Setiap diskusi harus punya kesimpulan. Setiap analisis harus menuju ke sebuah rekomendasi. Setiap proses brainstorming harus menghasilkan ide. Setiap negosiasi harus ditutup dengan sebuah deal.
Ini merupakan tantangan manajemen yang kerap dihadapi di era masyarakat yang sangat demokratis tapi senderung terbelah ekstrim seperti saat ini. Sebagaimana kita lihat di media sosial, kebebasan berpendapat saat ini merupakan hal yang sangat biasa, dimana banyak orang sangat merdeka dalam berpendapat. Ini termasuk saat pendapat mereka sebenarnya tidak didukung oleh fakta atau argumen yang faktual, jelas dan solid.
Kalaupun argumen yang ada solid, tetap saja tidak mudah untuk mencapai kesepakatan dan kesimpulan. Ini karena semangat yang menjiwai masyarakat masa kini adalah kebebasan beraspirasi, yang disertai dengan kecenderung meng-advokasi atau membela pandangan tertentu sehingga mudah terjadi keterbelahan atau polarisasi pendapat.
Di saat inilah peran wasit yang bisa mengambil keputusan saat perbedaan dan argumentasi menjadi berlarut-larut dan melebar kemana-mana, menjadi makin diperlukan. Namun, wasit dalam artian ini bukan lah perna selayaknya hakim, yaitu pihake eksternal untuk menjadi penengah.
Justru yang dibutuhkan adalah pengaturan peran di dalam internal tim yang berperan sebaagi pemecah kebuntuan atau tie breaker. Peran ini adalah bagian dari mekanisme manajemen pengambilan keputusan, dimana tie breaker harus berfungsi saat argumentasi atau eksplorasi pilihan-pilihan telah menjadi tidak jelas, melebar tidak karuan dan terpolarisasi tanpa konklusi.
Semua proses harus punya konklusi, dan ketika proses terasa tidak jelas, perlu ada tie breaker untuk memecah kebuntuan!