarah Islam juga demikian. Mulai era Nabi Muhammad SAW hingga kepemimpinan sahabat-sahabatnya (semisal Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib),  jaman kebesaran dinasti-dinasti Islam, hingga ke era pemikir-pemikir besar seperti Ibrahim Al-Ghazali. Kini, Islam dan modernisasi juga menunjukkan bahwa reformasi dalam Islam kembali muncul menyambut era baru.

Yang menarik adalah bahwa sesungguhnya esensi dari semua proses pembaruan itu tetap sama. Jadi pembaruan terhadap pembaruan sebelumnya (yang telah menjadi kuno), dilakukan untuk merevitalisasi esensi yang dibawa agar sesuai dengan jaman yang lebih baru. Semua ini menunjukkan satu hal, yaitu pentingnya memperbarui cara pikir dan cara bertindak terkait dengan suatu esensi, dalam kaitannya dengan realitas terkini. Dengan kata lain, mencoba untuk tidak menjadi kolot dan tersesat di dalam kekolotan.

Gerekan pembebasan juga bisa menjadi contoh menarik soal ini. Banyak tokoh-tokoh revolusioner yang ‘tersesat’ dalam hasrat revolusionernya, dan gagal memahami bahwa jaman yang berubah menuntut cara berpikir dan cara bertindak yang berbeda. Tak ayal, banyak dari mereka menjadi diktator, walaupun mereka mengusung ide-ide yang sangat radikal pro kebebasan.

Apakah ide mereka kolot? Jelas tidak. Orangnya yang kolot, dan tidak ada jaminan bahwa orang dengan ide perubahan pasti bukan orang kolot. Banyak mereka yang menyebut dirinya reformis, ternyata kolot.

Yang kolot adalah cara pikir dan cara kerja mereka, yang membuat mereka ‘memaksakan’ terwujudnya ide mereka melalui cara yang tak lagi sesuai jaman. Kerap kali ide bagus yang diterjemahkan dengan cara kolot ini kerap gagal karena tidak realistis, sehingga akhirnya mereka memilih mengandalkan kekuasaan, misal otoritarianisme dan kultus, untuk memaksa dunia agar mengikuti cara kerja mereka yang sudah ketinggalan jaman. Ada yang berhasil, dan tak sedikit yang gagal. Akibatnya, banyak yang melihat mereka sebagai orang yang mengalami post power syndrome, ketimbang dilihat sebagai reformis.

Ini semua adalah bentuk kekolotan. Kolot disini artinya gagal menemukan titik temu dengan realitas yang senantiasa memperbarui dirinya.

‘Si Kolot’

Acap kali, kekolotan lahir dari keasyikan ‘bermain’ wacana yang berlebihan, dan lupa untuk mengkompromikan dengan realitas. Realitas adalah kondisi mengambang yang dibangun oleh kompromi-kompromi yang paradoksal. Tarik-menarik dalam kompromi paradoksal itulah yang kita sebut sebagai perubahan. Kadang arahnya menuju harmoni, kadangkala juga tidak.

Kolot itu dicirikan oleh pikiran sempit, suka meremehkan dan menggampangkan, tindakan lambat, suka menghambat, dan intensitas aksi yang jauh lebih rendah daripada kata-kata. Kolot adalah sebuah ironi, dimana ‘sang pembaharu’ gagal memahami bahwa dirinya telah tertinggal oleh arus perubahan; dan alih-alih menjadi reformis, dia menjadi si Kolot yang hidup dalam nostalgia reformasi. Idenya selalu tentang reformasi dan perubahan, tapi cara pikirnya kolot.

Reformis dalam wacana, kolot dalam tindakan. Kadang saya berpikir, orang jenis ini justru lebih parah daripada orang kolot dalam wacana. Mengapa? Karena orang yang begini  maunya segalanya gampang, tapi tidak menghargai dan berkontribusi pada proses. Bagi mereka ini, menjadi reformis berarti menjadi orang yang maunya menikmati hasil reformasi, bukan turut membangunnya.

Itulah mengapa ada perubahan yang konstruktif dan kreatif, dan ada juga perubahan destruktif dan melelahkan. Yang kedua biasanya dimainkan oleh orang-orang reformis, tapi kolot.

Reformis sejati itu tidak kolot

“Bagi saya, lebih enak menahan kuda yang berlari kencang daripada mencambuk kuda yang malas”, demikian kata Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia. Ini ilustrasi menarik. Semua orang suka dan ingin bergerak maju ke depan dengan cepat. Tapi ada yang ingin memaksa agar lingkungan bergerak lebih cepat, dan ada yang memilih masuk ke lingkungan berpotensi untuk berarus cepat dan berusaha mengendalikan kecepatannya. Esensi yang diusung sebenarnya sama: Menjadi lebih cepat. Tapi, cara mengelola energi antara keduanya bertolak belakang (push-pull perspective).

Memang, di era serba cepat ini, diperlukan perubahan yang sejalan dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Namun bukan berarti perubahan dan reformasi bisa dikerjakan dalam semalam. Proses yang matang mutlak diperlukan, dan itu berarti kemampuan melihat (envisioning) beberapa langkah ke depan. Itu juga berarti kemampuan menjemput dan bergerak seiring perubahan merupakan kapasitas yang wajib dimiliki. Ini membutuhkan kemauan dan kemampuan merubah cara pikir dan cara bertindak. Tanpa itu, membaca setumpuk buku tentang perubahan dan mengikuti ribuan seminar pun bisa sia-sia belaka.

Pendek kata, reformis sejati itu tidak kolot.

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

6 thoughts on “Reformis, tapi kok kolot?

  1. hehehe… saya menyebut fenomena ini sebagai; paradoks kekolotan. Idenya progresif namun pola berpikir dan bertindaknya kolot. Pertanyaannya adalah mengapa mereka bersikap seperti itu?

    1. Orang progresif juga perlu berpikir reflektif; melihat diri dan perannya di masyarakat yang terus berubah. Orang berpikiran progresif namun kolot seringkali tidak reflektif.
    2. Orang progresif tidak boleh terlalu lama duduk di puncak kekuasaan. Dia harus turun dan bergerak kembali ke akar rumput, karena disanalah roh perubahan amat terasa. Orang yang progresif namun berpikiran kolot seringkali nyaman di kursi kekuasaan, dan jadi seperti kerupuk melempem di dalam tindakannya.

    1. Hahahaha…..saya sepakat!
      Poin pertama sangat vital, karena perubahan cara pandang dan cara bertindak itu hanya bisa dimulai melalui proses reflektif.
      Poin kedua juga sangat esensial. Otoritas cenderung membuat kita ingin memastikan dan mengendalikan segalanya, dan menjauhkan kita dari kondisi riil yang penuh ketidakpastian. Padahal, perubahan itu soal ketidakpastian.

  2. Jadi memang penting untuk melakukan dua hal secara rutin: refleksi (di Indonesia seringkali dianggap sebagai pijat refleksi) dan turun ke akar rumput, guna merasakan gerak perubahan dan ketidakpastian.

    1. Hahaha…..betul, refleksi jadi sekedar pijat refleksi….ini kebenaran yang pahit tentang sebuah masyarakat dengan kecederungan untuk ‘mendangka’ dan mencerna segala apa dalam tataran fisik. Jadi refleksi mental pun tenggelam dalam pengertian refleksi fisik.

      Kalo sudah lihat begini, saya jadi prihatin juga. Agak kuatir karena walau banyak orang yang bagus di negeri ini, tapi massa yang jauh lebih banyak adalah yang agak ‘dangkal’. Lalu bagaimana mereka mau beradaptasi dan berkompetisi dalam konteks internasional, kalau masih dangkal.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s