Dalam film The King’s Speech, ada bagian yang sangat menarik untuk pikirkan. Bagian itu adalah saat Raja George VI yang diperankan Colin Firth merasa sangat terpukul mengetahui bahwa speech therapist-nya, Lionel Logue (diperankan oleh Geoffrey Rush), ternyata tak punya ijazah atau kredensial apapun. Bagi yang sudah menonton film ini tentu tahu bahwa bukan tiadanya ijazahlah yang membuat sang raja jengkel, tapi kenyataan bahwa Lionel yang tak berijazah ini sudah membuktikan keahliannya secara nyata pada diri sang raja.
Jadi, apakah Lionel Logue memiliki keahlian atau tidak? Bila ya, tapi dia kan tidak berijazah?
Sumber daya manusia (SDM) adalah hal yang tidak sesederhana yang kita pikirkan. Sebagai orang yang bergelut dalam bidang SDM dan juga mengajar, saya merasakan bagaimana sesungguhnya tren perkembangan SDM kita saat ini. Tentu saya tidak merasa apa yang saya lihat adalah benar dimanapun, namun saya tetap merasa bahwa ada pola-pola yang menarik. Salah satu yang menarik itu adalah fenomena ‘pertukangan’.
Seorang kenalan pernah bercerita tentang sekilas sejarah profesinya sebagai arsitek. Arsitek berasal dari architecton, istilah dalam bahasa yunani yang berarti ‘tukang utama’. Bisa diartikan bahwa arsitek adalah pimpinan para tukang, dimana sang arsiteklah yang menerjemahkan sebuah visi ke dalam desain bangunan atau lanskap. Desain inilah yang menjadi panduan bagi para ‘tukang’, dalam hal ini para teknisi dan operator, untuk mewujudkan bentuk konkretnya.
Tapi, kalaulah kita sedikit mendalami omongan kenalan saya di atas, maka kita akan melihat bahwa perwujudan sebuah karya sistemik seperti desain bangunan selalu merupakan hasil dari dua hal. Pertama, penerjemahan dari sebuah visi menjadi rancangan semi konkret. Kedua, proses aktualisasi rancangan semi konkret itu menjadi sesuatu yang berwujud dan tangible.
Yang pertama adalah pola kerja para ‘tukang utama’, dan yang kedua menunjukkan peran ‘tukang’ pada umumnya.
Ini berlaku tak hanya dalam pembangunan dan profesi arsitektur. Pola yang sama juga terjadi pada hampir semua pekerjaan lain, dan mutlak berlaku dalam pengelolaan organisasi. Dalam semua pekerjaan, pasti diawali dengan penerjemahan visi menjadi rencana aksi semi konkret dalam jangka waktu tertentu, yang dilanjutkan dengan penerjemahan dalam implementasi detil setiap bagian dari rencana itu.
Disinilah saya rasa pengembangan SDM di Indonesia menghadapi tantangan besar. Saat ini, kita sepertinya kehilangan fokus karena terlalu banyak fokus. Saya melihat banyak orang belajar information and communication technology (ICT), tapi tidak paham esensi komunikasi. Banyak orang belajar desain visual, tapi tidak menghayati estetika. Banyak orang bicara mengelola SDM, tapi tidak paham people management dan perilaku manusia. Banyak orang yang banyak maunya, dan akhirnya tidak jelas apa maunya dan apa kemampuan sesungguhnya.
Cara kerja SDM macam ini membuat dunia kerja kita penuh orang-orang dengan atribut yang seakan meyakinkan; dengan ijazah, sertifikasi dan embel-embel lainnya. Tapi, apakah mereka sesungguhnya bakat (talent) yang tepat dengan semangat (passion) yang cukup untuk berkembanga dalam pekerjaan itu? Saya ragu. Jadinya, yang kita temukan adalah ‘tukang’ pada umumnya, dengan kompetensi umum pula. Tapi, tanpa talent dan passion yang sesuai, sulit rasanya mereka akan mampu berkembang menjadi ‘tukang utama’. Singkat kata, banyak orang belajar banyak knowledge dan skill; tapi tidak jelas bagaimana mereka akan menggunakan dan mengembangkan itu semua ke tingkat yang lebih tinggi.
‘Tukang utama’ adalah personifikasi tingkat keutamaan dalam kompetensi seseorang. Ini hasil dari perjalanan eksplorasi kompetensi sebagai wujud kualitas diri. Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, ini tidak bisa diperoleh melalui kursus, akademi atau ujian sertifikasi. Keutamaan kompetensi dibangun melalui proses mengaplikasikan kompetensi dalam dunia nyata. Keutaman ini muncul melalui proses perubahan dari ‘tukang’ menjadi ‘tukang utama’.
Confucius/Gongfuzi mengatakan bahwa belajar tanpa berpikir adalah membuang tenaga, berpikir tanpa belajar adalah berbahaya. Banyak dari kita yang belajar melalui berbagai sumber, mulai dari sekolah, kursus, buku hingga membaca di internet; lalu kita telan tanpa merefleksikan dengan pengalaman sendiri. Inilah belajar tanpa berpikir, dan ini akan membuat kita selamanya akan menjadi ‘tukang’ pada umumnya.
Sebaliknya, banyak pula yang suka berpikir begini dan begitu tanpa belajar dari sumber yang cukup beragam; dan menjadi ekstremis yang menganggap solusi-solusi over-simplistik perlu dipaksakan pada dunia. Ini adalah orang-orang yang merasa dirinya adalah ‘tukang utama’ tanpa menyadari bahwa untuk menjadi tukang pada umumnya pun mereka belum tentu bisa.
Dunia dibangun oleh para ‘tukang utama’ yang menerjemahkan visi dan nilai menjadi desain, dan para ‘tukang’ yang menerjemahkan menjadi dunia yang kita kenal sekarang. Dunia tak bisa dibangun dari ‘tukang utama’ hasil karbitan ala mi instant dengan bungkusan ijazah; atau melalui ‘tukang-tukang’ yang penuh khayalan fantastik tapi tak mampu melakukan hal-hal kecil yang penting dalam keseharian kerjanya. Ini perlu jadi refleksi bersama bagi kita semua.
Posted with WordPress for BlackBerry.
Like this artikel pak. Tp y it’lah kenyataan hidup skr pak. Byk org kul just for ijazah tp gk tw sebnre ap yg d pel selama kul n akhire wkt kerja pun jd byk yg gk bnr. Kadang tak pkr2, lbh pinter org gk kul krn dy byk pengalaman kerja n tw gmn praktek nyatae, bkn sekedar teori. Drpd yg kul tinggi2 tp gk ngerti ap yg d pel..
Hehehehe…..tapi yang namanya kuliah itu sebenarnya, harus banyak konsep maupun prakteknya. Artinya, kuliah yang benar itu adalah konsep yang kuat dan penerapan konsep yang selalu up-to-date dengan perkembangan dunia nyata.
Di Indonesia, ini memang masalah, tapi jangan mengartikan secara generalisasi bahwa namanya kuliah tidak ada gunanya. Kuliah yang benar juga masih ada kok, walau jarang đŸ™‚ Justru problemnya, Steph, banyak orang sekarang maunya kuliah yang nggak pakai baca, ngga pakai mikir, ngga pakai praktek, dan lulus mudah. Ini yang bikin rusak.
I think knowledge, skill, dan tahu apa keinginan pribadi dan punya tujuan kedepan itu harus seimbang. đŸ˜‰ supaya mns bisa beraktualisasi diri dan mencapai happinessnya
Yup…yup….I agree, Sweetie đŸ™‚
Setuju, kalo k4-nya hrs imbang..^^ Tp kenyataannya, skr byk org yg cm tw knowledge tp gk pny skill.. Dan ironisnya, org yg pny skill tp tw knowledgenya dr tmpt yg informal, d anggap gk ada ap2nya, d banding yg mendapat knowledge d tmpt formal.. Jadi seperti apa pun mrk berusaha n pny goal masa dpn, tampaknya hal tsb mustahil utk d capai..
Kalau menurutku, yang informal mungkin lebih berat persaingannya, tapi bukan mustahil. Banyak yang sukses juga kok đŸ™‚
Yupz, btl it pak.. Semua org skr suka yg xpres2 sh pdhl yg bwt kul ato pend jadi mahal kn prosesnya it..
Betul, prosesnya itulah yang penting. Tapi itu yang sepertinya lagi jatuh harga đŸ˜‰
Kalo gt d naikin lg aja harga pasarannya pak. Mulai dr hal yg kecil ky kelas tnd..^^ tnd loh pak, bkn kapita. Hehe..^^v
Hahahaha……. đŸ™‚
Not everyone be able to learn through their own experiences, but anyone who success to learn from his/ her own experiences will get creativity, capacity, and sustainability to change the world.
Seorang Arsitek yang benar biasanya belajar dari pengalamannya di berbagai “Project” yang di tukangi. Setiap “project” pasti punya karakteristik tersendiri, sesuai dengan keinginan owner. Hal ini juga sama dengan Organisasi. Setiap organisasi pasti punya karakteristik, budaya, dan atribut organisasi lainnya tanpa memandang besar atau kecil skala organisasi tersebut. Dalam organisasi, “project” dapat saya artikan sebagai scope pekerjaan yang harus dikelola SDM yang bertanggungjawab atasnya. “Arsitek” saya artikan sebagai BOSS di organisasi tersebut. untuk dapat menjadi boss yang baik, dia harus punya “seni” kepemimpinan yang “berestetika tinggi”, ibaratnya adalah seperti Leonardo da Vinci dengan karya-karyanya yang melegenda.
Selanjutnya, dia harus punya misi & visi akan project yang dia kelola, untuk menentukan arah organisasi dan menjamin sustainability nya. Seorang Boss juga harus bisa memimpin, mengarahkan, bekerjasama, dan mendidik anak buahnya agar bisa melanjutkan kepemimpinannya setelah dia “turun tahta”.
Kalau soal ijazah, yang notabene masih jadi andalan buat cari kerja, terus terang tidak menjamin skill seseorang. Ijazah dengan nilai tinggi (cum laude) hanya mencerminkan kemampuan seseorang untuk belajar dan memahami teori dari kampus, tetapi keahlian sebenarnya dari seseorang sebagai “tukang” hanya bisa didapat dari pengalaman dan pembelajaran yang terus menerus.
Permasalahannya cuma satu:
Maukah kita lebih bersemangat untuk belajar dari pengalaman pribadi untuk menjadi lebih kreatif, lebih berkemampuan, dan lebih sustain?
Yes, I agree. It’s more about how we build from what we have done. Itu sesungguhnya yang esensial dalam pengembangan diri. Tapi seperti katamu, memang itu tantangan, terutama banyak orang yang ingin punya kemampuan hebat melalui proses instan dan tanpa melakukan usaha yang serius đŸ™‚