Kata ‘upah’ belakangan populer lagi di media negeri ini. Kata ini mungkin sama populernya dengan kata ‘kiamat’, yang memamng lagi naik daun karena katanya ada ramalan suku Maya tentang kiamat tahun 2012. Kiamatnya sih hingga 10 minggu terakhir 2012 ini belum tampak bakal terjadi, sementara heboh upahnya sudah terjadi dan masih berlanjut. Kata ‘upah’ ini jadi menarik bukan karena ini memang ‘musim’ upah, dimana akhir tahun memang waktunya penentuan upah minimum regional di negeri kita tercinta. Kata ini populer karena kita menyaksikan banyak sekali ‘drama’ terkait penentuan upah minimum tahunan kali ini.
Ya, saya katakan ‘drama’. Bukan karena banyak demo. Bukan pula karena prosentase kenaikan yang tertinggi sepanjang sejarah.
Bagi saya, itu semua relatif, dan secara keseluruhan sebenarnya layak-layak saja. Serikat buruh demonstrasi menuntut kenaikan upah itu memang wajar dan seharusnya. Kenaikan prosentase juga wajar-wajar saja, karena biaya hidup naik seiring pertumbuhan ekonomi (dan inflasi yang menyertainya). Secara keseluruhan, meningkatkan upah minimum penting sekali untuk mengangkat perekonomian nasional menjadi sebuah bangsa yang didominasi kelas menengah, bukan dominasi kelompok super kaya di satu ujung dan kelompok miskin di ujung lain.
Yang menjadi drama adalah ketidakjelasan proses penentuan nilai upah minimum itu. Memang ada yang namanya perhitungan KHL alias kebutuhan hidup layak. Konsepnya sudah benar. Yang bikin cemas adalah bagaimana semua data KHL itu akhirnya diinterpretasikan melalui negosiasi ‘abstrak’ yang tidak jelas dari satu tahun ke tahun berikutnya. Di tahun-tahun sebelumnya, urusan KHL ini tidak digubris dengan serius oleh negara, karena berbagai alasan. Tahun ini, negara bukan hanya cukup serius menanggapi, namun juga memberikan ruang untuk prosentase kenaikan yang luar biasa, diatas 20 %.
Saya setuju kenaikan itu. Sebagai orang pabrik, saya tidak bisa memungkiri bahwa saya melihat senyum gembira karyawan yang pulang kerja membikin saya ikut bahagia. Saya bisa membayangkan bagaimana kenaikan daya beli dan kesejahteraan merek yang meningkat akan membuat ekonomi Indonesia terdorong naik secara signifikan.
Tapi, memprediksi kenaikan upah di negeri kita tercinta seperti menebak lotere.

Apakah kenaikan upah minimum tahunan berdasar asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi? Saya rasa kok tidak, wong tahun-tahun sebelumnya tidak demikian adanya. Apakah negara menaikan upah berdasar sebuah perhitungan standar minimum penghasilan orang yang bekerja, sehingga serendah-rendahnya penghasilan seseorang di negeri ini pasti sudah cukup layak? Tidak juga, karena masih ada yang namanya guru honorer di sekolah negeri yang total penghasilannya di bawah upah minimum. Masih banyak pula pengangguran terselubung yang sepertinya bekerja, padahal mereka cuma mengandalkan hidup dari pekerjaan tidak tetap beberapa jam sehari di sektor informal.
Apakah negara punya sebuah roadmap peningkatan upah minimum berkala selama beberapa tahun ke depan, dimana prosentase kenaikan upah minimum itu sudah dirancang sebagai pendorong kenaikan ekonomi beberapa tahun ke depan? Saya kok belum pernah dengar. Yang nyata adalah setiap tahun ada proses penuh ‘drama’ tentang beberapa persen kenaikan yang harus ditetapkan. Akibatnya, ketika prosentase tipis, kita yang berada di dunia bisnis jadi kuatir apakah prosentase yang minim itu nanti tidak akan mendatangkan ‘balas dendam’ di tahun-tahun mendatang?
Dan mungkin itu yang terjadi tahun ini. Besaran kenaikan upah minimum membuat hampir semua bisnis merevisi ulang besar-besaran anggaran biaya tenaga kerjanya. Malah, banyak yang masih tidak tahu harus melakukan apa, karena besaran kenaikan yang ‘melompat’ itu tampaknya terlalu tinggi bagi mereka untuk dipikul dalam anggaran satu tahun. Ini mungkin ‘balas dendam’ atas prosentase kecil yang selama ini terjadi.
Saya beruntung bahwa tempat saya bekerja mampu memikul ‘lompatan’ ini. Tapi kan tidak semua bisnis di negeri ini punya cukup modal untuk mampu memikul ‘kejutan’ ini. Lalu, bisnis yang mampu memikul ‘kejutan’ tahun ini pun bukan berarti bebas dari rasa kuatir. Rasa kuatir pun tetap ada, rasa kuatir akan ‘kejutan’ tahun depan!
Ya, tahun depan! Karena, seperti yang saya tulis di atas, ini seperti tebak lotere! Dengan tidak jelasnya roadmap peningkatan kesejahteraan pekerja untuk beberapa tahun ke depan, maka yang kita punya di negeri ini adalah negosiasi tahunan yang tidak jelas dengan hasil bagaikan lotere pula. Bisa jadi memukul bisnis, bisa jadi memukul para pekerja, bisa jadi merugikan kedua-duanya. Namanya juga tebak lotere hehehe….siapa yang tahu….
Saya pribadi menyatakan bahwa saya mendukung perencanaan kenaikan upah minimum berdasar kerangka peningkatan kesejahteraan para pekerja. Itu yang harus dilakukan negara sebagai fasilitator, sebab saya yakin negara bukan bandar tebak lotere.
Sudahlah, bila anda suka heboh dengan ramalan, saya punya saran. Mendingan anda bikin usulan perencanaan atau roadmap atau metode forecasting yang bisa untuk meramal kenaikan upah minimum beberapa tahun ke depan, dariada meramal kiamat. Itu pasti akan berguna bagi para pekerja untuk merencanakan ekonomi keluarganya, dan membantu bisnis untuk merencanakan anggaran ke depan. Itu jauh lebih berfaedah daripada menebak kiamat.