Yes James, I miss u so much for a stimulating conversation. Unfortunately, tmrw I hv to go to hospital at 10:00 WIB. I don’t know when it wl be finished. Thank.
Itu jawaban SMS dari Pak Ino tanggal 27 Agustus 2012. Itu SMS terakhir dari dia yang masih ada di handphone saya. Waktu itu, saya menanyakan apakah saya bisa ketemu dan ngobrol.
Bagi mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan Pak Ino, mungkin setiap hari ada komunikasi SMS atau pembicaraan ataupun pertemuan. Tapi tidak dalam konteks saya.
Saya hanya murid, yang tidak lagi punya jadwal rutin bertemu dia. Tapi komunikasi dengan Pak Ino selalu terjaga, dan kami selalu saling mencari dan kemudian bertemu untuk ngobrol. Jarak antar pertemuan sangat lama, tapi pasti kami mencari waktu untuk bertemu. We, in a effectively chaotic way, have managed to find ways to meet from time to time for one purpose: A stimulating conversation.
Dan hasil dari SMS itu, akhirnya memang kita sepakat dengan tanggalnya, dan bertemu. Pertemuan tanggal 19 September 2012 siang itu, ternyata juga adalah pertemuan terakhir saya dengannya.
Dalam obrolan terakhir itu, kami ngobrol mulai dari topik-topik kegemaran kami ketika ngobrol, antara lain systems thinking, organizational development, Marvin Weisbord dan sebagainya. Tapi yang selalu saya sukai ketika ngobrol tentang hal-hal ini dengan Pak Ino, adalah tentang bagaimana pemikiran-pemikiran ini saya gunakan dalam pekerjaan dan kehidupan saya. Kita jadinya pun ngobrol melebar kemana-mana.
Tapi berbeda dengan obrolan melebar umumnya, yang identik dengan obrolan yang tidak jelas; obrolan dengan Pak Ino selalu mengarah ke satu hal: Kejujuran melihat diri dan kehidupan.
Itulah istimewanya ngobrol dengan Pak Ino. Sejak dulu, sebagai guru, dia dengan cara uniknya ‘mengajak’ muridnya untuk belajar mendalam tentang konsep-konsepnya, bukan sekadar mencatat ringkasan bermodal transparansi atau powerpoint. Lalu, ketika muridnya sudah belajar tentang konsep-konsep itu dengan serius, dia mengajak muridnya untuk menghayati sekaligus mempertanyakan keberadaan konsep-konsep itu dalam kehidupan.
Dalam obrolan terakhir itupun, ‘kesimpulan’ obrolan saya dengan Pak Ino adalah soal belajar ilmu silat. Setelah ngobrol selama sekitar dua jam tentang realita penerapan organizational learning di pekerjaan saya, obrolan berujung pada cerita silat karya Ku Lung, Chin Yung dan Liang Yi Sen. Kami waktu itu sepakat bahwa membaca ‘kitab ilmu silat’ itu kalah penting dibanding ‘jam terbang berlatih silat’nya. Ini diskusi panjang, tapi intinya kami berdua sepakat bahwa orang Asia punya pola belajar observasional-ritual, dimana belajar terjadi efektif melalui observasi dan mengulang dalam tindakan dulu, baru pemahaman terbentuk. Ini sesuai dengan akar dan budaya orang Asia yang umumnya lebih visual dan bertumpu pada pengalaman behavioral. Bukan sebaliknya, seperti kebanyakan model pendidikan dimana pemahaman diharapkan muncul dari literal-verbal melalui mencerna informasi dulu baru menerapkannya.
Mulainya dengan hal-hal ‘berat’ yang dibicarakan dalam humor-humor jujur nan satir, lalu berujung pada sebuah makna menjadi siapa diri kita. Sebuah makna yang sangat dekat dengan akar kita masing-masing, dan sekaligus larger-than-life karena begitu luas dan dalam untuk direnungkan. Itulah obrolan dengan seorang Ino Yuwono.
Kalau saya mundur ke belakang, saat pertemuan pertama di kelas pertama Pak Ino, dia tanya ke saya: “SMA mana kamu dulu?” Dan ketika saya jawab, komentar dia adalah: “Kok goblok kamu, sekolah di Indonesia? Harusnya kuliah di Amerika sana! Hahahaha…Aku dulu kuliah keterima di jurusan kimia, tapi milih psikologi soale wedhoke ayu-ayu. Nek niat sekolah, golek sekolah sing genah. Nek gak, golek sing nggarai seneng ae!” Dan kemudian dia masuk ke pesan yang dia ingin sampaikan, yaitu bahwa sekolah psikologi itu sama sekali tidak memberikan alasan kita untuk sombong dan sok bangga jadi psikolog, karena manusia akan tetap hidup tanpa psikologi sekalipun. Dia mengajak kami semua belajar psikologi untuk menjadi hidup, bukan sekedar bergelar psikologi dan sok pintar diagnosa sana dan sini. Jujur, lucu, satir, ‘menusuk’ jauh ke dalam diri kita, dan memberikan makna yang luas dan dalam. Itu obrolan pertama kami.
Dan perasaaan yang sama tetap muncul hingga obrolan terakhir dengan dia.
Itu membuat dia adalah orang yang ngangenin. I never said this, but I also miss u too, Pak Ino. And that’s why I called you. And now, I will miss you even more for all the meaningful conversation we ever had, and will never again.
I will continue to have stimulating conversations with other people Pak, and your spirit will stay alive in the way it has been.
Bagus James. Aku sendiri baru ketemu dia dua kali, tetapi udah langsung banyak diskusi. Sayang ya, kita ga pernah ngumpul bertiga.
Kita bisa terus berdiskusi untuk mengenangnya Za
pasti… nanti kalo aku mudik, pasti aku kontak… cu James!
Pak Reza dan Pak James… Nama Anda berdua disebut dalam kelas saya waktu martikulasi S2.. Saya rasa, Beliau juga senang bisa bertemu dengan Pak Reza 🙂
Beliau juga tanya tentang Pak James, terkait pekerjaan 🙂
Terima kasih Pak James, sudah membawa Pak Ino di kuliah tamu.. Hingga akhirnya bertemu untuk ke 2, ke 3 dan ke 4 kalinya dengan beliau..
Sama-sama Ayu 🙂 Dia orang yang luar biasa.