
Sebenarnya saya sedang mengerjakan tulisan tentang pengelolaan kota modern untuk saya unggah di sini, tapi entah bagaimana, sesuatu lewat dalam benak saya. Sesuatu itu begitu kuatnya menyeruak dalam batas-batas kewarasan saya, dan sangat ‘menganggu’ proses penulisan tentang kota modern tadi. Ya, saya merasa bahwa ketika saya mengabaikan ‘sesuatu’ tadi, saya malah meracau dalam tulisan saya.
Lalu, ketika saya baca postingan istri saya, dan melihat foto di samping ini, saya tiba-tiba memahami apa ‘sesuatu’ itu. Maka, atas nama kewarasan, saya pikir biarlah ‘sesuatu’ tadi lahir menjadi sebuah tulisan sendiri, dan biarlah ia lahir lebih dulu di sini.
Saya sempat berandai-andai, berapa banyak orang yang pernah mengalami apa yang saya alami ini. Sebuah pengalaman ‘kesurupan’ ide, dimana sebuah ide memaksa muncul, menerobos dan mengaduk-aduk pikiran dan ide-ide yang sudah bergentayangan dalam benak kita. Atau, jangan-jangan pertanyaan saya salah. Seharusnya saya berandai-andai, seberapa sering orang-orang yang hidup di perkotaan mengalami ini?
Kenapa perkotaan? Ya karena saya merasa ketenangan pikiran adalah sesuatu yang mahal di kehidupan perkotaan. Sebagai orang yang lahir dan besar di Malang, saya masih merasakan betul betapa ide yang tiba-tiba muncul tidak perlu menyerobot secara paksa dan memecah pikiran kita.
Ya, ini yang orang sering sebut sebagai mendapat ‘ilham’. Di kota seperti Malang, pikiran tidaklah terlalu galau, karena kompleksitas kehidupan masih memberi ruang untuk kerja intuisi yang memunculkan ilham. Mengapa? Karena pikiran kita masih menyediakan ruang-ruang untuk bermain-main. Pikiran kita tidak terkonsumsi habis oleh kehidupan keseharian.
Sebaliknya, di kota macam Surabaya, apalagi Jakarta, mau pergi ke tempat kerja saja harus memikirkan bagaimana agar macet seperlunya dan buang waktu. Di Jakarta, bisa menuju ke dua tempat tujuan dalam satu hari sudah perlu disyukuri. Untuk pergi saja, kita harus punya ‘perencanaan strategis’. Seorang sopir taksi di Jakarta harus memikirkan rute yang ia tempuh agar sampai tepat waktu. Sementara sopir taksi di Malang mungkin tinggal tancap gas dan sampai tujuan. Makin ruwet kehidupan perkotaan, makin ruwet pikiran kita. Maka, intuisi yang mendorong munculnya ide/ilham/insight/inspirasi harus berjuang lebih kuat untuk menerobos benang kusut pikiran.
Pikiran kita melaju dalam ritme alam sekitar. Dan di kota-kota besar, ritme yang kita rasakan bukan ritme yang bagai tetes air dari ujung dedaunan. Denyut kehidupan perkotaan adalah detak jantung yang sangat cepat. Segala sesuatu bercampur baur dan melesat kesana-kemair dengan kecepatan yang luar biasa. Tak heran, segala sesuatu yang bergerak di sekeliling kita serasa menjadi kilasan-kilasan yang hanya beberapa saat. Benak kita menjadi kabur dalam laju dan kompleksitasnya sendiri. Dalam laju kehidupan urban, kita bergerak dalam kilasan yang bising.
Dan ketika kita tak kuasa lagi mencari celah dalam kilasan-kilasan tersebut, intuisi tak lagi punya pilihan dan akhirnya memberontak. Letupan rasa yang membarengi ide atau ilham yang menginterupsi rutinitas pemikiran ini menjadi sebuah tenaga dahsyat yang mengalihkan kita, atau setidaknya memaksa kita berhenti sejenak. Itulah intuisi kita, yang makin mudah tertindas dan terkubur dalam benang kusut keseharian kita.
Padahal, intusi inilah yang membuat kita terhenyak, membuat kita bangkit dan berusaha melepaskan diri dari lilitan kerumitan sehari-hari. Bila ia berhasil, benak kita seakan mampu melayang tinggi, dan dari ketinggian itu kita mampu melihat kembali kehidupan kita melalui sudut pandang yang lebih luas. Di situlah kita menemukan inovasi dan jalan keluar, yang acap kali jauh lebih sederhana daripada yang kita perkirakan. Dari situ pula kita sebenarnya akan menemukan pembaruan dan pengembangan dalam hidup, pekerjaan, pergaulan dan keseharian kita.
Intuisi membawa kita menemukan kejernihan dalam kerancuan. Intuisi kita membawa kita menuju jalan keluar. Sayangnya, hakikatnya dia lebih suka muncul melalui bisikan dalam celah-celah benak kita. Dan, celah-celah itu makin sulit kita temukan dalam pelik kehidupan urban.
Ataukah kita sudah terlalu terbiasa mengabaikan bisikan-bisikan itu?
Keputusan paling bijak tidak dibuat melulu berdasarkan pertimbangan rasional, itu juga, tetapi juga oleh intuisi yang terbentuk oleh tempaan waktu dan peristiwa..
Betul sekali. Itulah kenapa karya-karya besar kelihatannya muncul melalui proses-proses yang sepertinya tidak jelas pada awalnya, namun ternyata proses yang luar biasa.
ya, saya harus membaca 2 kali pak untuk kali ini. bukan karena saya tidak mengerti, tetapi pertanyaan yang paling akhir itu yang paling me”ransang” pak. saya pikir menggunakan intuisi, terkadang atau mungkin seringkali di bilang “gak bener”. pemikiran itu terus menerus ada atau ditanamkan di dalam perkuliahan dan juga dunia kerja, tetapi kemungkinan itu yang menyebabkan bisikan ini tertidur. yah, itu hanya sekedar opini yang saya temukan sih. hehehe..
Menurutku juga demikian. Intuitive judgment bukanlah sesuatu yang tidak ilmiah. Hanya saja ia merupakan salah satu dimensi proses berpikir yang sifatnya divergen. Proses intuitif merupakan reaksi sistemik otak kita terhadap beragam informasi yang multidimensional tentang suatu hal. Karena multidimensional itulah, pemahaman yang dibutuhkan adalah lateral.
Sekolah, pada dasarnya adalah sebuah intitusi klasikal yang memperlakukan beragam orang dengan beragam pengalaman dengan cara yang seragam. Yang dikejar pada dasarnya adalah uniformitas intelektual. Makanya, kreatifitas dan kebijaksanaan (yang sifatnya lebih intuitif) jarang punya tempat. Itulah kenapa Ken Robinson, filsuf pendidikan dari Inggris, mengatakan bahwa school system kills creativity. Reza suka banget dengan ini hehe…..
tapi pak, berarti masyarakat di Cina mempunyai system yang berbeda di sekolahnya. toh, pada akhirnya mereka bisa menjadi pekerja yang kreatif.
menurut saya pak, mungkin karena di sekolah tidak ada yang mengajarkan tentang kreatifitas dan sebagainya. karena mungkin (sekali lagi mungkin hehehehe..) anggapannya kreatifitas adalah pelajaran yang diambil sehari-hari, jadi ya cuman teori aja yg diajarkan di sekolah.
Tidak hanya di Cina, di India juga masyarakatnya kreatif. Tapi ada dua catatan penting di sini.
Pertama, masyarakat India dan Cina adalah masyarakat yang sudah berabad-abad kreatif dalam produksi solusi-solusi nyata bagi kehidupan sehari-hari. Mereka meyakini bahwa menganggur adalah ‘jahat’ dan menghasilkan sesuatu yang nyata adalah ‘wajib’. Jadi kreatifitas adalah nilai dan intuisi dasar kehidupan sehari-hari. Itulah kenapa sekarang ada fenomena bahwa keturunan Cina dan India di manapun bisa meraih sukses. Lihat aja Dubai dan Abu Dhabi, disana banyak sekali orang Cina dan India di balik kemajuan kedua negara emirat itu. Lihat Microsoft di Seattle dan Sillicon Valley di San Jose, banyak orang kreatif dari Cina dan India. Berdasar pengalaman pribadi saya, pengetahuan formal memiliki keterbatasan kontekstual. Sementara intuisi justru sangat berguna di negeri paling asing sekalipun.
Kedua, sekolah di Cina maupun India sangat menghargai local wisdom dan basic values mereka. Ini membuat mereka tidak ‘menjajah’ intuisinya sendiri. Di dua negara itu, semodern apapun pembelajaran mereka, mereka tak lupa untuk jadi dirinya sendiri sebagai orang Cina atau India. Sebaliknya, kalau pendidikan di Indonesia cenderung menempatkan local wisdom dan basic values sebagai kuno/tidak logis/memalukan atau bahkan bertentangan dengan norma agama. Akibatnya, pembelajaran-pembelajaran intuitif (collective unconsciousness menurut Jung) tidak bisa diperoleh, karena kita sudah dibiasakan antipati pada yang kita punya. Akibatnya, kita cuma jadi agen penerima yang menelan mentah-mentah segala sesuatu dari luar. Model ‘tukang jiplak’ begini sulit jadi kreatif, apalagi intuitif.
Intuisi menurut Jung adalah sebuah akumulasi dari pengalaman-pengalaman kolektif bawah sadar yang muncul ke pre-consciousness dan memberikan letupan-letupan berupa perasaan-perasaan tertentu yang sulit dideskripsikan ke alam sadar kita. Sekalipun teori ini sulit dibuktikan secara ilmiah tapi menarik untuk dikaji.
Ada sesuatu yang tidak kita ketahui sedang berdiam dalam diri kita yang senantiasa membuat kita penasaran dan mendorong kita untuk melakukan investigasi ke dalam diri sendiri.
Pengalaman semacam ini membuat saya sadar akan sesuatu hal tentang intuisi. In the early of my understanding about intuition, I thought that intuition guide us toward what is good perceived by us. But later, I aware that sometimes intuition also guide us toward something that uncomfortable for us. Why?
Setelah melalui investigasi yang lebih mendalam (yang kalau saya paparkan bisa berhari-hari ngetiknya) saya menyimpulkan, ternyata fenomena intuisi ini bukan bertujuan untuk menyenangkan kita tapi intuisi ini merupakan sebuah sistem yang memandu kita untuk bergerak menuju “yang seharusnya” bukan “yang sebaiknya”, sekalipun hal itu berimplikasi membuat kita merasa tidak nyaman, dan seringkali kita mengumpat “damn shit, it just a bad ass”. Tapi pada akhir cerita selalu ada sesuatu yang bisa membuat kita belajar (kalau mau) atau memahami sesuatu hal yang ada di dalam diri kita maupun yang ada di sekitar kita.
Lantas apakah kita akan menyalahkan intuisi kita yang bertindak sebagai penasehat dalam aktivitas kita? Sementara kita memiliki pilihan untuk tidak mengikuti intuisi kita.
Semua kembali lagi kepada pribadi kita masing-masing apakah kita memilih mengikuti intusi sekalipun berdampak pada ketidaknyamanan ataukah bergerak menuju sesuatu yang menyenangkan.
Yang bisa saya paparkan di sini adalah intuisi bukan perangkat sistem yang mendatangkan sesuatu yang baik menurut kita karena sejatinya menurut jung intusisi itu datangnya dari collective unconsciousness kita. Namanya juga collective, maka implikasinya juga tentunya demi sesuatu yang sifatnya kolektif juga kan. 🙂
Wahahahaha…….pendapat yang menarik!
Aku sangat sepakat bahwa intuisi menuntun kita pada yang seharusnya, dan bukan yang sebaiknya. Karena ‘sebaiknya’ juga merupakan ilusi normatif, alias yang baik itu yang kita persepsikan sebagai yang ideal, tapi belum berarti yang seharusnya 🙂 ‘Sebaiknya’ seringkali merupakan karya dari kalkulasi rasional atau kecenderungan emosional, dan intuisi seringkali bukan keduanya, atau malah mixing dari keduanya.
Namun, itu berarti sangat mungkin intuisi yang paling jujur memberi clue pada kita tentang siapa kita dan bagaimana sesungguhnya kita hidup, dan dari situ memberi kita beragam tawaran bagaimana kita mau melanjutkan hidup.
Affirmative…
Intuisi bagi kaum agamis juga sering diterjemahkan sebagai kata hati yang mendorong manusia untuk mengikuti atau menjalankan kehendak Tuhan -yang juga diamini oleh kebanyakan orang- sebagai “tokoh di balik layar” yang menggerakkan segala sesuatu mekanistik ataupun yang non mekanistik di seluruh jagad raya ini. Pandangan ini sangatlah match dengan apa yang disampaikan oleh Jung bahwa kemunculan intuisi ini adalah dari collective unconscious karena itu ia selalu mendorong seseorang untuk mengikuti apa yang seharusnya terjadi menurut masterpiece dari kolektifitas alam semesta raya.
taruna delapan tujuh…
delapan satu tiga….
Wah, ini dah mulai naik ke spiritulitas nih hehehehe…..
delapan satu tiga…..
Well, as we know, spirituality was always involved in all of aspects of our life, but the most important thing that we should consider is what I’m talking about was not about religion or any faith that people had. It’s spirituality that always have a subjective meaning for each person.
Well, as we know, spirituality was always involved in all of aspect of life. The most important thing that we should consider that what I’m talking about is not about religion or any faith that people hold. It’s spirituality that always has a subjective meaning for each person.