Serpihan-serpihan jiwa

Kali ini saya ingin berbagi pikiran soal yang agak berbeda dari topik yang biasanya saya tulis. Ya tidak berbeda jauh juga sebenarnya – masih terkait dengan kehidupan dan pekerjaan – plus terkait dengan kreativitas spiritual, kalau boleh saya istilahkan demikian.

Saya ingin berbagi refleksi dan imajinasi saya tentang jiwa, dan bagaimana jiwa kita berada dalam hal-hal yang kita kerjakan atau kita buat. Bisa dikatakan, jiwa kita, yang menjadi nafas hidup kita sebagai manusia itu, terdapat pula dalam pekerjaan dan karya-karya kita.

Ide yang agak imajinatif ini memang banyak dipengaruhi oleh kisah-kisah yang belakangan populer yang bisa kita saksikan di dalam novel-novel laris atau film-film Hollywood. Bagi penggemar novel berseri Harry Potter karya JK Rowling, tentu mengenal istilah horcruxes. Penjelasan gampangnya, itu adalah benda-benda dimana bagian-bagian jiwa musuh bebuyutan Harry Potter, Lord Voldemort, berada.  Dalam trilogi The Lords of The Rings karya JRR Tolkien, ada cincin kekuatan yang bagai perwujudan jiwa Sauron si Penguasa Kegelapan.

Walau memang contoh-contoh tersebut kebetulan buruk atau jahat, dalam artian bahwa benda-benda tersebut menyimpan sebagian dari jiwa seseorang yang jahat; tapi konsepnya adalah bahwa benda-benda tersebut berisikan semangat dan passion hidup dari yang bersangkutan. Inilah ide yang saya pikirkan.

Analogi yang berlaku sebenarnya sederhana , bila kita memilih berpikir imajinatif. Saya pakai diri saya sebagai contoh. Rumah tempat saya tinggal sangat dipengaruhi oleh passion, ide, impian serta dilema-dilema hidup saya. Pekerjaan saya, dan keputusan serta tindakan yang saya ambil dalam pekerjaan saya, jelas dipengaruhi oleh nafas dan keinginan/hasrat hidup saya. Benda-benda yang saya pilih untuk menjadi milik saya adalah cerminan jiwa saya. Dan paling penting, cara saya melakukan sesuatu dalam hidup, dan karya-karya yang saya bikin, juga lahir dari jiwa saya.

Memang ada beragam penjelasan logis dan alasan yang masuk akal untuk menjelaskan itu semua. Misal bahwa saya memilih benda-benda yang saya beli karena pertimbangan fungsional. Atau bisa juga karena pertimbangan estetika, alias karena saya suka. Pilihan pekerjaan saya, serta tindakan yang saya lakukan dalam pekerjaan itu, karena merupakan tuntuatan pekerjaan semata. Ada banyak kemungkinan penjelasan.

Tapi apapun juga penjelasannya, sayalah yang  memilih melakukan atau membuat sesuatu berdasar pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sesuai nafas jiwa saya. Jika saya memilih membeli barang lebih berdasar pertimbangan fungsional dan nilai ekonomis daripada artistik-estetik, ya karena itulah nafas hidup saya. Bila saya lebih memilih pertimbangan keindahan dan kesukaan, maka ya itulah cerminan jiwa saya. Jika saya memilih karena saya pelit, ya memang karena jiwa saya memang jiwa yang kikir. Jika rumah saya didesain tidak karuan dan acak kadut, namun menurut saya itu adalah disharmoni yang indah, ya itu juga jelas merupakan nafas hidup dan jiwa saya.

Dalam bekerja dan berkarya, prinsipnya juga sama. Pilihan desain dan strategi saya, cara bertindak dan bagaimana hasil karya yang yang nantinya akan muncul divisualisasikan sejak awal, itu semua adalah cerminan jiwa saya. Bahkan tidak hanya sebatas itu. Orang-orang yang saya pilih untuk saya ajak bekerjasama, adalah orang-orang yang jiwanya memiliki titik temu dengan jiwa dan nafas hidup saya.

Sebaliknya, ketika saya merasa dalam kondisi kehilangan inspirasi, maka ketika saya melihat kembali pada karya-karya dan tindakan saya sebelumnya, saya mulai menemukan kembali arah inspirasi itu. Ketika saya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki titik temu dengan jiwa saya, saya mampu merefleksikan kembali apa inspirasi hidup saya.

seattle skyline

Bisa dibilang, saat-saat demikian serasa saya mengumpulkan ‘serpihan-serpihan’ jiwa saya, yang tersebar dalam karya-karya, ruang dan tempat yang saya pernah hidupi, cerita-cerita yang saya lalui dan orang-orang dekat saya. Lalu, dengan mengumpulkan kembali ‘serpihan-serpihan’ itu, jiwa saya ‘bangkit’ kembali.

Saya bukan Voldemort ataupun Sauron. Namun seperti mereka, saya menghidupkan kembali kekuatan jiwa saya dengan mengumpulkan kembali serpihan-serpihan jiwa itu melalui refleksi, dan melahirkan kembali jiwa saya itu ke dalam tindakan-tindakan dan karya-karya baru di masa depan. Dan, ketika proses itu terjadi, saya harus akui bahwa saya kerap terpukau dengan kenyataan bahwa segala hal yang tadinya membingungkan dengan sendirinya menjadi ‘benar’.

Walau mungkin awalnya saya bingung dan merasa tidak jelas dengan apa yang sedang terjadi, namun serpihan-serpihan jiwa itu menuntun bagai sebuah  ‘grand design‘ yang senafas dengan jiwa saya. Layaknya horcruxes atau cincin kekuatan, proses itu terasa spiritual, kreatif dan terkadang agak magical.

Everything falls in place, and the result could not be better!

Advertisement

4 thoughts on “Serpihan-serpihan jiwa

  1. Serpihan jiwa yg kamu maksud itu brarti bisa d simpulkan sebagai tindakan yg muncul yg sesuai dengan kepribadianmu toh??
    Jdi berpengaruh juga dengan teman, kolega, pekerjaan, perkataan, dll yang kmu pilih atau perbuat toh..???
    Dengan kata lain, orang-orang di dekatmu dan hasil yg kamu capai itu merupakan hasil dari kepribadianmu…
    Bener nda??
    Yg terakhir, jualan ‘selang’ yg sering kamu omongno itu brarti juga karena hasrat terpendam… :)) *joke*

    1. Hehehe….bukan. Mirip mungkin analoginya, tapi yang kuingin angkat disini justru bukan kepribadian.
      Aku mengangkat tentang soul, atau jiwa, atau mungkin bisa juga passion; yang menjadi ciri khas yang me’nafas’i hasil karya kita, tindakan kita dan ruang-ruang hidup yang kita bangun. Ini terasa di atmosfer tempat kita berada, ada di dalam kesan yang terbangun dalam hasil karya kita.

      Kita coba satu contoh, Steven Spielberg. Dia itu sutradara terkenal dengan film-film yang bagus. Bagus disini bisa diartikan terkesan baru, menarik, menghibur, dan laku keras. Nah, apa kepribadian dia seperti itu? Nggak juga kan.
      Lalu kita coba agak lebih jauh dengan melihat karya-karyanya. Kalau lihat film yang dia bikin macam ET, Jurassic Park, dan sebagainya, mungkin kita akan bilang soul dia adalah science fiction. Tapi sia juga bikin film macam Amistad, Saving Private Ryan, Schindler’s List, dan Lincoln. Maka kita akan bilang soul dia adalah film-film sejarah dan kemanusiaan. Tapi dia juga bikin film macam Tintin, Transformers, dan Indiana Jones. Maka kita akan bilang soul dia ada pada action yang agak komikal.
      Semuanya kan bukan soal kepribadiannya kan.

      Tapi kita bisa lihat semangat atau passion apa yang membuat dia bikin karya-karya itu. Bahkan ketika kita menyaksikan karya-karya nya, kita bisa merasa sentuhan khas dia. Jiwa dia menginspirasi pikiran dan perasaan penontonnya. Nah itu yang kumaksud dengan jiwa disini.
      Dan ketika nafas jiwa itu membekas dalam ingatan, mempengaruhi orang untuk merasakan hal yang sama, dan kemudian berimbas pada tindakan dan karya mereka juga, maka di situ ada serpihan-serpihan jiwa yang terwujud dalam beragam bentuk.

      Kembali ke komentarmu, aku sepakat kalau berpengaruh ke berbagai hal. Tapi bukan berarti mereka merupakan hasil dari kepribadian kita. Jelas tidak sesederhana itu. Kalu memang sesederhana itu, maka kita akan menemukan banyak orang macam Spielberg. Mungkin tokoh macam Voldemort atau Sauron nggak akan istimewa di novel-novel, karena itu tokoh yang gampang muncul. Mungkin Yesus tidak akan diperingati sebesar ini dalam masa Paskah. Ya kan?

      Jualan ‘selang’? Ini mah ga ada hubungannya deh 🙂 apalagi sama hasrat segala heheheha…. 🙂 *jokejuga*

  2. Hehehe…akhirnya ada juga orang yang memiliki pemahaman ini.
    Well done, bro…
    Dan ada yang lebih penting lagi, mewujudkan pencitraan kita maupun memanifestasikan jiwa dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari ari merupakan proses yang berjalan terus menerus, tapi tidak banyak orang yang mau melakukannya.
    Prinsipnya adalah dimanapun kita berada ada baiknya kita meninggalkan prasasti yang nyata berupa manifestasi soul kita baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, yang artinya di sana wajib ada sebuah totalitas dalam berkarya. Tanpa adanya totalitas dan rasa mencintai tidak akan ada yang namanya menifestasi soul kita di dalamnya. Pada saat kita mencintai sesuatu maka akan muncul totalitas dan soul akan dengan sendirinya tertanam. Tapi bisa juga prosesnya terbalik, kita menanamkan soul kita baru kemudian mampu mencintai, untuk yang ini aku ngga banyak komen karena ini adalah kondisi memaksa yang umumnya kita lakukan ketika dalam kondisi trapped by unexpected circumstances.

    1. Betul, proses ini bisa berangkat dari bebas memilih, atau terjebak dulu :-). Tapi intinya bukan di urutan prosesnya, tapi bagaiman proses itu dilalui. Dalam situasi itu, pekerjaan dan karya kita merupakan objek dari diri kita sebagai subjek. Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang menempatkan dirinya sebagai subjek dari pekerjaannya.
      Dan lebih parah, ada yang main gampang-gampangan mengartikan bahwa kalau pekerjaan jenis ini akan membuat kita tidak punya kesempatan menuangkan passion kita, dan pekerjaan jenis itu adalah pekerjaan yang membuat kita passionate. Misal, sekarang ini banyak yang tersesat dalam anggapan bahwa passion hanya bisa terwujud kalau kita bekerja sebagai entrepreneur atau dalam industri kreatif/seni. Padahal banyak juga yang bekerja di area itu, tapi tidak punya ‘jiwa’ juga 🙂

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s