Kaki tak terayun, tak perlulah mulut berbuih

Mengayunkan kaki dan mengangkat tangan memang lebih menghabiskan energi ketimbang membuka mulut. Saya pikir inilah mengapa sehari-hari kita lebih mudah berpolemik dan beradu kata, daripada beradu langkah menyelesaikan masalah.

Coba lihat dalam sebulan terakhir, kita melihat media massa dan media sosial dipenuhi dengan polemik kata-kata. Setidaknya ada tiga yang saya catat, yaitu kampanye hitam pra pilpres, hitung cepat hasil pilpres dan konflik Gaza-Israel. Ketiganya adalah masalah riil, saya setuju. Tanpa ragu. Bahkan, saya sepakat ketiganya adalah masalah-masalah besar yang kita tidak semestinya menutup mata dan menganggap tidak ada.

Polemik kampanye hitam berputar soal diri masing-masing capres, yang asal muasalnya adalah semangat menyediakan informasi bagi publik sebelum memilih. Namun, seiring berjalan, malah menjadi polemik yang ruwet sekali, sehingga terjadi polarisasi emosional antar kedua kelompok pedukung capres, dan kelompok ketiga yang menyatakan tidak memilih keduanya tapi turut bikin keruh juga.

Seiring argumentasi makin berbuih, semangat mengkritisi para capres malah lebih menjadi bahan bakar turbo dukung-medukung secara fanatis. Jadinya, bukan lagi soal informasi yang benar, tapi malah perang mulut yang mendekati hooliganisme sepakbola Inggris hehe….

Begitu masuk hari pemungutan suara, pendulum polemik berayun pada siapa pemenang berdasar quickcount alias hitung cepat lembaga survey. Berkat saling klaim sebagai pemenang berdasar lembaga survey, maka perdebatan berbuih kembali soal hitungan mana yang kredibel. Dan seperti biasa, tujuan survey yang aslinya hanya untuk prediksi malah mendapat bahan bakar turbo, melesat menjadi polemik bermacam-macam. Padahal, yang penting adalah bagaimana semua komponen bertindak nyata untuk memastikan perhitungan suara berjalan jujur.

Begitu polemik quick count sudah agak dingin, sekarang giliran polemik Gaza-Israel naik daun di media massa dan media sosial. Lalu muncul perang pembuktian dan perdebatan tentang siapa yang harus dibela. Bergeser dari akar masalah utama yaitu konflik yang tiada henti yang disponsori oleh kekuatan-kekuatan besar di dunia ini, malah masyarakat Indonesia heboh sendiri. Heboh, tapi tidak satupun tindakan nyata dilakukan untuk menghentikan konfliknya.

Saya senang masyarakat kita makin terbuka dengan apa yang terjadi, tapi juga agak prihatin karena budaya kita dalam merespon masih reaktif saja sedari dulu. Reaktif, tidak melihat dengan jernih apa masalah sesungguhnya, dan dengan cepat bikin komentar-komentar yang mudah jadi bahan bakar polemik. Reaktif, dengan komentar dan pendapat-pendapat warna-warni, tapi tidak terlihat langkah nyata.

DSC_5597

Harus saya katakan, masyarakat kita makin dewasa karena separah apapun polarisasi, tidak terjadi perilaku massa yang agresif. Namun, tidak berarti kita boleh lupa dan tak mawas diri. Polemik antara pendukung capres lebih ruwet dan emosional daripada interaksi antara kedua capres. Polemik antara pendukung hasil quick count lebih pelik daripada proses perhitungan riil di KPU. Polemik di media sosial soal Gaza dan Israel lebih ramai dengan bumbu soal siapa dukung siapa, agama apa dengan agama apa. Padahal, yang namanya konflik kemanusiaan ya tetap penting untuk diselesaikan.

Artinya, energi mulut kita untuk berkomentar lebih bertenaga, daripada energi untuk mengayunkan kaki melangkah ke depan dan benar-benar menyelesaikan masalah yang masih kalah jauh.

Jadi, saran saya, sudahlah, tidak usahlah berkomentar terus-menerus. Kalau bisa, lakukan penelitian factual untuk membuktikan latar belakang capres. Kalau bisa, awasi semua tahapan perhitungan suara di lingkungan anda. Kalau bisa, ikutlah berkontribusi menghentikan konflik di Palestina, Irak atau wilayah manapun di dunia ini. Sekiranya itu tidak memungkinkan, paling tidak, jangan bikin keruh media sosial dan forum-forum lain.

Setidaknya, bila kaki kita tak mampu melangkah jauh, kita masih bisa menjaga agar mulut kita tidak berbuih dan membikin keruh. Mari terus bertumbuh menjadi masyarakat yang lebih dewasa.

 

 

 

 

Advertisement

2 thoughts on “Kaki tak terayun, tak perlulah mulut berbuih

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s