Apa jawaban anda untuk pertanyaan ini: Siapa penentu terjadinya inovasi dalam sebuah bisnis atau organisasi?
Mungkin ada yang menyebutkan SDMnya. Yang menjawab ini pasti penganut aliran ‘manusia adalah roh organisasi’. Ada pula yang menyebut unit R&D (research and development) alias litbang. Kalau yang ini pasti jawaban penganut strukturalisme organisasi. Mungkin juga ada jawaban satu ini: Bos. Ini sepertinya jawaban penganut otokrasi, dimana Bos adalah satu-satunya dan segalanya hehehehe….
Saya pikir semua jawaban itu baik-baik saja, karena orang menjawab berdasar pengalamannya, dan pengalaman orang selalu dan pasti berbeda-beda. Yang penting adalah apakah jawaban itu sudah lahir dari kejelian, dan apakah jawaban itu sungguh berguna dalam kenyataannya.
Melalui perjalanan saya sebagai OD process designer, saya belajar satu hal: Inovasi sesungguhnya terletak pada manajemen, dan bukan pada unit kerja teknis. Sebuah organisasi, walau punya SDM berkualitas dan berkarakter inovatif, tapi bila core management-nya bebal, tidak akan pernah menelurkan inovasi lebih daripada sekedar omongan. Kebebalan adalah ketidakmampuan belajar, dan itu adalah pembunuh inovasi.
Ada sebuah perusahaan yang sangat inovatif dalam produk dan diversifikasi usahanya, walau SDMnya bukan orang-orang kreatif dan inovatif. Perusahaan ini juga tidak memiliki R&D yang berisi peneliti-peneliti yang luar biasa pintar. Lalu siapa inovatornya? Direksi dan beberapa staf strategis kunci. Ya, hanya sekelompok kecil orang yang berada di posisi manajemen. Mereka, melalu pola kepemimpinan yang sering dicap kurang demokratis dan kurang modern, justru berhasil menggelindingkan inovasi secara utuh dan efektif.
Ada pula sebuah bisnis yang punya karakter inovatif sebagai darah yang mengalir dalam tubuh organisasinya. Perusahaan ini seakan dipenuhi dengan orang inovator, sehingga suasana kerja yang tercipta adalah tim kerja yang bergerak dengan cepat namun lemah gemulai. Mereka menelurkan progress demi progress, tanpa membuang waktu untuk debat kusir dan kerumitan birokrasi. Tapi apakah ini bisa terjadi dengan begitu saja? Tidak! Ini juga karena peran manajemen.
Pada kasus kedua tersebut, ada beberapa catatan penting. Pertama, hanya manajemen yang inovatif yang bisa mengenali dan membedakan inovator sejati dan inovator ‘tong kosong’. Inovator sejati adalah orang yang memiliki ide dan kemampuan kerja kreatif dan efektif, dan itu artinya dia bukan tukang bikin ide semata. Sebaliknya, inovator ‘tong kosong’ adalah tukang bikin ide yang terkesan beda, tapi tidak mampu, atau bahkan tidak mau, menjadikan idenya sesuatu yang nyata.
Hanya manajemen yang inovatif yang bisa mengenali keduanya, dan merekrut inovator sejati untuk menjadi tim kerjanya. Yang lebih penting lagi, hanya manajemen yang inovatif yang punya nyali mengumpulkan inovator. Yang tak punya nyali akan takut dan tidak percaya diri memimpin mereka.
Hal itu mengantar kita pada catatan berikutnya. Inovator sejati adalah seperti muatan listrik tegangan tinggi. Dia bergerak cepat dengan muatan ide dan energi yang tinggi. Dia kadang sulit dipahami, karena dia berpikir dengan cara luar biasa, dia belajar dengan kecepatan luar biasa, dan berefleksi atas hasil kerjanya dengan cara yang luar biasa.
Apa artinya? Seperti listrik tegangan tinggi, mereka akan meledak kalau tidak berada dalam manajemen yang tepat ๐
Manajemen yang bisa menangani inovator adalah manajemen yang punya inisiatif, bukan manajemen yang disasosiatif. Yang saya maksud dengan disasosiatif disini adalah manajemen yang pintar lepas tangan dan menggelengkan kepala. Manajemen disasosiatif adalah manajemen yang lebih sering merespon dengan ‘tidak’ ketimbang ‘bagaimana supaya kita bisa bikin ini terwujud’; manajemen yang melihat pekerjaannya adalah ‘menjalankan yang sudah diputuskan’ dan bukannya ‘memutuskan apa yang akan dijalankan’. Manajemen yang mengalami disasosiasi dengan peran hakikinya sebagai pencipta masa depan adalah manajemen yang tidak akan mampu memimpin para inovator.
Marvin Weisbord mempopulerkan model The Four Rooms of Change, yang sering dikenal dengan The Four Rooms Apartment. Model ini dikembangkan berdasar model bernama sama hasil penelitian psikolog Claess Janssen yang meneliti kebebalan individual (self-censorship) pada tahun 60-an hingga 70-an. Model siklus Weisbord mengangkat bagaimana manajemen mengalami kebebalan dan menghambat perubahan, hingga bagaimana mereka kemudian bisa berubah.
Keempat ‘kamar perubahan’ itu adalah: contentment/kepuasan, denial/penyangkalan, confusion/kebingungan, dan renewal/pembaruan. Paradoksnya, renewal paska perubahan akan membawa manajemen menuju kepuasan, yang sangat mungkin membawa kita kembali pada denial.

Model Weisbord menunjukkan betapa manajemen adalah yang paling pertama harus menjadi inovatif. Inovasi adalah perubahan, dan manajemen menjadi penanggungjawab utama dalam menentukan apakah itu akan terjadi atau tidak. Kebebalan dan disasosiasi menghambat inovasi, namun sekaligus menunjukkan pentingnya perubahan untuk segera diwujudkan. Manajemen yang inovatif, walau tidak memiliki SDM organisasi yang inovatif, akan membawa perubahan. Sebaliknya, SDM inovatif berlimpahruah akan mandul bila dipimpin oleh manajemen yang bebal dan disasosiatif.
Lagipula, sejarah menunjukkan pada kita bahwa inovasi dimulai olah sejumlah kecil inovator sejati yang bisa mempengaruhi sumberdaya disekitanya; bukan mayoritas atau orang kebanyakan.
Maka, ketika anda di posisi manajemen, anda mungkin tidak selalu bisa menjadi sepenuhnya demokratis ataupun menjadi sangat ideal…….namun setidaknya, jadilah inovatif ๐
Posted with WordPress for BlackBerry.
saya sedikit bingug dengan kata ”manajemen’ yg pak james bilang.. kalau saya tangkap manajemen dsini berarti suatu sistem yang dijalankan.. bener ndak pak? atau itu suatu posisi dalam organisasi…??org yg menjalankan atau gmn?
bicara soal kreatif dan inovasi… terkadang seseorang harus mengalami proses kebebalan dan disonansi untuk melalui suatu perubahan organisasi…
Kalau dalam konteks ini, aku lebih mengarahkan pada orangnya, atau posisinya. Karena orang yang menentukan sistem apa yg sungguh berjalan. Bisa aja visi misi organisasi menyebutkan pentingnya inovasi, tapi orang2 yg berada di posisi manajemen membuat keputusan2 yg malah mengkebiri inovasi. Kalau gitu ya sudah, ngga ada inovasi.
Kalo soal melewati kebebalan, kan memang itu yang dijelaskan dalam tulisan ini. The Four Rooms of Change nya Weisbord kan memang menjelaskan itu.
Masalahnya, banyak yang nyanthol di denial dan confusion, tapi nggak bergerak maju ke renewal ๐
so many valuable lessons in this article. Thx James.
Tapi James manajemen kan dibentuk dan dilakukan oleh manusia. Maka sebenarnya kembali pada premis awal, bahwa manusia adalah roh organisasi. Tentu saja manusia yang memegang posisi manajerial. Pertanyaan lebih jauh adalah, bagaimana kita bisa mengkondisikan suatu organisasi menjadi tempat bagi tumbuhnya tim2 manajerial yang inovatif, sekaligus menjadi magnet bagi inovator-inovator dari luar?
That’s the trickiest part hahaha….
Saya melihat bahwa tim manajerial inovatif memberi spirit inovasi yang kuat dalam organisasi, dan ini menarik para inovator. Ya tentu juga mereka haruslah tim manajerial yang efektif, karena inovator lebih tertarik pada organisasi yang berkinerja tinggi.
Tantangan utamanya adalah mendapatkan sedikit orang, sedikit saja, nggak usah banyak2, yang punya kemampuan manajerial yang inovatif dan efektif. Organisasi harus punya critical mass yang sedikit tapi berkualitas, dan mereka harus diproyeksikan untuk segera di posisi manajemen inti. Jadi prinsipnya organisasi berinvestasi pada the chosen few.
Walau demikian stepnya, tentu ini hanya bisa bila principal stakeholders setuju pandangan ini. Inilah kenapa banyak organisasi yang lumpuh dan stuck, tak bisa mengubah dirinya jadi inovatif walaupun katanya mereka ingin. Mengapa? Karena principal stakeholders masih memilih hidup dalam denial. Sometimes, saya tergoda untuk melihat ini secara tak bertanggungjawab dengan mengatakan bahwa ini masalah ‘nasib’ hehehe…… ๐
Saya sepakat bahwa inovasi yang continual dalam manajemen maupun SDM dalam posisi manajerial memang menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan global maupun regional.
Namun tantangan utama bukan hanya pada bagaimana mendapatkan sedikit orang yang memiliki kemampuan manajerial yang inovatif dan efektif. Karena sekelompok kecil orang tersebut akan menjadi “dewan inovasi” yang cukup eksklusif di kalangan anggota organisasi tersebut dan sangat dimungkinkan dewan inovasi tersebut berubah baik sadar maupun tak sadar menjadi kelompok yang feodalis, karena ketika investasi ditujukan pada sekelompok orang tanpa adanya “tongkat pemukul kaisar” yang cukup ampuh untuk mangatasi penyimpangan yang terjadi maka semua investasi tersebut akan menjadi sia-sia dan bahkan efektivitas dalam manajemen tadi yang merupakan additional requirement yang harus ada akan berubah menjadi inefektivitas.
Just an opinion, kita tidak bisa mengabaikan bahwa akan selalu ada organisasi dalam sebuah organisasi – entah itu formal ataupun informal. In this case, I think we should have a balance of power between groups inside the organization.
Karena dengan adanya keseimbangan power antar kelompok dalam organisasi akan lebih mudah mengendalikannya mengikuti alur visi dan misi organisasi. Hmmm…ada kata “mengendalikan”…yes, absolutely there must be a great leader. Sekalipun hampir mustahil mendapatkan seorang pemimpin yang strong and competence enough, tapi ya boleh lah kita sedikit berimajinasi “seandainya”.
Yak….seorang pemimpin yang peka dengan peta politik dalam organisasi, dan mampu merubah dinamika politik dalam organisasi tersebut menjadi sebuah kinerja yang positif. Umm, analoginya ya just like when we’re cooking (karena aye punya sedikit kegemaran memasak), pada saat masak kita mencoba untuk melakukan mixing terhadap semua komponen – yang kalau kita rasakan secara terpisah tidak enak – menjadi sebuah taste baru yang bisa diterima dan dipersepsikan baik oleh indera kita. Wow, ada satu topik baru nih…bisa diterima dan dipersepsikan baik….ya dalam hal ini ketika kita memasak, bos kita adalah lidah-lidah yang akan menikmati hidangan. Kalau dalam organisasi bos kita adalah para stakeholder. Jadi, kesimpulannya ya itu tadi, sekedar tambahan opini, bahwa selain tim kecil yang inovatif dan efektif tadi di atas semuanya itu yang menjadi pondasi dalam sebuah organisasi adalah seorang leader yang mampu secara politis maupun non politis menciptakan suatu kondisi peta kekuasaan yang seimbang dan melakukan mixing yang tepat seperti saat kita sedang memasak.
Just a brief of opinion, setelah sekian lama gak nongol karena kesibukan operasional.
Cheers
Hahaha….kalau menurutku, tanpa kepemimpinan yang kuat dan visioner, tidak akan pernah ada dewan inovasi. Yang ada segerombolan orang pintar yang semau gue, dan memang diawal kelihatannya banyak ide, tapi akhirnya cuma omong kosong tanpa hasil nyata. Kemarin diFilipina pun aku kemabali menemukan bukti bahwa ini prinsip yang berlaku. Ya, tidak akan pernah ada inovasi manajemen yang efektif tanpa kepemimpinan yang kuat dan visioner. Kuat saja tidak cukup, kalau tidak visioner. Visioner saja tapi tidak kuat juga tidak mungkin.
Yeah, tidak jarang pemimpin yang kuat dan visioner yang telah berhasil membentuk “dewan inovasi” td tiba-tiba kehilangan powernya tanpa disadari akibat terlalu kuatnya posisi tawar dari dewan inovasi tadi sehingga secara tiba-tiba pula “dewan inovasi” td berubah menjadi kaum feodalis yang seperti kita pahami bersama hampir selalu membuat kreativitas dan inovasi menjadi mati. And then, as you said they will transform into a couple people that produce some kind of bullshit without any real output. Dan ini akibat dari ketidak seimbangan power yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dalam organisasi. Seorang pemimpin harus memiliki kesadaran organisasi yang cukup tinggi mengenai power tadi, dan ckup waspada dan peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sebelum hasil “ciptaannya” mengambil alih posisi power yang ia miliki, ia harus segera bertindak untuk mengambil langkah praktis yang mampu membendung power yang tak terkendali tadi, this is what a mention about “tongkat pemukul kaisar”.
Karena jika terlambat mengambil langkah antisipatif “tongkat pemukul kaisar” hanya akan menjadi sebuah “tongkat pemukul anjing” yang belum tentu efektif untuk menyelesaikan masalah.
I see your point….memang sisi gelap upaya inovasi adalah kekacauan tanpa arah hehehe….kalau saudah begini, respon sistemik berupa tindakan keras seringkali merupakan sebuah hal yang necessary
indeed such was the case, my dear brother….such was the case…..
Hmmmm….
very interesting…
Apalagi gambar tentang Four Rooms of Change…
Kalau dari penangkapan saya, ketika kondisi pasar mengharuskan suatu org. untuk berubah…
Pasti ada org. yang bebal (denial) dan tidak mau mengikuti perubahan, juga ada org. yang kebingungan (confusion) tentang bagaimana mengikuti perubahan itu.
Org. yang kebingungan tadi berusaha untuk menciptakan suatu perubahan yang sesuai dengan kondisinya (melakukan inovasi) sehingga tercapai suatu kondisi memperbaharui sistem (renewal).
Tetapi org. yang bebal tadi, itu dikarenakan mereka puas dengan sistem yang ada (contentment) dan merasa di atas angin sehingga mereka berpikir, tanpa harus berubah pun, org. mereka akan terus tumbuh dan berkembang. Padahal itu adalah pemikiran yang salah.
Jadi, seberapa cepat suatu org. melakukan pembaharuan, itu tergantung seberapa lama mereka “kapok” karena menolak perubahan itu dan seberapa kreatif mereka untuk keluar dari kebingungan karena perubahan tersebut. Sehingga, terjadilah perubahan yang nantinya akan menimbulkan kepuasan sistem dari suatu org. dan begitu seterusnya.
Ada yang salah dari penjelasan ini…???
Secara umum, itulah yang saya maksud. Tambahan saya hanya satu, yaitu bahwa denial dan confusion bukan pilihan, tapi urutan.
Organisasi (dalam hal ini manajemen) harus melalui denial untuk bisa berlanjut ke confusion dan lalu renewal. Nah kalau mereka berhenti di denial, maka mereka gagal atau tidak mau melihat bahwa mereka punya masalah. Kalau mereke lolos dari denial, bisa juga mereka terjebak di confusion, karena mungkin sudah melihat pentingnya berubah, tapi kesulitan bertindak. Sampai di renewal pun, bisa jadi mereka sudah bertindak, dan ternyata kesulitan menyelesaikan/mewujudkan inovasinya
Change and innovation are definitely tricky business you can’t just do without complete understanding ๐
Well, in this case we will see a type of management called change management. Bagi organisasi, change management akan dilakukan dengan melibatkan semua unsur dan komponen penyusun organisasi tersebut. dalam hal ini, SDM Organisasi merupakan faktor penentu, dimana tahapan perubahan dalam management dimulai dari analisis (biasanya SWOT) atas kinerja dan proses dalam organisasi, yang dilanjutkan dengan proses perubahan (biasanya dengan metode Plan, Do, Check, Action) hingga perubahan selesai dan maangement telah ber evolusi ke arah yang lebih baik. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya mengikuti prinsip “manusia adalah soul nya organisasi”, tetapi memang pada kenyataannya, manusia adalah decision maker dalam hal apapun. Inovasi bagi setiap SDM adalah hal yang sangat penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah sinergi & strong commitment antar SDM dari Top Level Management hingga level operational.
Management yang “bebal” menunjukkan bahwa SDM Organisasi tersebut juga “bebal”. Management adalah mirror of business flow & Processes, dan reflections of HR Quality. Business Flow & Processes di putuskan oleh HR, dan inilah titik criticalnya, karena tergantung dari kualitas SDM nya. SDM bebal hanya akan menghasilkan management bebal dan cenderung tidak akan bisa berubah sebelum mereka mau berubah. akibatnya, kepekaan akan perubahan posisi bisnis organisasi akan semakin lemah, dan organisasi berakhir tragis/ bangkrut. Bila SDM tersebut inovatif dan organisasi bisa menyelaraskan kemampuan SDM nya hingga terbentuk management yang bersifat inovatif, organisasi akan semakin peka dan tanggap atas perubahan posisi bisnis organisasi, dan organisasi akan tumbuh, berkembang, survive, dan exist.
Saya sepakat! Intinya adalah manusia sebagai driver dari organisasi.
Namun lingkaran setan-nya itu kan yang jadi masalah. Kalau organisasi sudah terisi SDM yang tidak bebal, ya mungkin bukan hal yang sulit untuk mendapatkan tim manajemen yang inovatif. Tapi kalau organisasi sudah dipenuhi oleh SDM bebal, maka ini menjadi pelik. Sementara, perubahan dan inovasi adalah sesuatu yang harus saat ini. Bahkan nilai-nilai tradisional pun harus diberi bingkai dan konteks yang bar agar bisa sustain.
Jadi apakah yang isinya SDM bebal semua layak dibiarkan layu dengan sendirinya? (ini pemikiran pro kompetisi bebas sedang bekerja ๐ ) Hehehehehe……….
Sebenarnya, kalau mau dibiarkan bebal atau mau diubah, semuanya tergantung Top Level Management yang pegang kendali. Employee biasanya hanya mengikuti kemauan Boss. Saya ingat joke mengenai hukum Boss, dimana hukum no.1 Boss selalu Benar, dan kalaupun Boss salah, maka hukum no.2 mengatakan kembali ke Hukum No.1, disinilah letak kuasa Boss. Memang tidak semua keputusan Boss itu “disukai” bawahan, kebanyakan bawahan itu ikut kemauan Boss dengan alasan yang valid, yaitu masih butuh uang, hehehehe…. dan disinilah kesempatan Boss untuk memaksa karyawan mengubah budaya “BEBAL” menjadi inovatif. Kalau ada bawahan yang “MBALELO”, ya tinggal “DIPANGKAS” dari Organisasi…. konsekwensi logis dari “Nantang” Boss ya resign/ lengser kan? Lain ceritanya kalau yang “BEBAL” itu si Boss…
Kalau yang satu ini terjadi, maka bisa dipastikan Organisasi akan mempunyai SDM inovatif yang bersifat “ELANG BERTELUR EMAS”, dan SDM yang sealiran dengan si Boss jadi Predator bagi sang elang & organisasi sampai organisasi tersebut destroyed completely.
Hehehehe…..memang ‘elang bertelur emas’, hanya bisa ditaklukkan oleh ‘manusia bebal’. Karena manusia kan selalu di puncak piramida konsumen ๐
wow this is so insightfull sir, hahahah…ya manajemen yang bebal sudah saya liat sendiri…contohnya adalah wkt d perusahaan saya. mereka memutuskan untuk ingin membuka “sayap” lebar2. tapi pada kenyataanya ketika saya menawarkan ide untuk membuat website, malahan website itu nantinya dianggap membawa dampak negatif, alasannya takut diketahui oleh perusahaan lain kalau misal lagi cari karyawan banyak. anggapan mereka “oh perusahaan dengan proyek yang besar, tapi lagi cari karyawan banyak”. lalu dari sisi marketing malahan berbicara lain “waduh, itu kan buat perusahaan yang besar-besar, lagian mahal loh!”. yah pemikiran keduanya sih tidak salah, tapi katanya mau berkembang, kenapa takut?
lalu insight yang saya dapat kemarin ketika mencoba menjadi seniman perubahan (saya bilang seniman perubahan, karena saya merasa agent of change harus peka dan menggunakan feeling tajam seperti seniman heheheh), saya menemukan kalau perubahan itu harus merasakan momen yang tepat untuk melaksanakan rancangan perubahannya. mungkin ini contoh yang sangat kecil dan sederhana sekali. saya sudah menyiapkan segudang rencana untuk menerapkan PA, tapi gimana caranya ?. kebetulan sekali pada waktu itu, ada manajer yang merasa anak buahnya kok jelek sekali hasil tes Psikologinya. saya cuma bilang “waduh, kalau sekarang saya tidak bisa bantu apa2, tapi gimana kalau kita liat kinerjanya dengan daftar penilaian yang sudah saya buat”. dari hal itu, saya menangkap ternyata moment itu harus ditangkap oleh yang bapak bilang sebagai inovator sejati. hehehe
Yup, perubahan adalah seni, bukan prosedur instruksional yg bisa dihapal step-by-step. Kepekaan dan intuisi yg dibentuk melalui proses diperlukan.
Tentunya, manajemen yang inovator tetap diperlukan untuk mewujudkan perubahan dalam konteks riil, karena perubahan terjadi dalam interaksi dan komunikasi, bukan dalam renungan terisolasi ๐
Saya setuju dengan terjadinya perubahan diperlukan interaksi dan komunikasi, karna toh yang dirubah dan yang merubah memerlukan adanya komunikasi. tetapi saya masih agak bingung dengan renungan terisolasi ? apa kayak self talk ya?
Yang saya maksud adalah bahwa perubahan hanya bisa terjadi bila melibatkan orang lain, tidak cuma merupakan renungan sendiri. Kalau cuma renungan sendiri, ya akan cenderung no action talk only.
Dear James & Nielsen,
Menurut saya, permasalahan utamanya adalah pada paradigma berpikir SDM perusahaan tersebut. jadi kalau mau mengadakan suatu perubahan, ya harus rubah paradigma berpikir SDM yang ada. Fresh & innovative idea sering jadi useless dan proses perubahan jadi back to square one kebanyakan terjadi gara-gara hal ini.
Paradigma berpikir juga mempengaruhi culture perusahaan karena hal ini berkaitan dengan response, kebiasaaan (habits), procedures, dan hal-hal lain yang mempengaruhinya. Main pointnya bisa saya uraikan sbb:
1. Change management dimulai dengan mengubah paradigma berpikir SDM perusahaan agar sesuai dengan kebutuhan & perkembangan perusahaan dan faktor-faktor pendukung lainnya berdasarkan misi & visi perusahaan.
2. Perubahan dilakukan melalui proses transformasi oleg SDM Perusahaan yang berkomitmen tinggi dan siap melakukan perubahan.
Betul, Glenn. Akarnya pada paradigma. Susahnya, seperti kata teman saya, perubahan mindset atau paradigma seringkali jadi omongkosong dan sia-sia. Mengapa? Karena merubah paradigma orang tidak bisa terjadi dengan seminar2 motivasi atau upaya2 verbal semata. Harus ada upaya perubahan culture secara sistemik.
Simple but difficult…
Paradigma itu bukan hal sederhan yang dapat diubah secara cepat…
Klo menurut saya, sebuah paradigma itu lahir karena budaya di tempat itu…
Untuk mengubah budaya berarti mengubah ‘lagu kebangsaan’ di tempat itu…
Klo mengubah ‘lagu kebangsaan’, berarti minta ‘dikeroyok’ orang-orang yang ada di tempat itu…
Jalan satu-satunya untuk mengubah paradigma menurut saya dengan melibatkan peran pembesar di tempat itu dan menerapkan sedikit militer…
Maksudnya militer disini adalah memberikan penalti, baik itu pemotongan gaji, denda, atau yang lain…
Awalnya terpaksa…
Kemudian terbiasa…
Akhirnya membudaya…:p
Mungkin ini bisa menjadi masukkan bagi Nielsen dan semua orang…
NB:
Untuk mengubah suatu negara, tidak bisa sendirian…
Karena satu itu jumlah yang terlalu sedikit untuk menjadi besar…
Hehehehe…
Betul. Kekuasaan, strategi kebijakan yang tepat serta membentuk kelompok pendorong perubahan yang berisi orang yang tepat sangat menentukan dalam proses perubahan.
Perubahan paradigma, kalau bisa terjadi, merupakan konsekuensi dari itu semua.