Minggu lalu, ada dua konser yang saya hadiri. Yang pertama konser jazz quartet Yuri Honing dari Belanda, lalu Kenny G dari Amerika. Itu bagian informatifnya…..dan saya nggak ada niat memberikan reportase tentang konser. Saya hanya ingin menulis bebas, dimulai dari satu kata: saxophone.
Saya suka mendengar saxophone. Yang soprano asyik karena kelembutannya, yang tenor asyik karena kemantapannya. Apalah istilah teknisnya, saya tidak begitu peduli, karena toh saya tidak bisa bermusik. Yang penting buat saya, saya suka saxophone, dan…..baik Yuri Honing dan Kenny G adalah pemain saxophone. Dan kedua konser itu punya aroma tersendiri 😉
Yuri dan jazz quartet-nya memainkan komposisi jazz yang sangat ekspresif dan eksperimental, tapi masih cukup enteng untuk didengar…..yah bukan heavy jazz lah menurut saya. Nah, tapi sebelah saya jelas nggak sepakat hahahaha……karena sepanjang konser, sekelompok anak muda (lebih muda dari saya maksudnya :-). ) sangat sibuk dengan blackberry-nya dan hampir tidak memperhatikan stage sama sekali sepanjang pertunjukan.
Permainan Yuri dan quartetnya dirajut dalam harmoni antara saxophone dan bass yang diiringi oleh piano dan drum. Bagi yang belum tahu, yang saya maksud dengan bass disini bukan gitar bass tapi bass yang berbentuk biola besar itu hehehehe….. Saya suka sekali ketika saxophone dan bass membentuk rangkaian perasaan meliuk-liuk di benak saya…dan bagaimana piano dan drum membuat ekspresi mengambang dalam hati.
Dalam salah satu lagunya, sebuah komposisi dari Brazil yang saya lupa judulnya 🙂 …… ekspresi mengambang itu memberi beat-beat yang membuat kaki dan jari saya yang gelisah menari. Rasa macam ini pula yang muncul ketika saya mendengar permainan piano ‘gila’ Jamie Cullum atau petikan gitar dramatik I Wayan Balawan. Yuri dan kawan-kawan memberikan nuansa yang demikian, walau dalam ritme yang lebih tenang dalam gejolak-gejolak implisit. Paling juga itu yang bikin ‘tetangga-tetangga’ sebelah kanan saya nggak connect dengan musiknya……Saya sih mikirnya, ngapain juga mereka di situ hahahaha……
Tapi ini kata kuping saya, yang memang suka dengan bunyi saxophone. Mungkin orang-orang lain di ruangan lebih mendengarnya sebagai piano yang diiringi saxophone. Atau ada juga yang mendengarkan petikan bass-nya saja. Saya jadi ingat ketika kuliah S2 dulu. Seorang profesor, Don Comstock, mengajarkan proses belajar reflektif melalui jazz. Jadi isi kelasnya adalah mendengarkan musik jazz (yang didominasi drum, dan dimainkan anak laki-laki Don 🙂 ). Waktu itu dia bilang begini ke semua: “Coba cari alat musik apa yang mengiringi musik apa”. Yah, kalau anda akrab dengan jazz, mungkin anda bisa tebak, jawabannya agak rumit. Gampangnya, jawabannya adalah: semua saling mengikuti dan diikuti.
Jadi bagaimana permainan Yuri dan kawan-kawan? Yah nggak tau juga…..kalau saya sih suka. Tapi apakah masuk ke telinga banyak orang……maka respon saya: Yang jelas permainan mereka adalah untuk mereka, dan mungkin bukan untuk banyak orang… 😉 Pada tingkat tertentu, musik itu seperti makanan-makanan eksotik…..enak tidaknya tergantung kemampuan mencernanya hehehehe…..
Nah, Kenny G-nya gimana dong?
Kalo ini lain :-). Kenny G sangat piawai menyisipkan permainan saxophone-nya ke dalam alunan yang populer dan easy listening. Dia memang memainkan untuk banyak orang. Musiknya adalah untuk beragam kuping. Macam jazzy-nya Michael Bubble lah. Komposisinya riang dengan sesekali hentakan bersemangat. Dia tidak mellow seperti alunan bossa, tapi juga tidak bergaya heavy jazz eksperimentalis. Tapi permainan saxophone merupakan unjuk teknik yang luar biasa, dan circular respiratory-nya itu….
Bagi yang belum tahu, Kenny G itu memainkan saxophone-nya dengan cara meniup dan menarik nafas secara bersamaan terus menerus. Itu yang disebut circular respiratory. Ini mengingatkan saya tentang postingan saya tentang multitasking baru-baru ini. Jangan-jangan, multitasking itu bisa sampai tingkat reflek fisik, dan circular respiratory ini contohnya hehehe…….Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan. Dia punya teknik fisik yang bagus bagai atlet, dan dia menuangkan dalam karya seni yang halus dan mudah dicerna. Dia membuat karya yang mudah dicerna, melalui teknik yang berat.
Bagaimana penontonnya? Jujur, penonton konser Kenny G lebih merupakan masyarakat awam penikmat musik populer. Jadi, mungkin mereka sebenarnya menonton karena Kenny G adalah pemain saxophone bule yang populer. Saya masih ingat ketika namanya melejit sekitar 20 tahunan lalu karena dia memainkan soundtrack film Dying Young yang dibintangi Julia Roberts dan Campbell Scott. Jadi, saya yakin bahwa lebih banyak macam kuping di konser itu. Mulai dari kuping yang suka mengulas heavy jazz hingga kuping yang tidak bisa membedakan mana pop mana dangdut hehehe….Dan, memang banyak pula wajah yang terkesan awam banget dan sibuk sendiri saat menonton konser itu 😉
Bagi saya, permainan Kenny G kemarin adalah ekspresi estetik melalui komposisi saxophone yang easy listening. Plus karena saya ingin mendengarkan hits terbarunya, Heart and Soul. Lagu ini ada di album terbaru dia, dan kata dia, ini tentang warna-warni Seattle dimana dia lahir dan hidup hingga lulus kuliah. Bagi saya dan Felicia, Seattle juga punya kisah tersendiri. Maka, saya ada di situ karena 3 kata: saxophone, Seattle dan Heart & Soul.
Dan bagi orang lain, pasti ada cerita berbeda yang membuat mereka ada di raung konser itu. Mulai dari suka Kenny G, atau suka artis bule, atau karena beli pakai kartu kredit bank tertentu bisa pay one for two hehehehe…..
Baik Yuri Honing amupun Kenny G, keduanya merupakan musisi yang istimewa. Mereka contoh tentang apa yang saya angkat dalam posting sebelumnya tentang orang yang distinctive. Tapi ini bukan semata soal menjadi distinctive dalam memainkan alat musik. Untuk itu sih, kedua saxophonist itu tidak diragukan lagi. Ini juga soal apakah yang datang mendengar bisa tune-in dengan musiknya, alias apakah market-nya ngerti nilai musiknya dan sungguh bisa merasakan estetikanya. Ini soal kuping. Lalu saya jadi berpikir lagi, apa iya orang datang sepenuhnya karena musiknya? Kalau benar ini soal kuping, lha kok ada juga orang yang nggak connect dengan musiknya, tapi tetap datang untuk tidak menikmatinya?
Saya malah mikir lagi, jangan-jangan ini bukan cuma soal kuping 😉
Posted with WordPress for BlackBerry.
Wao… Tulisannya sir bnr2x menarik… Baik konten, sambungan antar kalimat… Membuat saya ingin mencoba mendengar sendiri.walaupun saya bukan tipe yg terll mengerti musik gt2x.. Tp sir knp buat postingan yg sgt berbeda dgn sblmn2xnya? Waktu saya baca tulisannya pak james saya merasa byk insight yg saya dpt.. Tp susah untuk menggambarkan insight trsbt.. Mnrt pak james hal trbt Bnr2x insight atau cuma pengetahuan? Ada ga cara buat supaya qt aware dgn insight apa yg sbnrnya qt dpt..thx ya.
Kadang insight memang begitu, terutama yang sifatnya intuitif. Kemunculannya implisit tapi subtle (samar tapi terasa jelas). Jadi masalahnya adalah kita tahu ada insight, tapi kesulitan membahasakan.
Insight merupakan bentuk pengetahuan. Tapi tidak seperti pengetahuan eksplisit yang kamu baca di berbagai sumber, insight biasanya bersifat meta learning, atau hasil belajar atas sebuah pengetahuan. Karena itu, meta learning nggak mudah dibahasakan, bila kita tidak cukup kebahasaan seputar insight itu.
Jadi, banyak membaca beragam pengetahuan yang akan membantu kita membahasakan insight yang kita temukan.
Hmm.. saya jadi analisis yang diajukan Kant soal “anatomi keindahan”.
1. persepsi indah muncul dari kemurnian motivasi, atau apa yang kant sebut sebagai ketanpakepentingan. Kita bisa menilai sesuatu sebagai indah, karena dengan kemurnian motivasi, kita melihat benda tersebut, dan merasa tersentuh olehnya. Dengan kata lain sesuatu menjadi indah karena kita melihatnya tanpa kepentingan dan keinginan apapun.
2. Bagi Kant keindahan itu universal, atau setidaknya punya klaim universal. Memang selera indah itu miliki setiap orang. Namun orang2 yang sama pasti juga ingin meyakinkan orang lainnya, bahwa sesuatu yang ia lihat itu indah, dan dalam hatinya, ia ingin orang lain memiliki pendapat yang sama. Oleh karena itu muncul profesi kritikus seni, dan ada perdebatan yang cukup keras di dunia seni tentang konsep keindahan. Maka walaupun keindahan itu berbeda untuk setiap orang, namun setiap orang ingin persepsinya tentang keindahan menjadi bagian dari pendapat umum. Singkat kata setiap orang ingin versinya tentang keindahan menjadi universal.
3. Keindahan muncul dari pikiran manusia. Maka keindahan adalah suatu keniscayaan, dan bukan suatu pilihan. Kita bisa melihat sesuatu sebagai indah, tanpa punya alasan untuk menjelaskannya, karena keindahan adalah aktivitas keniscayaan dari akal budi manusia. Bahkan kita bisa melihat tumpukan sampah sebagai indah, walaupun kita tidak tahan dengan baunya. Kita tidak punya pilihan dalam hal ini.
4. Yang keempat ini agak rumit. Obyek seni yang menghasilkan keindahan adalah sesuatu yang tampaknya bertujuan, namun sebenarnya tidak bertujuan apapun. Kant menyebutnya seni sebagai purposive without purpose. Suatu obyek keindahan seringkali tampak lahir dari sebuah perencanaan. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, obyek keindahan itu terbentuk begitu saja, dan tidak memiliki tujuan akhir untuk menjadi indah. Keindahan adalah kesan yang muncul dari mata yang melihat, dan bukan dari pikiran sang pembuat. Di titik ini kita menemukan paradoks, semakin kita ingin sesuatu itu menjadi indah, semakin keindahan itu tidak tampak, karena keindahan tidak dapat direncanakan.
Kant sebenarnya mau mengatakan, bahwa keindahan pun memiliki aspek universal, dan tidak semata selera subyektif masing2 saja.
Hmm.. sori kebanyakan ngomong Kant. Ini lagi persiapan ngajar soal filsafatnya dia soalnya. hehehehe….
Hahahaha…..Kantianis sejati rupanya 🙂
Ya saya sepakat bahwa seni dan estetika itu sesuatu yang secara universal adalah hal yang subyektif. Semua sepakat ada yang namaya keindahan, tapi betuk mana yang menimbulkan sensasi keindahan itu berbeda menurut setiap orang. Yang universal adalah rasa estatiknya, tapi sumbernya dari mana bisa jadi cerita yang beragam.
sumbernya bisa beragam. Namun anatomi rasa estetik itu pun juga bisa jadi cerita yang seru dan beragam. Beberapa pemikir dalam sejarah bahkan mengatakan, bahwa rasa estetik adalah jalan tol menuju pengalaman akan yang transenden, jauh melampaui kemampuan nalar, karena menyentuh dasar eksistensi manusia itu sendiri. Tak heran banyak orang berkata, musik adalah bahasa universal, atau lebih tepat lagi seni. Mungkin setiap upaya mediasi konflik harus diawali dengan semacam pagelaran seni yang menciptakan rasa estetik, supaya telinga dan hati lebih terbuka, sebelum negosiasi dilakukan.
Saya mau ikut comment tentang konser Yuri Honing aja deh soalnya yg Kenny G gak ikut nonton.
Saya setuju kalo musik itu bagian keindahan yang punya sifat universal tinggal masing2 channel kuping aja yang memaknainya. Tentang musik Yuri Honing, terus terang channel kupingku kadang nyambung, kadang juga ilang. Ada beberapa part dari alunan musiknya yang membuatku connect tapi ada juga yang membuatku lose dan bersandar pada kursi sambil mikir “kok mereka (Yuri dkk) bisa begitu menikmati dan menghayati permainannya ya, sampai segitunya ekspresi mereka. Penonton yang lain juga serius banget ngeliatnya”. Bagiku musik Yuri terkesan heavy listening karena pada dasarnya aku suka musik jazz yang easy listening, ya sekelas Jamie Cullum dan Michael Bubble lah. Buatku easy listening music lebih inspire karena bisa membuat syaraf2ku lebih relaxed sehingga membuatku bisa “melihat” dengan jernih.
Jadi menurutku ini lebih masalah channel kuping dan sambunganya ke syaraf2 dalam tubuh. Bisa jadi bagi Yuri dkk dan beberapa penonton yang serius banget ngeliat, begitu tune-in dengan musiknya sehingga mempengaruhi syaraf2 mereka dan muncul dalam bentuk ekspresi bermusik dan perhatian penuh terhadap musik yang dimainkan. Bagi yang gak nyambung channel-nya alias gak tune-in ya akhirnya pada sibuk dengan kegiatan sendiri, mulai dari main hp, foto2an, ngobrol, atau sibuk makan snack hehe..
Hahahaha…….betul…..betul! Ini soal koneksi.
Saya pikir bukan hanya otak dan pemikiran yang ditentukan framework. Kalau soal pemikiran, framework cocok ya nyambung, kalau tidak cocok ya nggak nyambung. Seni pun ternyata memiliki semacam ‘framework rasa’, walau istilah framwork tidak relevan disini. Tampaknya ini yang memang menentukan pola koneksi musik, dan seni umumnya, yang merupakan integrasi antara kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
Hehehe.. setuju banget soal saxophone n soal koneksi..
Tambahan dari sudut pandangku sih begini.. Setiap orang cara menikmati musik itu beda.. Ada yang menikmati beatnya (misal bossas, dll..) karena bisa bikin bergoyang mengikuti irama..
Ada juga orang yang menikmati musik jazz yg easy listening karena suka melodinya yg unik tapi “masih bisa didengar”..
Ada juga yang menikmati konser jazz dengan mengagumi pada teknik yang luar biasa rumit dari pemainnya, sehingga kagum melihat jari2 yang menari-nari pada alat musik atau kagum melihat teknik respiratorynya.. Nah kalau yg tipe ini, mau musiknya “nggak bisa didenger menurut awam”, tapi kalo skill pemainnya outstanding pasti dia tertarik.. 😉
Ada juga yang menikmati konser jazz karena melihat artisnya yang terkenal dan mungkin tampan atau cantik dan punya karisma untuk memikat perhatian..
Kalau saya pribadi sih selain menikmati beatnya, juga menikmatinya integrasi-integrasi alunan nadanya yang walaupun nada dan chordnya “miring-miring” tapi somehow bisa bikin tenang n serasa melayang.. haha.. 🙂 Justru kalau terlalu mencermati nada per nada kadang bisa bikin kepala pusing.. hehe..
Kalau dari stimulus2 yg saya bilang di atas, menurut saya ini memang bukan hanya soal kuping.. hehehe…
Toh pastinya tidak banyak orang yg bisa memahami makna dan alunan dari setiap lagu yg dimainkan dalam konser itu, especially musik jazz… tapi toh banyak banget orang yang menikmati.. 🙂
But, however, apa pun itu, ada something yang menarik seseorang utk dateng n liat konser.. So.. sisi baiknya adalah kita bisa attract people buat dateng di sebuah konser dengan menggunakan berbagai aspek dan sudut pandang juzt in one packaging concert.. hehe..
Jadi sebenarnya semuanya adalah pengalaman estetik pribadi. Dan sebuah konser adalah contoh dimana beragam pengalaman estetik pribadi itu bisa terjadi secara beriringan dalam sebuah momen di sebuah tempat yang sama.
Menyitir pendapat Reza, bahwa seni adalah pengalaman transenden, maka saya jadi melihat bahwa konteks sosial adalah sebuah desain dimana beragam individu bisa mengalami pengalaman individual secara beriringan dalam momen yang sama. Ini sama dengan beragam orang bekerja di sebuah organisasi, beragam orang berdoa di tempat ibadah, dan bahkan juga beragam orang hidup di sebuah planet yang sama yaitu bumi.
Yang sangat menarik disini adalah bahwa sesuatu yang begitu universal yang bisa dialami beragam orang itu sejatinya sesuatu yang sangat individual 🙂 Namun, sekalipun individual, ternyata bisa didesain untuk terjadi dalam sebuah momen universal dimana setiap orang bisa mencicipi irisan-irisannya sendiri.
Kita menemukan yang universal di dalam yang partikular, dan sebaliknya. Itu dialektika klasik di dalam metafisika, dan kiranya juga bisa digunakan untuk memahami pengalaman estetik.
Setuju!! Dan melalui itulah kita bisa melihat indahnya hidup secaa keseluruhan, dan bersyukur atasnya 😉