Apakah orang yang berdasi pasti profesional? Apakah celana jeans belel berarti tak kompeten? Ini sebuah pertanyaan yang sangat umum tapi ya tetap tidak mudah menjawabnya. Mengapa? Ya karena jawabannya bisa ya dan bisa juga tidak. Sebenarnya, kalau cuma menjawab, itu masalah sederhana. Yang bikin repot, ada konvensi tidak tertulis tentang penampilan bagaimana yang disebut profesional. Seorang kawan punya komentar lucu soal ini. Begini katanya: “Memang pepatah mengatakan don’t judge the book by its cover……tapi ini kan bukan soal buku! ”
Coba lihat kawan-kawan yang bekerja di lini-lini industri tertentu, yang identik dengan jas dan dasi. Dalam masyarakat konsumen kita yang suka terpesona dengan jas dan dasi, penampilan perlente memiliki arti profesional dan meyakinkan. Dari sini pula kita mengenal istilah gaya busana ‘eksekutif muda (eksmud)’, dimana cowok berpakaian kemeja rapi dengan rambut klimis dan berdasi, dan cewek dengan pakaian dan make-up formal keren bergaya ‘wanita karir’. Ini bukan sekedar berbusana sopan dan menarik, karena banyak cara untuk tampil sopan dan menarik tanpa jas, dasi dan sebagainya. Ini soal pandangan umum yang secara informal sudah diyakini bahwa budaya berdasi adalah lambang profesionalisme.
Konvensi ini memang bisa jadi berlaku sangat relatif pada industri kreatif dan hiburan. Warna-warni gaya busana dalam industri kreatif adalah sesuatu yang amat wajar. Bahkan, ekspresi yang demikian merepresentasikan nilai kreativitas, yang merupakan inti profesionalisme dalam industri kreatif. Namun tetap saja sulit dipungkiri bahwa dalam kebanyakan konteks pekerjaan, tampilan busana (attire) tetaplah dominan dalam menentukan kredibilitas dan profesionalisme seseorang. Dan, dasi dan jas merupakan lambang profesionalisme itu. In this particular context, the cover does matter!!
Masalah sesungguhnya, dan ini makin sering saya temui, adalah makin jauhnya budaya dasi ini dari makna awalnya. Makin banyak orang berdasi, memakai jas dan kemeja rapi dengan minyak rambut klimis; tapi tidak profesional. Makin banyak yang bergaya wanita karir, walau kerjanya cuma ngrumpi sana-sini. Yang lebih bikin pusing, seringkali kerja mereka yang tidak profesional mereka selubungi dengan alasan-alasan yang seakan profesional. Misal, ngrumpi sana-sini dikatakan networking, atau menolak komplain konsumen dengan alasan sibuk atau bukan merupakan tanggungjawabnya.
Ada seribu satu alasan yang bisa digunakan, tapi apabila itu semua tidak meningkatkan kualitas dan hasil kerja nyata, itu jelas tidak profesional. Ini sesuatu yang harus disikapi dengan segera oleh organisasi, karena profesionalisme kulit luar yang semakin jauh dari pelayanan nyatanya adalah sebuah tindakan bunuh diri.
Memang fun dan keren ketika ketika bisa bekerja sekaligus bergaya. Namun, ketika busana kerja tidak mencerminkan kualitas kerja sang pemakai busana, itu adalah sebuah pukulan bagi image pekerjaan dan organisasi keseluruhan. Kredibilitas dan kualitas profesionalisme tidak bisa dipertaruhkan pada sebatas penampilan jas, dasi, dan gaya busana ‘eksmud-wanita karir’ yang keren. Busana adalah cerminan integritas profesi. Tanpa integritas profesional, busana itu justru menjadi penghinaan atas profesi. Yang kita semua inginkan adalah profesionalisme yang kokoh dalam balutan dasi. Bila yang terjadi adalah profesionalisme yang terbelit dan tercekik dasi, itu tidak lagi fun dan keren.
Posted with WordPress for BlackBerry.
Salah satu budaya Indonesia yang dari dulu hingga sekarang terwujud. Namun, bukan hanya busana yang melambangkan ketidakprofesionalisme para pekerja Indonesia khususnya pemerintah sekarang. Sarana dan prasarana fisik yang menjadi dalil bagi para “penutup suara rakyat” untuk meningkatkan kualitas kerja mereka…
…Dan yang perlu diingat, itu semua mencerminkan masyarakat kita sendiri. Karena budaya adalah cerminan diri sebuah masyarakat. Kebobrokan budaya adalah karya kolektif masyarakat itu sendiri. Kalo ada profesional-profesional semu, ya itu juga karena mental konsumen yang suka ditipu penampilan kulit luar.
Dasi itu simbol hegemoni, begitu juga jas. Itu sisa-sisa kolonialisme Eropa yang masih bercokol di masyarakat kita, dan bahkan kini menjadi norma yang dianggap unggul. Mengerikan. Di sisi lain orang-orang yang berdasi biasanya jauh lebih punya banyak hutang, daripada yang berpakaian casual. They say: copet ga pernah tampil kaya copet. 🙂
Wehehehehe……tapi, kata almarhum Pak Harto, utang adalah ciri pertumbuhan ekonomi hahahaha 🙂
hahahaha… pantesan orde baru runtuh… Dalam batas tertentu hutang adalah simbol dari kepercayaan, yang merupakan social capital yang sangat penting. Namun lewat dari batas, hutang adalah simbol kemiskinan yang tertunda. Amerika Serikat sedang meniti jalan yang konsisten menuju kemiskinan dengan hutangnya yang tidak terkendali. Dan mereka semua adalah orang berdasi dan berjas. 🙂
Hehehe…..benar sekali, yang penting adalah tahu batas dan keseimbangan. Soal utang ataupun jas-dasi adalah masalah orang tahu batas dan keseimbangan, atau tidak. Susahnya, manusia itu kan suka ‘tidak tahu diri’, ‘lupa diri’ dan ‘hidup tanpa kesadaran diri’. Karena itu semua bisa terasa menyesakkan, karena kita dipaksa menerima sisi gelap realitas kita.
Berlebihan dalam memakai jasi-dasi adalah upaya menutupi kenyataan bahwa profesionalisme kita kurang ‘berisi’. Utang berlebihan adalah upaya menutupi kenyataan bahwa kita kurang mampu mencari duit untuk hidup kita yang berlebihan. Seragam dengan atribut berlebihan merupakan upaya menutupi kenyataan bahwa kita tidak punya wibawa dan integritas yang cukup diakui orang lain.
Pola shame & guilt compensation yang paradox ini menceritakan banyak hal tentang manusia : )
Kemarin saya diskusi dengan mahasiswa. Masihkah ada keseimbangan di dalam hidup manusia? Masihkah ada kemurnian dan keaslian? Jawabannya adalah tidak. Obsesi akan keseimbangan dan kemurnian justru akan bermuara pada penindasan. Kita harus menerima fakta ironis, bahwa manusia itu bagaikan bandul yang selalu bergerak ke kiri dan ke kanan, tanpa pernah bertahan di tengah. Penerimaan adalah awal dari pengakuan. Dan pengakuan adalah awal dari pembebasan. Kita perlu menerima kodrat kita yang selalu bermukim di dalam ketidaksempurnaan. Dan dengan begitu kita menjadi “sempurna”.
Benar sekali! Apa yang sampaikan adalah cerminan hegemoni pola pikir yang salah dalam masyarakat, yaitu bahwa keseimbangan adalah sebuah titik.
Ada masalah epistomologis yang sangat parah dalam pendidikan kita. Ini membuat banyak orang tidak melihat bahwa keseimbangan adalah proses dan gerak dinamis yang membentuk equilibrium, bukan titik statis. Ini pula yang menyebabkan matinya dialektika, macetnya budaya kritis dan sulit terciptanya mekanisme check and balance sebagai proses demokratisasi yang sustainable.
Ya. Tepat sekali. Keseimbangan justru ada di dalam proses untuk berusaha seimbang, tanpa pernah menyentuh “titik” itu. JIka tidak memahami ini, orang akan terjebak pada obsesi akan kemurnian dan keseimbangan yang sejati, yang berakhir pada cara berpikir reduktif, dan tindakan yang menindas. Ini poin penting dalam leadership, sehingga orang tidak membunuh organisasi dengan pertama-tama ingin membuatnya menjadi organisasi ideal.
Betul, dan inilah yang disebut complex adaptive system. Dalam psikologi organisasi dan pengembangan organisasi, manusia dan organisasi dipandang sebagai complex adaptive system. Sistem kompleks yang terus menerus beradaptasi inilah hakikat dari hidup dan perubahan (aplikasi autopoiesis)
oya, saya sepakat dengan paragraf dua tanggapanmu. Tampilan luar harus menjadi cerminan dari kedalaman, dan bukan sebaliknya, ketika tampilan luar adalah polesan yang menutupi kedangkalan.
Organisasi seperti layaknya sistem biologis. Organisasi sebagai organisme.
hehehe…kan memang sebenarnya demikian, makanya namanya organisasi. Birokrat-birokrat intelektual yang memainkan konsep Weber lah yang membangun konsep organisasi yang rigid, tidak hidup dan tidak kreatif. Tentu saja dasarnya adalah hegemoni kekuasaan 🙂
Bahwa pekerja akhirnya menjadi mekanis seperti robot, tidak kreatif, dan akhirnya pemilik modal yang mendapatkan semua keuntungan dari pekerja yang jinak. Pekerja tidak pernah menuntut.