Kita hidup di jaman web. Hampir segalanya bisa ditemukan di internet. Mulai dari yang sedikit hingga yang banyak. Mulai dari yang remeh yang paling kompleks. Mulai dari cara membikin teh manis hingga membikin bom. Mulai dari menulis diri tentang diri sendiri hingga untuk berkomunikasi dengan orang yang tak dikenal di belahan bumi yang lain sekalipun. Dengan medium world wide web, rasanya segalanya ada melampaui yang bisa kita gunakan.
Tapi medium, sebesar apapun kapasitasnya, punya keterbatasan.
Medium, seperti namanya, hanyalah perantara. Ia menjadi perantara bagi pertukaran informasi, baik dalam bentuk informasi pasif, maupun dalam bentuk interaktif. Tanpa pemahaman konteks mendalam tentang apa informasi yang ditulis atau dituangkan, maka kita bisa tersesat. Tanpa pemahaman atas konteks sebuah tulisan, kita bisa jadi tidak menangkap apa esensi yang hendak disampaikan penulis aslinya. Tanpa pemahaman atas konteks yang digunakan dalam sebuah interaksi, kita bisa masuk ke dalam kebingungan peran.
Dan, di era web di mana begitu banyak hal yang bisa kita akses lewat internet, sangat mudah untuk kehilangan esensi dan menjadi bingung.
Kalau mau jujur, banyak dari kita menggunakan internet untuk mengkonfirmasi pikiran kita secara dangkal. Sumber informasi yang kaya, difilter dan direduksi dan dimodifikasi, agar bisa jadi justifikasi predisposisi yang sudah kita bawa. Ketika kita mencari sesuatu, kita mencoba mencari melalui search engine, dan begitu menemukan secarik artikel digital, kita langsung menyimpulkan. Ini sah-sah saja. Namun ini tidak selalu produktif.
Kadang hanya dengan sedikit membaca tentang sesuatu, kita merasa puas dan sudah paham. Tentu saja, mungkin akan ada yang berpendapat bahwa cara menggunakan web yang benar tidak demikian. Kita seharusnya mengumpulkan sebanyak mungkin sumber digital, untuk kemudian dibandingkan dan dikritisi. Dengan demikian, kita akan mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Tapi, sekali lagi, kalau kita mau jujur, yang terjadi kebanyakan tidak demikian halnya.
Semua mau cari cara instant menjadi ahli, dengan sedikit kutip artikel digital di sini dan presentasi di sana. Dari segi ketersediaan, ini semua bisa diperoleh di web. Saya mendukung sekali hal ini, karena berbagi informasi memungkinkan perubahan terjadi secara lebih masif. Tapi, ketika kita hanya comot sana comot sini tanpa memahami secara utuh, kita menciptakan kedangkalan. Bukannya menjadi makin paham, kita sebenarnya menipu diri, dengan menganggap serpihan-serpihan yang kita kumpulkan itu sudah merupakan pemahaman yang utuh dan mendalam.
Ini baru terasa ketika kita mengambil kesimpulan-kesimpulan dan keputusan-keputusan berdasar proses eksplorasi yang dangkal ini. Kita menghasilkan hasil yang konyol dan tidak esensial. Kita membuat keputusan yang tidak efektif dan tidak punya arah strategis. Kita membuat acara dan program yang tidak jelas manfaatnya. Kita gagal membedakan yang mana investasi, dan yang mana pemborosan. Kita menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang dangkal, dan membuat sistem kerja pun menjadi ‘dangkal’.
Di titik tersebut, kita mengalami kedangkalan sistemik. Ketika kita membiarkan ini menjadi kebiasaan, bahkan kita bagikan ke orang-orang di sekitar kita, maka kita sekaligus menciptakan kedangkalan sistemik. Secara keseluruhan, organisasi kita pun menjadi organisasi ‘dangkal’.
Saya pikir, inilah masa dimana kita semua harus memikirkan ulang apakah organisasi kita berada dalam kedangkalan sistemik ini. Ini bukan soal konsep yang muluk-muluk. Ini soal mengkritisi apakah kita sudah benar-benar paham dengan apa yang kita kerjakan. Apakah kita sudah membuat keputusan berdasar pemahaman yang menyeluruh atas apa yang hendak diputuskan? Lebiha jauh lagi, apakah kita sendiri sebagai individu yang profesional sudah tidak dangkal? Jangan-jangan, kita juga cuma tukang comot sana dan cabut sini , dan tanpa melalui eksplorasi yang medalam, kita sudah merasa ahli dengan serpihan-serpihan itu semua?
Untuk yang terakhir, saya punya alat sederhana untuk memulai self-assessmentnya. Alat itu adalah sebuah pertanyaan: Sudah berapa judul buku yang terkait dengan pekerjaan anda yang sudah anda baca dalam enam bulan terakhir?
wah.. tulisan ini tampak agak emosional James. hehehe… saya sepakat denganmu. Akar dari semua ini adalah ketidakamauan berpikir. Orang menerima tanpa filter. Lalu kemudian mereka berlagak sebagai ahli yang menguasai, padahal hanya berpijak pada satu sumber yang tak sempurna. Memang praktis. Tapi yang dikorbankan adalah kualitas. Orang suka lupa itu.
Hahaha….emosional gimana…nggak lah. Memang aku coba menggunakan nada yang lebih emotionally provocative sih 🙂 Tapi lebih soal teknis ‘provokasi’ saja.
Benar, intinya ini adalah soal kualitas, dimana kualitas terbentuk hanya melalui proses, bukan ‘sulapan’.
Memang demikian pak.. Sekarang ini kuantitas yang di andal2 kan, yang sehingga menutupi kualitas yang sebenarnya… Kelihatan banyak, tapi dangkal.. Bukan sedikit, tapi berkualitas.. Apalagi banyak dan berkualitas… Dalam banyak bidang sepertinya demikian skrg ini…
Hehehe….betul, itu trend yang terjadi 🙂
Sering saya jumpai para Boss yang bertingkah demikian. Mungkin karena sudah jadi budaya, yang namanya Boss itu RAJA. Mau benar mau salah ya tetap saja BOSS.
Disuatu perusahaan X yang ITnya pernah saya kelola, BOSS nya tergolong BEBAL (ini menurut mayoritas karyawan yang bekerja disana). Suka ambil keputusan sembarangan, kalau udah ketauan salahnya, dia balik salahkan orang yang mengerjakan perintahnya. Kalau di ingatkan bahwa keputusannya salah, dia MARAH. Hasilnya? Banyak SDM Bijak yang “Singgah” untuk bekerja dikantor ini, karena antara 3-6 Bulan kemudian pasti “CABUT” karena dapat pekerjaan baru.
Saya ingat tulisanmu bahwa Sistem ekonomi Indonesia masih feodalis. saya rasa ini adalah contoh buruknya. Sekedar informasi, perusahaan tersebut sekarang sudah KUKUT karena proses bisnisnya acak-acakan dan tidak konsisten.
Betul, ini penyakit yang sering terjadi pada orang-orang yang sudah terlena dengan posisinya yang (sementara) di atas.
Padahal, kalau mau sustain dan tetap di atas, ya harus belajar 🙂
Aha!
Aku suka sekali tulisanmu di sini, cara instant memang tidak bs menjamin keberhasilan menyusun sebuah program dan rencana strategis yg sistemik.
Hal ini disebabkan kegagalan mengolah informasi. Ada satu hal yang ingin kutambahkan dalam tulisanmu disini ttg judul buku terkait pekerjaan kita.
Ada satu pengalaman pribadi yg coba ingin kubagikan disini. Satu kali aku menghadapi satu kasus yg cukup pelik, dan aku mencoba browsing di internet hingga hunting buku dimana2. Mulai dr buku2 teoritikal, penulis berdasar pengalaman, hingga jurnal-jurnal penelitian. Alhasil, tidak kutemukan satupun cara untuk mengatasi problem yg kuhadapi di kantor. Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan semua pencarian literatur, dan mulai mengamati masalah yg terjadi. Tidak satupun acuan yg bisa kupakai. Masalah pada akhirnya terselesaikan dengan berbekal pengolahan data dan brainstorming. Dengan sedikit intuisi akhirnya kutemukan satu cara yg tdk pernah kutemukan dalam literatur manapun, cara yg sangat unik.
Dari paparan di atas aku hanya ingin mengatakan bahwa informasi dr hsl pemikiran org lain tidak selalu cocok untuk sgala situasi yg dihadapi. Pengamatan dan analisa yang tajam, serta kreativitas berpikir yg baik dengan berbekal sedikit bisikan intuisi malah justru menjadi pemandu yg cukup handal utk menghadapi masalah pekerjaan maupun hidup kita.
Jadi kalau mau dijawab pertanyaannya bisa kukatakan bahwa buku yg kubaca adalah buku realitas-baik eksplisit maupun implisit. Namun di dalamnya ada banyak sekali sub judulnya.
Benar, yang mau disindir oleh tulisan ini sebenarnya adalah orang-orang yang menelan informasi sembarang dan melempar sembarangan, tapi tidak belajar.
Buku sendiri, seperti juga media web dan lainnya, adalah medium. Buku adalah tulisan pengalaman dan eksplorasi orang lain, serta apa saja yang telah dipelajari dari pengalaman dan eksplorasi itu.
Jadi intinya adalah pada belajar dari esensi pengalaman yang diperoleh dari realitas. Tidak begitu penting apakah itu dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Tidak penting juga apakah itu lewat internet, buku, obrolan komunitas, inspirasi kreatif, atau kebetulan-kebetulan kecil dalam keseharian. Intinya adalah dari belajar esensinya, dan bagaimana esensi itu berubah dari waktu ke waktu dan dari konteks satu ke konteks lain. Ini justru yang jarang dilakukan.
Yup, bagiku justru lebih beresiko ketika kita membaca literatur yang ditulis oleh orang lain sekalipun orang yang sudah sangat berpengalaman, karena pengalaman itu belum tentu cocok dan bukan tidak mungkin diberikan sedikit “bumbu-bumbu penyedap” yang pada akhirnya justru menjebak pembacanya.
Kalau pada akhirnya sama-sama harus mengkaji ulang ya akan jauh lebih baik jika kita belajar dari yang namanya realitas dan pengalaman yang kita rasakan sendiri, karena sangat riil sifatnya dan tidak ada “bumbu penyedapnya” sehingga relatif lebih aman untuk dikonsumsi. Sementara buku, maupun literatur lainnya hanya merupakan additional information atau lebih pas kita sebut sebagai hipotesa bagi kita sendiri.
What do you think?
Saya rasa problemnya bukan pada bumbu penyedapnya, problemnya adalah pengalaman itu sendiri. Ketika buku / literatur ditulis, pastinya dari pengalaman kerja di suatu organisasi, sementara culture organisasi pasti berbeda-beda, dan cara implementasinya pasti akan berbeda di tiap-tiap organisasi, tergantung Culture nya. Saya rasa Buku / literatur lebih pas jika dipakai sebagai studi banding untuk perbaikan performance organisasi, syukur-syukur kalau kebetulan kondisi organisasi yang di ceritakan di buku /literatur tersebut memiliki kemiripan dengan kondisi real organisasi pembaca. Kemungkinannya adalah adopsi dan implementasi proses yang mendukung perubahan existing culture secara sistemik. Kalau nggak mirip ya terpaksa cari cara terbaik melalui konsultasi bisnis dengan para expert. Ada saran Pak?
Aku sih sepakat, segala sesuatu dalam hidup itu perlu dimodifikasi dan diadaptasikan pada setting rill masing-masing. Generalisasi itu ilusi.
Yup memang masalah utamanya bukan pada bumbu penyedapnya, tapi lebih pada si penerima informasinya. Kalau hanya sebagai studi banding saya rasa tidak ada masalah jika ingin menggunakan buku, karena itu cara yang tercepat. Hanya saja kita jangan kemudian mengamini apa yang ada di dalam buku itu dengan mudahnya, karena sekali lagi ini adalah masalah proses pengolahan informasi itu sendiri.
Jika menurut Glenn lebih comfort dengan buku yah go ahead. Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam memandang setiap masalah.
Tapi sekali lagi bagi saya, justru dengan membaca buku sangat rawan dengan informasi yang tidak akurat, karena sekali lagi buku ditulis juga tidak bisa lepas dari subjektivitas si penulis, bukankah pada prinsipnya setiap alternatif jalan keluar yang kita ambil juga sangat subjektif tergantung pada bagaimana kita memaknai masalah yang terjadi. Bahwa jika kebetulan subjektivitas kita sesuai dengan subjektivitas orang lain maka okelah kita maknai sebagai suatu objektivitas yang disepakati bersama.
Mungkin pertanyaan kritisnya adalah begini kira-kira : seberapa besar kemampuan kita untuk memastikan atau menjamin bahwa apa yang ditulis dalam buku itu adalah pengalaman yang benar-benar riil tanpa ada polesannya sama sekali?
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak buku yang ditambahi bumbu-bumbu (supaya laku), sehingga akhirnya isinya menyesatkan. Juga banyak sekali buku yang tidak ada isinya ;-). Ini apalagi kalau bicara di Indonesia.
Tapi sebenarnya banyak buku yang bagus juga kok, hanya memang kita harus tahu bagaimana mengenalinya, bagaimana membacanya dan bagaimana memanfaatkannya.
Aku sepenuhnya setuju bahwa eksplorasi pengalaman merupakan intinya. Apa yang kita peroleh dari medium apapun sebenarnya merupakan bahan kita untuk mengeksplorasi pengalam riil kita. Dari pengalaman riil itulah kita belajar.
Yang sesat saat ini, banyak orang merasa bahwa cukup baca buku, langsung bisa.
Yup, sepakat…yang terpenting adalah selektif dalam menerima informasi, terserah apakah itu dimulai sejak memilih bukunya atau sejak menerima informasinya, atau sejak mengolah informasinya.
Karena pada prinsipnya bagaimana seseorang mengamini informasi yang diterima sebagai benar, juga relatif subjektif. Jadi lebih jauh lagi pada prinsipnya adalah apakah informasi itu memberikan output yang baik ataukah tidak bagi penerimanya.
Well, kalau mau bicara akurasi, buku memang terbatas. Sama juga dengan kita bicara teori. Titik akurasi ketika teori diimplementasikan secara real juga bervariasi tergantung situasi & kondisi. Yang terbaik pastilah dari pengalaman dilapangan, terutama jika dipandu oleh Organisasi penyedia layanan konsultasi bisnis, contohnya Abeng Associates Institute
Ini rangkaian diskusi yang menarik, terutama karena praktisi-praktisi pun sangat eksploratif dalam tataran konseptual 🙂
Saya pikir kita bisa melihat hal pokok dalam diskusi ini, yaitu bahwa segala sesuatu itu kontekstual, dan pengelolaan informasi serta pemaknaan atas informasi tersebut adalah sangat penting.