Marvin Weisbord, seorang konsultan senior dalam bidang pengembangan organisasi di Amerika Serikat, menulis buku berseri yang berjudul Productive Workplaces dan Productive Workplaces Revisited. Buku pertama menceritakan beberapa perusahaan dimana Weisbord menjadi konsultan dan fasilitator(baik internal maupun eksternal). Buku kedua ditulis sekitar satu dasawarsa sesudah buku pertama diterbitkan. Buku kedua berisi kisah perusahaan-perusahaan tersebut saat Weisbord mengunjungi mereka kembali (revisit).
Ada banyak insight bisa diperoleh dari pengalaman Weisbord yang tertuang dalam kedua buku tersebut. Namun, yang menarik bagi saya adalah bahwa beberapa perusahaan yang ditulis di buku pertama ternyata sudah tinggal ‘sejarah’ di buku kedua. Beragam cerita dan analisa dituturkan Weisbord dalam buku kedua, namun bagi saya ada satu pola menarik. Berdasar pengalaman yang saya lalui, pola ini sangat boleh jadi juga sesuai untuk konteks organisasi bisnis umumnya. Apa itu? Pola kerja!
Pola kerja merupakan unsur penentu kehidupan suatu bisnis atau organisasi. Sebuah organisasi bisa saja memiliki papan nama, dokumen-dokumen, company profile atau bahkan segala atribut-atribut lain yang terlihat meyakinkan dan bonafide. Namun yang menjadi penentu riil adalah pola kerjanya. Dan, dalam bisnis, pola kerja sangat menentukan hidup mati perusahaan.
Lain halnya dengan organisasi pemerintahan, dimana pola kerja mungkin tidak ‘mematikan’ karena pemerintahan selayaknya tidak mengenal istilah gulung tikar. Namun pemerintahan bisa mengalami ketidakpercayaan dan ketidakstabilan apabila pola kerjanya payah, meskipun punya kantor-kantor yang megah dan dokumen-dokumen yang luar biasa kompleks. Pemerintah Indonesia adalah contoh jelas untuk yang satu ini.
Dalam bukunya, Weisbord mengisahkan bagaimana perusahaan-perusahaan yang ia tangani mengalami masa jaya setelah buku pertamanya. Namun setelah pola kerjanya berubah, terutama dalam artian pola interaksi kerja antar orang di dalamnya berubah. Perubahan inilah yang mengantar sebagian perusahaan tersebut bertahan, dan mengantar sebagian lainnya ke akhir kisah mereka.
Saya pikir logika dasar organisasi ternyata tetap berlaku: Roh sebuah organisasi adalah pola kerjanya, dan itulah penentu hidup matinya. Apapun istilah yang digunakan, apapun kecanggihan teknologi yang digunakan; pola kerja riil yang diterapkan oleh orang-orang yang bekerja adalah sistem kerja sesungguhnya. That’s why, saya melihat bahwa budaya organisasi merupakan cerminan sistem kerja yang jauh lebih akurat daripada teknologi canggih dan beragam deklarasi/moto yang ditampilkan dalam company profile. The actual work system lies in people’s ways of working!