Jokowi dan ‘intelektualisme’ ala Indonesia

Kemenangan Jokowi bukan sekadar kemenangan anti kemapanan, tapi lebih merupakan ekspresi bosan masyarakat. Masyarakat bosan birokrasi, yang berakar dari intelektualisme ala Indonesia; yang kebetulan dicerminkan oleh banyak elite pejabat kita saat ini. Intelektualisme yang terlalu banyak konsep dan kata-kata, tapi dampak riil tak kunjung terasa.


Saya tidak kenal Jokowi. Saya juga bukan warga Solo. Saya hanya tahu bagaimana situasi Solo ketika saya ke sana, dan bahwa dia walikotanya. Saya melihat bagaimana kota Solo dibawah kepemimpinannya. Mungkin kalau dianalisa dengan gaya intelektual, ya saya akan nyerocot tentang keunggulan dan kekurangan Solo, beserta beragam analisis dari sudut pandang ini dan itu.
Tapi itu semua hanya kata-kata. Yang nyata yang tak bisa saya pungkiri adalah bagaimana warga biasa di Solo menunjukkan kepuasan mereka atas hasil kerja walikotanya. Ya, mereka puas atas hasil kerja Jokowi yang terasa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Intelektualitas yang benar tidak melahirkan birokrasi yang lamban, apalagi korup. Dan saya pikir, Jokowi yang tidak punya tampang keren sebagai pemimpin ini, justru identik dengan birokrasi yang cepat dan tidak ruwet, bersih dan efektif dimata rakyatnya. Jokowi yang tak tampak sebagai intelektual, namun lebih mencerminkan seorang pengusaha mebel biasa ini, diakui sebagai pemimpin dan manajer kota yang efektif.
Menurut saya, dibalik tampangnya yang tak meyakinkan, dia justru sangat intelek. Dia mampu memahami apa yang perlu, dan mampu merumuskan secara tepat apa yang harus ia lakukan.

Intelektualisme ala Indonesia punya kecenderungan membikin pelik sesuatu yang sederhana. Juga cenderung membikin aksi nyata tergulung dalam sebatas rangkaian kata. Cermat dan luar biasa memang kekuatan telisik kata dan analisa para intelektual kita, tapi kerap membelit kita dalam keraguan dan tak berdaya untuk sungguh melangkah.

Intinya….hehehehe…intelektualisme ala Indonesia bikin pusing.

Dan ketika intelektualisme ala Indonesia ini bertemu dengan demokrasi, kita lihat drama ironis yang mebuat Jokowi populer saat ini.

Demokrasi mudah dalam konteks kecil, dimana sistem perwakilan bukan keharusan. Ini terlihat dalam pemilihan kepala desa. Tapi dalam konteks yang besar, luas dan kompleks seperti Indonesia, representasi atau perwakilan merupakan penghubung sendi-sendi demokrasi. Representasi merupakan pengikat kepingan-kepingan yang diikat oleh pilar-pilar yang beragam, dan dialasi oleh fondasi yang lebar dan masif.

Representasi itulah para pemimpin dan wakil rakyat kita. Beragam pilar itu adalah birokrasi kita. Fondasi lebar dan masif itu adalah para ahli dan sistem sosial budaya kita. Dan kalau mau jujur, semuanya bermasalah.

Dengan kondisi yang sarat komponen diatas fondasi yang lebar dan masif seperti itu, adalah lumrah bila bangunan demokrasi kita ibarat piramida yang rumit untuk direnovasi, sulit untuk digerakkan, dan rawan mengalami pelapukan di dalam. Jadinya, ya seperti demokrasi kita saat ini. Kita sudah menjalankan prosedur-prosedur demokrasi yang luar biasa, tapi hasilnya adalah pemimpin-pemimpin intelektual dan birokrat-birokrat ahli yang memukau saat kampanye, dan mandul saat bekerja.

Ya tentu tidak semua. Ada orang macam Jokowi, Dahlan Iskan, Tri Risma Harini dan beberapa pemimpin bekerja yang lain. Tapi kebanyakan pemimpin dan wakil rakyat kita ya para ‘intelektual’ yang begitu itu.

Dan kemenangan Jokowi seakan menyembuhkan rasa bosan kita atas pelapukan demokrasi kita selama ini. Demokrasi yang melahirkan pemimpin yang tidak efektif dan wakil rakyat yang bagai penyakit.

Jokowi dengan cara kerjanya sebenarnya ibarat seorang insinyur yang sedang memperbaiki saluran-saluran air yang buntu, kabel-kabel listrik yang putus dan segala jenis penghubung yang sudah lapuk atau rusak dalam bangunan masyarakat yang ia pimpin.

Di sinilah peran Jokowi sebagai socio-engineer tampak nyata. Dan pemimpin itu harusnya memang bisa melakukan rekayasa sosial, sebagai manajer masyarakat atau kota yang mumpuni. Itulah intelektual sejati.

Orang macam Jokowi yang bisa menjaga dan memperbaiki kepingan-kepingan demokrasi kita ini, sehingga kompleksitas pemerintahan tidak menjadi beban untuk dirinya sendiri dalam upaya melestarikan diri. Sayangnya, saat ini, terlalu banyak orang bicara yang besar-besar dan berebut memoles permukaan (baca: pencitraan) dan berlomba tampil di panggung (baca: pemimpin formal dan tokoh populer) dari piramida demokrasi ini, dan akhirnya representasi menjadi membusuk dan lapuk. Banyak yang tampak sebagai ‘intelektual’ dengan berlapis ijazah, tapi mandul dalam rekayasan sosial.

Dan karena itu, banyak dari kita yang senang Jokowi menang….

…….bukan karena Jokowi pasti sukses terpilih jadi Gubernur DKI. Itu belum tentu. Kalaupun dia menang, belum tentu dia berhasil. Tapi kita senang karena kita bisa ‘protes’ pada intelektualisme ala Indonesia yang menjangkiti para pemimpin dan wakil rakyat kita; yang doyan polemik dan meeting tanpa hasil itu; melalui seorang Jokowi.

Jokowi menghayati langkah, bukan sekadar mengulik konsep dan wacana, merangkai kata dan rencana, hingga terlalu lamban untuk membuatnya menjadi nyata. Kebanyakan orang yang sudah bosan, dengan mudah menyukai dia.

Sudah…sudah….saya sudah terlalu lama bermain kata di tulisan ini……sudah terlalu ‘intelektual’ hehehehe………

Advertisement

4 thoughts on “Jokowi dan ‘intelektualisme’ ala Indonesia

  1. Indonesia butuh pemimpin yang bisa bekerjasama dengan rakyatnya dalam membangun negara. Saat ini banyak Boss negara ini yang justru merusak framework pembangunan dengan gaya intelektual yang ketinggian. Seorang negarawan adalah orchestrator proses pembangunan negara yang terintegrasi penuh sesuai dengan frameworknya. Inilah yang bisa saya lihat dan pelajari dari Joko Widodo…

  2. Hanya sedikit orang yang layak disebut “kaum intelektual” di Indonesia. Dan saya setuju, mereka bukan para professor doktor dengan gelar panjang-panjang, namun pikiran dangkal, dan mental opurtunis. Jokowi, Dahlan, dan Bu Risma, menurut saya, bukan intelektual dalam arti sempit, melainkan pemimpin yang efektif dan visioner, walaupun tetap banyak kekurangan muncul di dalam kepemimpinan mereka. Lebih tepat, mereka disebut sebagai intelektual-populis-aktivis yang amat tepat untuk duduk di kursi pimpinan. Kita bisa menyebutnya: Intektual 2.0…

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s