Dalam sebuah executive coaching session, seorang klien pernah bertanya pada saya bagaimana untuk mengubah perilaku rekan kerja yang annoying (menjengkelkan). Saya pun menjawab, ada teknik yang selalu berhasil untuk situasi ini, yaitu teknik EGP. Klien saya bertanya, apa itu teknik EGP. Saya jawab: teknik Emangnya Gue Pikirin!
Klien saya membelalak, dan saya pun tergelak. Tentu saja, saya tidak berhenti di situ (kalau iya, orang akan pikir-pikir, executive coach macam apa saya hehe…). Tentu saya punya perspektif tertentu yang mendasari jawaban itu.
Menurut saya, ini sebuah pertanyaan menarik karena di dalamnya setidaknya ada tiga hal pokok. Pertama, ‘mengubah perilaku rekan kerja’ adalah konsep yang bisa menjebak. Perubahan perilaku adalah sebuah keniscayaan. Namun menurut saya, itu akan efektif bila yang terjadi adalah ‘perilaku rekan kerja berubah’ ketimbang ‘mengubah perilaku rekan kerja’.
Mengapa? Karena rekan kerja kita adalah orang dewasa, bukan anak kecil. Syarat terjadinya perubahan perilaku adalah belajar, dan orang dewasa belajar dengan cara yang berbeda dengan anak kecil. Kita adalah orang dewasa juga, bukan Ibu Bapak Guru yang mengajar anak-anak. Pembelajaran pada anak bisa melalui penjelasan sederhana, instruksi-instruksi yang jelas dan operasional, serta contoh yang jelas. Tapi, orang dewasa bisa jadi tetap tidak berubah perilakunya, meskipun sudah ada instruksi yang jelas dan contoh yang gamblang.
Mengubah perilaku orang dewasa bukan perkara gampang. Karena kalau anak kecil, seberapun sok dewasanya mereka, mereka memang masih anak kecil. Sementara, orang dewasa, seberapapun kekanak-kanakan mereka, mereka tahu betul bahwa mereka sudah dewasa. Kalau sudah begini, ancam saja dengan peraturan dan reward-punishment system, maka mereka akan (terpaksa ) menurut, demi pekerjaan. Namun, apakah ini akan merubah perilaku mereka dari dalam? Ya jelas tidak, yang annoying ya akan tetap annoying. Di sinilah jebakkannya. Kalau kita tidak menyadari hal ini, kita bisa frustrasi sendiri tanpa hasil.
Nah, di sinilah hal pokok yang kedua. Pembelajaran di tempat kerja adalah pembelajaran orang dewasa (andragogi), di mana pengalaman dan pemaknaan pribadi atas pengalaman tersebut menjadi proses inti dari belajar. Bagaimana orang dewasa memaknai pengalamannya sangat menentukan perilaku dia selanjutnya. Bila seseorang itu dikatakan annoying, saya hampir 100 % yakin bahwa yang menganggap annoying itu orang lain, bukan dia sendiri.
Jadi, ‘annoying’ itu realitas milik orang lain, bukan realitas milik yang bersangkutan. Pemaknaan annoying itu adalah pemaknaan orang lain berdasar pengalaman berinteraksi dengan orang itu. Tapi dia sendiri mungkin tidak terbersit sedikitpun di benak orang itu bahwa tingkah laku dia annoying bagi orang lain. Nah kalau begini, ya kecil kemungkinan ada perubahan perilaku.
Nah, ini hal pokok yang ketiga. Di dalam relasi antar rekan kerja, selalu ada relasi kekuasaan (power relation). Artinya, kita saling mempengaruhi, dan dalam segi tertentu, setiap orang punya pengaruh lebih daripada yang lain. Paling tidak, ketika ketika pekerjaan kita terhambat karena kita berkutat dengan kejengkelan kita pada perilaku annoying rekan kerja; sebenarnya kita ‘kalah pengaruh’ dengan orang yang annoying tersebut. Dengan mempedulikan tingkah laku annoying itu, kita biarkan tingkah laku konyol itu berpengaruh atas diri kita. Yang terjadi sebenarnya adalah abdication of our own power to others, and therefore, we become less powerful. Dan hal ini justru membuat perilaku annoying yang ada makin menjadi.
Terus bagaimana? Apa kita biarkan saja perilaku yang annoying itu? Menciptakan situasi di mana orang yang annoying itu bisa merasakan sendiri betapa annoying-nya dirinya merupakan kunci perubahan. Peluang untuk melakukan ini hanya bisa diciptakan oleh orang yang tahu bagaimana menggunakan relasi kekuasaan dengan yang bersangkutan secara efektif. Medianya, tentu melalu relasi dan interaksi informal sehari-hari, bukan melalui sesi pelatihan.
Bagaimana pendapat anda?
betul juga pak…
berarti ini bisa dilakukan juga di kalangan mahasiswa dosen ya.
Yup!
Susahnya cuman satu, relasi mahasiswa dosen itu sudah secara sistemik membentuk power relation yang jauh. Manggil dosen aja kan harus Pak dan Bu. Mengukur lulus atau tidak dari absensi. Dan lainnya lagi. Ini yang harusnya makin hari makin berubah (tapi yo angel hehe…)
tapi kan menciptakan suatu kondisi d mana qta harus punya power d atas orang yg annoying itu kan sangat susah pak,.
bisa aja sbenarny org yg annoying itu senior qt dmana power dy jauh lebih besar daripada qta.
dan k adaan itu terus d perparah klo dy hanya berperilaku annoying bila tidak ada pemimpin,.
kan banyak kejadian seperti itu,.
klo kjadianny seperti itu bgmn?
haha klo d indo susah ngubah sistem ny,.
karena sistem sopan santun budaya timur sudah sangat kental dan ga mungkin d ubah bgt saja tanpa menimbulkan kontraversi,.
saya pernah dengar dari cerita b.mon wkt dy kul d luar klo orang d luar negri justru tidak terlalu suka dengan panggilan2 spt sir dll,..
tu smakin menimbulkan jarak klo d sana,.
nah pertanyaan kuncinya kan kenapa kita merasa tidak punya power? Ada sesuatu dalam diri kita yang bikin kita begitu. Ini bukan soal sok positive thinking dan menipu diri. Ini lebih pada refleksi terhadap kondisi diri, dan mengapa kondisi itu membuat kita merasa terganggu sama orang yang annoying itu kan?
Kalau tidak memang tidak ada sesuatu dalam diri kita sendiri, ngapain kita bingung? Sama halnya dengan kenapa harus ada panggilan sesuai sopan santun. Apa dengan memanggil Pak dan Bu berarti yang memanggil benar2 tulus untuk sopan?
Jadi esensinya apa, bukan sekedar kulit luarnya saja. Mungkin dari situ eksplorasinya bisa dimulai.
Hmmmm….. Just wanna share. Aku lebih suka cara mendidik yang seperti itu sih James. Terus terang aku masih mempraktekkan apa yang kamu pernah ajarin sama aku waktu di SADARI dan aku menggunakan cara itu waktu aku mengajar murid-murid sekolah. Ini tambahan aja sih dari aku tapi memang kenyataannya pembelajaran itu bisa diterapkan juga pada anak kecil sih. Tapi nggak kecil-kecil amat lebih tepatnya SD kelas 4 ke atas. I’ve done it and it’s working well.
^^v
Salah seorang anak buah saya pernah juga menjadi salah satu anggota team yang annoying dengan perilaku sok seniornya seringkali tidak menggubris segala instruksi yang saya berikan. Saya sudah mencoba untuk melakukan berbagai macam treatment mulai yg psychological hingga militer, ironisnya tidak ada satupun yang berhasil. Suatu ketika saya sadar bahwa ybs tergolong “balungan tuwek” jadi sulit diubah dan hanya 1 org yg bisa mengubah yaitu dirinya sendiri. Di tengah2 kebingungan saya untuk “mengubah”, saya mendapatkan ide untuk membuat ybs merubah dirinya sendiri. Waktu itu yang saya lakukan hanya membiarkan dia berada pada situasi sulit yg dia ciptakan dengan annoying behavior-nya (kalau sebelumnya selalu saya bantu dengan harapan bisa membuat dia berubah). Saya hanya mengamankan fungsi operasional yang lain agar tidak terganggu.
Berbagai complain masuk dan semua saya arahkan ke ybs hingga pada suatu saat dia datang kepada saya dan menyatakan kelelahannya menghadapi complain. Tetap saja saya biarkan hingga akhirnya dia menyerah dan memilih untuk mengubah gaya kerjanya jadi lebih sistematik.
Di ending-nya saya hanya ketawa dan ngomong seperti ini : “aku lak wes ngomong ket mbiyen…..”
hahahahahaha…….
seeeppppp, dude!
o jadi fungsi operasional diamankan jadi dia kena akibatnya sendiri ya…. bisa lebih spesifik lagi 🙂
tapi pertanyaan saya kalo ada different value bagaimana, ex ada mahasiswa kejar nilai 5 ok, ada yang harus 9…beda value ini dapat jadi crash…yang biasanya dimanfaatkan oleh yang NOA nya rendah (biar yang 9 yang jalan)
Yang diamankan adalah fungsi operasional yang lain. Sementara untuk fungsi operasional dari ybs dibiarkan saja, sehingga ketika dia berhadapan dengan akibat dari perbuatannya, dia sendiri yang harus menanggung akibat dari anoying behaviornya dan tidak ada back-up karena semua jalan sudah ditutup.
Jadi dia dihadapkan pada 2 pilihan, tetap berhadapan dengan pihak lain yg terus komplain karena anoying behaviornya atau berubah.
Soal different value itu adalah hak setiap org. Hanya dia harus bersedia menanggung akibatnya, kalo dia merasa enjoy2 saja dengan perilakunya dan tidak ada org lain yang merasa terganggu maka itu tidak akan menjadi anoying behavior. Yang akan menjadi anoying itu jika ybs yang melakukan org lain merasa terganggu.
Kalo soal nilai ataupun predikat sebaiknya pihak dengan otoritas kompeten yg menjawab. Pak James, silahkan dijawab…..
^^v
Haha……good iteration! Aku pikir challenge yang sesungguhnya adalah meng-create lingkungan yang mendorong individu me-review valuenya.
This is the essential part: I don’t believe we can change other people’s values. Such changes can only be done by themselves. But, we can brilliantly create the condition to make these changes possible.
setojoooooo………