Merdeka itu soal rasa

Indonesia
Image by robynejay via Flickr

Merdeka itu soal rasa, bukan slogan. Merdeka itu soal jiwa, lebih dari sekedar teriakan. Itulah yang saya pikir agak terlupakan setiap tanggal 17 Agustus. Kita sibuk merayakan kemerdekaan melalui ritual-ritual rutin. Tapi sebagian besar dari kita lupa bahwa merdeka adalah apa yang kita rasakan sehari-hari.

Mungkin, bagi sebagian orang, merdeka hanya sebatas perayaan bahwa secara formal kita memiliki status merdeka. Merdeka dalam artian bahwa secara legal formal kita adalah manusia bebas. Tapi, seingat saya, kemerdekaan adalah kata sifat yang menggambarkan situasi. Artinya, itu menggambarkan sesuatu yang kita rasakan. Merdeka itu soal rasa.

Rasa kemerdekaan adalah rasa ‘bebas’ dari tanggungjawab dan konsekuensi. Itulah kenapa kemerdekaan identik dengan kebebasan. Padahal, kebebasan tidaklah pernah mutlak. Hakikat hidup manusia adalah kebebasan yang dibatasi oleh tanggungjawab dan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan bebas yang diambil.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan merasa merdeka?

Kemerdekaan adalah situasi dimana kita merasa kita tidak perlu kuatir berlebihan atas konsekuensi dari tindakan kita. Dalam istilah yang lebih gamblang, kemerdekaan membuat kita merasa cukup bebas, karena kita cukup memikul tanggungjawab dan konsekuensi yang bisa kita pikul.

Contoh paling mudah ada di jalan raya. Kita bebas memilih mau pergi kemana lewat jalan yang mana. Namun, ada konsekuensi bahwa ketika semua mau mengikuti kemauan sendiri, jalanan akan kacau. Ini tanggungjawab dan konsekuensi yang terlalu besar untuk dipikul seorang diri oleh siapapun. Oleh sebab itu, diciptakan sistem yang bisa memikul tanggungjawab dan konsekuensi-konsekuensi tersebut. ‘Sistem penanggungjawab’ itu berupa aturan lalu lintas, pengaturan arus jalan, sanksi pelanggaran, penegak hukum di jalan raya dan sebagainya.

Dengan adanya ‘sistem penanggungjawab’ ini, setiap orang cukup bertanggungjawab soal bagaimana dia menggunakan jalanan. Sementara konsekuensi-konsekuensi eksternal diatur oleh ‘sistem penanggungjawab’ itu. Pengguna jalan tidak perlu bingung mengatur peraturan jalan, penegakan peraturan dan lain-lain. Ini semua sudah dialihkan pada institusi atau pihka lain yang memang ditugaskan memikul tanggungjawab dan menangani konsekuensi tersebut. Dengan adanya sistem ini, kita merasa cukup ‘bebas’ dan ‘merdeka’. Analogi yang sama bisa kita temukan di sistem perbankan, asuransi dan sebagainya. Juga di sistem sosial budaya, pendidikan, dan hukum. Juga di dalam pekerjaan dan kehidupan keluarga.

Rasa merdeka hanya muncul saat ‘sistem penanggungjawab’ berfungsi baik. Dalam sistem sosial, ada ‘sistem penanggungjawab’ yang entah namanya manajemen, atau negara, atau masyarakat, atau sebutan lain. Fungsinya sama, menciptakan sebuah pola pengalihan tanggungjawab agar individu merasakan yang namanya kemerdekaan. Tidak mutlak tentunya, tapi cukup untuk merasakan kebebasan sebagai esensi kemerdekaan.

Pertanyaannya, apakah sebagai masyarakat merdeka, kita sudah berkontribusi secara positif dan konkret untuk membuat ‘sistem penanggungjawab’ kita bekerja dengan baik?

Saya percaya, untuk merasakan kemerdekaan, jawaban pertanyaan inilah yang harus senantiasa kita perjuangkan.

Dirgahayu Indonesiaku!

(tulisan yang sama juga diunggah di akun Kompasiana saya, 17 Agustus 2011, http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/17/merdeka-itu-soal-rasa/)

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

2 thoughts on “Merdeka itu soal rasa

  1. setuju James. Kemerdekaan sejatinya adalah soal mental, dan bukan soal material semata, apalagi ritual. Bangsa kita suka terjebak melihat segala sesuatu secara dangkal. Ini yang sering kita sebut sebagai hermeneutika dungu.. heheheh…merdeka!

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s