Seorang bertanya pada saya, “Sebenarnya adakah orang yang multitasking itu?” Ini pertanyaan penting. Kenapa? Ya karena organisasi ingin memiliki orang seperti itu, tapi tak mudah mendapatkan orang seperti itu. Organisasi maunya punya SDM super yang hebat bisa melakukan banyak hal, sehingga bisa dapat hasil kerja yang bagus dan banyak dengan sedikit orang. Ternyata, mendapatkan orang yang begini sulit juga. Kalaupun bisa mendapatkannya, ternyata SDM yang bisa multitasking lebih ‘mahal’ daripada yang tidak. Ya jelaslah….hehehehe…..
Dalam prakteknya, menjadi multitasking sering merupakan harapan atasan dan kesulitan bagi bawahan. Ini menjadi tekanan bagi karyawan karena atasan di banyak organisasi mengharapkan efisiensi dengan menggunakan SDM yang bisa mengerjakan beberapa hal yang berbeda sekaligus/ secara simultan. Multitasking menjadi ambisi atasan dan kemustahilan bagi bawahan.
Lalu, apa multitasking itu mustahil? Tidak. Multitasking itu bisa dan mungkin, tapi tidak pada semua orang.
Faktor kemauan dan motivasi penting disini. Karena bekerja multitasking pada dasarnya bekerja dengan kuantitas lebih banyak, tapi dengan tuntutan hasil kerja yang relatif sama. Jelas ini memerlukan motivasi. Tapi, ini juga tidak hanya semata ditentukan oleh kemauan. Bisa saja orang ingin melakukan ini dan itu secara bersamaan, tapi akhirnya menjadi tidak karuan dan hasilnya tidak optimal. Ini karena multitasking memerlukan kemampuan, dan pada tingkat tertentu, juga bakat. Jadi, kemampuan multitasking hanya bisa muncul pada SDM yang memang punya ketrampilan multitasking, dan mau menerapkannya dalam pekerjaan.
Mari kita bicara soal kemauan dulu. Berdasar pengalaman saya, meningkatkan motivasi untuk menjadi multitasking adalah tindakan agak sia-sia. Memang betul bahwa mindset dan motivasi penting dalam segala hal, tapi merubah mindset dan pola motivasi bukan perkara mudah yang dapat di’sulap’ melalui training selama dua hari 🙂 Ini karena multitasking baru mungkin terjadi bila seseorang sungguh-sungguh merubah cara pikir dan cara kerjanya. Prinsip ‘di mana ada kemauan di situ ada jalan’ tidak relevan disini. Perlu diingat, bila kita mengajari SDM tentang pentingnya multitasking dan bagaimana cara menjadi multitasking, semua akan spakat bahwa itu penting dan perlu dipelajari. Tapi, sama juga mengajari semua orang untuk patuh hukum tidak otomatis akan membuat pelanggaran hukum turun drastis. Butuh penegakan (enforcement) berupa pembiasaan.
Intinya, kemauan untuk bekerja multitasking tercipta dari kebiasaan. Dan…sekali lagi, kebiasaan itu tercipta dalam lingkungan kerja dimana SDM yang ada memang mampu bekerja secara multitasking. Jadi, kita juga tidak bisa menciptakan kebiasaan kerja multitasking pada orang-orang yang tidak mampu/tidak punya bakat multitasking.
Yang saya maksud sebagai bakat disini bukan dalam artian bakat seni, aritmatik, atau olahraga. Bakat disini dalam artian bahwa seseorang memiliki kemampuan mengerjakan beberapa hal/tanggungjawab yang berbeda secara simultan, dan sekaligus mampu menjaga kualitas di masing-masing tanggungjawab tersebut. Dalam penerapannya, mereka bisa saja, dan seringkali, silih berganti dalam berkonsentrasi ke beberapa tanggungjawab tersebut.Nah, disini mitosnya. Seseorang yang multitasking bukan seorang yang bisa mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama secara harafiah, semisal orang yang menyetir mobil sekaligus memasak makan malam. SDM yang mampu multitasking bukan jin yang keluar dari lampu Alladin. SDM yang mampu multitasking artinya mampu mengelola beberapa tanggungjawab secara bersama, dan bisa mengatur pola/ritme kerjanya sedemikian rupa sehingga semua tanggungjawabnya terlaksana secara simultan.
Perumpamaannya seperti komputer pribadi kita, dimana kita bisa membuka beberapa perangkat lunak/software sekaligus. Setiap saat, kita hanya bisa bekerja langsung dengan satu software. Namun, di saat yang sama, pekerjaan kita di software yang lain tetap dalam kondisi terbuka/aktif/operasional, sekalipun tersembunyi di balik software yang sedang kita input langsung. Inilah yang namanya bekerja sistemik. Memang kesannya kompleks, tapi sebenarnya ada pola keterkaitan antar beragam software yang kita buka, sehingga kita bisa bekerja dengana semuanya secara silih berganti. Tentu ada beberapa hal yang tidak bisa begitu, tapi ada beberapa hal yang sangat umum dikerjakan dalam pola multitasking. Saat ini saja, saya menulis blog, sekaligus membuka email account saya dan menjawab beberapa email. Sebagai konsultan, memikirkan beberapa proses perubahan di beberapa organisasi yang saya fasilitasi adalah sesuatu yang wajar. Dalam tingkatan mikro hingga makro, saya yakin anda pernah menemui pola multitasking ini dalam keseharian kerja.
Dengan demikian, SDM yang multitasking adalah SDM yang sistemik. Inilah yang saya maksud dengan bakat. Sepertinya, tidak semua orang berbakat untuk berpikir kompleks dan sistemik. Sebagian orang sangat mementingkan fokus tunggal/single focus dalam bekerja. Sementara multitasking perlu proses yang divergen, lateral dan menyebar melalui fokus jamak yang simultan/simultaneous multiple focus. Beberapa kawan dan literatur menyebutnya foci, karena foci adalah bentuk jamak dari focus. Tentu berapa banyak fokus tergantung pada bakat masing-masing. Tapi ini hal yang bisa dipelajari melalui latihan yang panjang. Itu mungkin menjelaskan kenapa multitasking bukan hal yang umum. Multitasking jelas membutuhkan kemampuan berpikir kompleks dan koordinasi proses berpikir yang sistemik. Ujung-ujungnya, ini juga masalah mental skill.
Jadi, selain soal kemauan, bakat dan kapasitas untuk multitasking juga menentukan.Tapi, jika anda tidak cocok untuk pekerjaan multitasking, bukan berarti dunia telah berakhir untuk anda. Karena multitasking adalah soal cara kerja. Soal keberhasilan adalah soal hasil kerja. Untuk urusan ini, SDM yang multitasking dan yang tidak bisa sama bagusnya. Malah mending ada SDM yang tidak multitasking tapi hasil kerjanya unggul, daripada SDM yang bisa multitasking tapi hasil kerja tidak menggembirakan. Ingat, bila anda tidak cocok untuk pekerjaan multitasking bukan berarti anda adalah SDM tidak berkualitas.
Sedangkan untuk pengguna SDM, menurut saya harus ada kejelian dalam membangun kecocokan antara strategi dan komposisi SDM. Kalau organisasi memiliki strategi yang perlu SDM yang terampil multitasking, maka rekrutlah SDM yang memiliki kemampuan multitasking. Jangan rekrut orang yang tidak mampu multitasking, lalu anda berharap bisa di-training dan dibiasakan untuk multitasking. Impian demikian sama saja dengan menggarami lautan. Malahan, manajemen maupun SDM yang direkrut akan sama-sama frustrasi karena hasil sia-sia dan kedua pihak kecewa. Jika anda ingin merekrut SDM multitasking, anda harus tahu bagaimana SDM multitasking itu, dan bagaimana memperolehnya. Dan ingat, untuk mencari yang tidak biasa sangat boleh jadi membutuhkan teknik dan investasi yang tidak biasanya pula 🙂
Posted with WordPress for BlackBerry.
Saya rasa pak, multitasking merupakan suatu ‘kewajiban’ bagi generasi muda sekarang. Contohnya saja, tidak mungkin ada anak muda sekarang yang pada saat nonton tv tidak sambil sms-an, atau melakukan hal lain.
Masalahnya, pekerjaan tidak seperti itu, untuk menghasilkan pekerjaan yang baik, kita perlu fokus untuk hal tersebut. Hal yang sangat sulit dilakukan pada zaman teknologi seperti sekarang di mana email, telepon, interupsi, akan terus menerus merongrong kita.
Dan artikel2 yang saya baca menunjukkan kita akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan jauh lebih baik klo kita bisa fokus pada satu hal satu waktu. Bahkan ini akan menyebabkan kita bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan. “vow to do one thing exquisitely well today” is a lot better than “try to do multiple things at once”.
Contoh artikel yang bisa diintip 🙂
http://www.employeeevolution.com/archives/2007/07/13/multitasking-vs-time-management-–-what’s-the-best-way-to-get-things-done/
http://www.cmctraining.org/articles_view.asp?sid=0&article_id=290
Betul Pak 🙂 Sekarang ini anak mudanya generasi Y-nya kita di Indonesia. Sementara yang seusia saya dan Pak Nanang ini di negara maju sudah generasi Y. Tapi kalau dari milieu hidup kita di Indonesia, kita masih generasi X. Salah satu ciri generasi Y ini adalah konsentrasi yang terpecah-pecah karena banyaknya keinginan dan ketertarikan.
Tapi catatan saya dalah bahwa ada relativitas di sini. Saya bertemu dengan cukup banyak orang yang multitasking tapi hasil kerjanya bagus. Memang saat saya di Seattle, cukup banyak orang yang demikian saya kenal. Tapi di Indonesia, bahkan di toko tradisional, saya menemukan orang yang multitasking dengan kinerja bagus.
Saya sepakat bahwa bagaimanapun single focus jelah jauh lebih mendukung pencapain kinerja yang berkualitas. Tapi saya juga tidak bisa menafikkan orang-orang yang unik yang mampu multitasking. Nah ini repotnya sering dicampuradukkan dengan banyak anak muda sekarang yang sebenarnya bukan multitasking, tapi tidak punya arah. Anak muda sekarang itu umumnya seperti ungkapan Jawa “kiwo ora kecandhak, tengen ora kejupuk”. Maunya banyak, fokus rendah, maunya semua beres dalam waktu singkata tanpa proses. Mungkin karena banyak hidup dari mi instan yang dimasak sambil ditinggal kesana kemari bisa matang dalam 3 menit 😉
Mungkina artikel yang Pak Nanag berikan link, saya lebih pas dengan yang kedua yang dari CMC. Karena setahu saya, orang yang multitasking itu juga tetap fokus pada satu hal saja kok setiap waktunya, tapi dia selalu dalam keadaan updated atas beberapa pekerjaan sekaligus. Yang multitasking sejati ini jarang jumlahnya.
Begitu Pak, pendapat saya.
Setuju Pak James, karena di kantor tempat saya bekerja, saya harus kerja multitasking walaupun saya fokus pada satu hal, yaitu IT. Multitasking job buat saya hanyalah suatu kesempatan untuk mendapatkan pengalaman baru dan lebih mengenal business process & flownya, dimana hal-hal tersebut bisa saya terapkan dalam dunia IT, terutama jika bisa dilakukan dengan business automation. Pro-kontra mengenai multitasking job adalah hal biasa, karena ia bersifat paradox juga. tergantung dari cara pandang dari individu yang melakukan dan pengamatnya.
yup… saya setuju Pak… sebenarnya orang yang dikatakan multitasking sejati, sebenarnya adalah orang yang bisa sangat cepat mengerjakan pekerjaannya, akan tetapi dia hanya fokus pada satu hal setiap waktu.
Saya banyak juga ketemu alumni yang sudah bekerja yang mengaku bisa multitasking, akan tetapi sebenarnya dia mengerjakan banyak hal dalam suatu waktu, akibatnya mereka sering pulang larut malam karena gak selesai. Sebenarnya dia kurang bisa menentukan prioritas, dan malah tidak bisa konsentrasi, bingung mo nyelesaikan yang mana.
sebenarnya ada artikel bagus yang pernah saya baca, yang menyebabkan saya mengubah paradigma saya tentang multitasking. Tapi ya itu, saya lupa di mana, hehehe… Salah satu kerugian multitasking, saya bisa membaca 20-30 artikel baru setiap hari tapi tidak sepenuhnya saya konsentrasi ke situ…
Artikel tersebut menyebutkan ada riset yang dilakukan terhadap orang2 multitasking, mereka diminta mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, menggunakan cara mereka yang multitasking. Dan mereka diminta mengerjakan pekerjaan2 tersebut satu persatu, ternyata cara yang kedua bisa lebih cepat.
Apa ada kemungkinan Pak, orang2 yang multitasking sekarang jika diminta atau dilatih untuk berkonsentrasi pada satu hal aja setiap waktu, produktivitas mereka bisa bertambah? Atau bagaimana kalau sistem perusahaan dibuat sedemikian rupa sehingga bisa meminimalkan interupsi dengan harapan karyawan bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan mereka dan meningkatkan produktivitas?
Apa mungkin pelatihan untuk multitasking yang baik itu sebenarnya adalah pelatihan time management dan pelatihan focusing? Bagaimana cara memilih prioritas pekerjaan dan bagaimana cara fokus pada pekerjaan dengan me-manage interupsi?
Hehe.. sori pak.. ini orang awam yang tertarik dengan multitasking.. 😀
Yup, kawan-kawan 🙂
Multitasking sendiri sebuah istilah yang agak bersifat ilusi hehehe. Bagaimanapun fokus menjadi hal yang penting, karena dari fokus tercipta kualitas.
Tapi memang challenge-nya adalah bahwa kemampuan untuk fokus adalah sebuah pola perilaku/kebiasaan. Saya setuju dengan pandangan Pak Nanang bahwa sebenarnya fokus, tapi kerjanya cepat, sehingga bisa berpindah untuk beberapa hal yang terkait. Seperti yang dikatakan kawan Glenn, kita bekerja tidak lagi dalam job description yang terisolasi dari job description lain. Tantangan pekerjaan di dunia sekarang adalah bahwa semua terkait satu sama lain melalui business process dan flow. Itu kenapa multitasking itu sistemik.
Nah kalau membikin suasana kerja yang tenang dalam artian memudahkan fokus, saya pikir perusahaan-perusahaan yang maju banyak yang begitu. Ketenangan bekerja penting untuk SDM agar mampu memilah mana yang harus menjadi fokus perhatian. Saya rasa itu yang penting, ketimbang diberi pelatihan untuk konsentrasi, lalu terus kembali ke lingkungan kerja riil yang sama sekali tidak mendukung untuk konsentrasi. Pelatihan berguna untuk menginduksi, tapi business process yang menentukan apa yang akan menjadi kebiasaan dan pola kerja.
NIce… saya lebih tercerahkan sekarang Pak… hehehe… Ayo cari topik lagi yang menarik 🙂
Hehehehe…..ya posting berikutnya masih dalam proses Pak 🙂
Nimbrung teman2,
Saya pikir multitasking itu hanya mungkin, jika orang memahami the big picture dari pekerjaannya. Ia tidak hanya bekerja secara teknis sesuai job des nya, tetapi juga memahami visi besar dan jiwa dari pekerjaannya. Ia menghidupi visi organisasi, dimana ia bekerja. Maka sebenarnya multitasking adalah single tasking, karena orang mengarah pada satu tujuan yang sama, walaupun ia harus berpindah dari pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya. Pertanyaan lebih jauh adalah, bagaimana supaya visi organisasi tersebut bisa dihidupi oleh semua orang yang ada di dalamnya, sehingga setiap pekerjaan, tanpa terasa, sudah selalu merupakan multitasking with one vision?
Saya sangat setuju dengan ini. Multitasking di Indonesia sering kali cuma bungkus dari bekerja serabutan. Ini kesesatan berpikir yang fatal, baik bagi organisasi maupun SDMnya sendiri. Beda antara kerja serabutan dan multitasking adalah pada framework atau big picture dari rangkaian pekerjaan yang dilakukan. Saya pikir disinilah visi menjadi sentral. Vis harus dijabarkan dalam bentuk operasional hingga ke pekerjaan-pekerjaan teknis. Dari situ pulalah bisa dipetakan process flow dan channels nya, dan bisa dibangun mutitasking yang sesungguhnya.
Sebaliknya, kalau organisasi tidak punya visi dan strategis yang jelas, dan tidak punya kerangka business process yang jelas; yang terjadi adalah kerja serabutan. Itu sama sekali bukan multitasking. Itu hanya ambisi besar dengan weak system. Nanti jadi nafsu kuda tenaga ayam 🙂
stlh bc blognya bpk, aq jd pingin tny heheheh…. klo misalnya kt yg msh fresh graduate itu bs gk y membangun multitasking itu?. anggapannya stlh msk k organisasi, multitasking yg udah dimiliki sblmnya itu jd “modal” utama.
Ya kalau menurutku, berlatih berpikir dan bekerja sistemik bisa dilakukan. Selain itu, melatih kemampuan bekerja fleksibel dalam beberapa hal yang terkait, tapi bisa tetap fokus pada apa yang diutamakan saat itu. Itu mungkin sekali dilakukan siapapun, kalau mau dan mampu 🙂
bagaimana cara menciptakan SDM yang memiliki multitasking skills?
Secara sederhananya ya melalui latihan. Tapi saya juga tidak berani mengatakan bahwa semua orang akan bisa dilatih multitasking. Berdasar pengalaman, ada 2 jenis orang yang akan sulit berlatih multitasking. Pertama adalah orang yang memang hanya bisa bekerja dengan satu fokus saja setiap saat. Yang kedua adalah orang yang tidak bisa konsentrasi atau fokus ke satu hal secara konsisten. Kalau yang pertama memang akan sangat kesulitan karena memang dia butuh fokus di satu hal setiap kalinya. Sedangkan yang kedua akan makin tak bis fokus bila berada dalam situasi multitasking, sehingga kualitas dan efisiensinya akan bermasalah. Jadi, mungkin tidaklah tepat bila diistilahkan menciptakan, tapi lebih merupakan persoalan memilih dan melatih.