Menjadi lebih dari sekedar riak-riak ombak….

Tema klasik negeri kita dalam minggu ini adalah memaafkan.

Saya rasa itu tema klasik yang sangat membosankan. Bukan berarti tidak penting, karena memang itu tema penting. Tapi tetap saja membosankan. Mengapa? Karena saya melihat bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia, kita hanya minta maaf karena memang ‘musimnya’ minta maaf. Sehingga maaf memaafkan hanya menjadi arus utama di media massa, yang mana semuanya mengikuti karena memang sudah sebaiknya demikian.

DSC_3713

Alhasil, kita lihat maaf-memaafkan seperti sandiwara politik elit di media dan juga sandiwara sosial di keseharian kita di hari-hari ini. Pendek kata, ‘maaf’ merupakan tema populer yang bisa dipakai untuk business as usual di hari-hari ini, seperti halnya apapun dikaitkan dengan kasih sayang di bulan Februari. Konsep ‘maaf’  menjadi tema marketing populer.

Nah, ibarat marketing, budaya maaf-memaafkan masyarakat Indonesia bisa dikatakan cuma budaya ‘iklan’ dimana kata maaf adalah catchphrase dari ‘iklan’ bahwa masyarakat kita suka saling memaafkan. Kita baru punya iklan nya, dan belum punya produk sesungguhnya. Maka, yang saya usulkan adalah bahwa dalam suasana maaf-memaafkan ini, mari kita cari sesuatu yang sederhana dan mendasar yang bisa jadi ‘produk’ sesungguhnya dari iklan bertema ‘maaf’ ini.

Usulan saya, produk tersebut adalah keterbukaan dan kedalaman hati untuk menampung beragam hal. Dengan demikian, ‘maaf’ buka hanya jadi riak-riak ombak marketing di hari-hari ini, tapi bisa jadi arus besar yang kuat di samudera kebudayaan negeri ini. Harapan saya, masyarakat kita bisa bertumbuh menjadi masyarakat yang tenang dan dalam bagai samudera, bukan kolam kecil yang penuh riak-riak karena kedangkalannya.

Apa usulan anda?

Advertisement

5 thoughts on “Menjadi lebih dari sekedar riak-riak ombak….

  1. Saat mengatakan maaf, harus benar-benar menyadari arti kata maaf dengan mengikhlaskan dan menyadari bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna, sekalipun Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang terbaik dibandingkan makhluk lainnya. “Berusaha menjadi yang tidak sempurna dari yang tidak sempurna”. Inilah niatan yang melandasi Maaf.

    1. Kalau saya lihat banyak org itu ‘latah’ cenderung untuk ikut2an sj. Akan lebih baik bila maaf itu berasal dr keinginan diri untuk menyadari kesalahan Dan ingin jadi lebih baik lagi. Dgn but kita kan bisa belajar untuk tidak melakukan kesalahan bodoh yg sm lg.

      1. Ya, pada dasarnya saya sepakat dengan teman-teman. Maaf seakan ter’obral’ sebagai bagian dari kesopan-santunan, sehingga maknanya hilang ditelan rutinitas penggunaannya dalam ‘basa-basi sosial’. Ya sebenarnya tidak apa-apa, asal makna reflektif dari kata maaf itu tidak dilupakan.

  2. Kalau menurut saya minta maaf dan memaafkan itu sama-sama sia-sia.

    Logikanya begini:

    Kalau sengaja, untuk apa minta maaf? Bukankah kesia-siaan belaka belaka, sudah salah, masih berani minta maaf seakan itu hal yang bisa ditarik kembali.

    Kalau tidak sengaja, minta maaf pun sebenarnya tidak berguna, toh itu bukan murni kesalahan seseorang semata.

    1. Hehehe…..ya sebenarnya maaf bukan soal ucapan, tapi kesadaran oleh si pelaku atas dampak tak layak dari perbuatannya, sengaja atau tidak. Itulah poin yang saya coba angkat, bahwa maaf itu bukan soal ucapan, tapi refleksi dan kerendahan hati mengakui apa yang belum layak dari diri kita sendiri.

      Kalau sengaja, ya tentunya jelas mudah dipahami bagaimana refleksinya, kalau tidak sengaja, maka yang perlu direfleksikan adalah ketidaktahuan atau ketidaksadaran atas apa yang dilakukan.
      Dan, mengucapkan maaf atau tidak hanyalah tindaklanjut dari refleksi itu.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s