Investasi psikologis di tengah hiruk pikuk kehidupan modern

Passionate about Graffiti
Image by Sam Judson via Flickr

Segala sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati – Iwan Fals

Ketika tadi saya sedang menyetir, tiba-tiba saya teringat kata-kata Iwan Fals ini saat dia mengisi acara di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Saya baru saja pulang dari sebuah mini seminar dimana saya diminta berbagi tentang psychological investment, atau investasi psikologis.

Sebuah pengalaman yang agak mengejutkan bagi saya, sebenarnya.

Mengapa? Karena saya tidak pernah menduga orang akan tertarik membicarakan topik ini. Kebetulan saya tadi berbagi panggung dengan seorang financial planner yang saya sudah kenal sejal beberapa bulan lalu. Kami berdua sama-sama membicarakan tentang investasi, yang satu dari sisi perencanaan keuangan dan yang satu lagi dari sisi pengembangan diri dan karir.

Tentu banyak orang sudah cukup akrab dengan investasi finansial. Tidak demikian halnya dengan investasi psikologis.
Investasi psikologis bukan hal baru. Bahkan investasi psikologis mungkin merupakan investasi tertua, yang sudah mendorong ekonomi manusia sejak jaman sebelum manusia mengenal alat tukar yang dinamakan uang. Investasi yang berbentuk upaya mengembangkan bakat dan passion kita ke dalam bentuk yang bernilai tambah di masyarakat ini mungkin tenggelam dalam hiruk pikuk life-style hidup masyarakat modern.

Padahal, saat kita tak punya modal finansial cukup, yang selalu ada bersama dan menjadi milik kita sejak awal adalah psychological assets, atau kekayaan/aset psikologis yang menjadikan masing-masing diri kita bernilai beda satu sama lain.

…..dan salah satu aset psikologis paling mendasar yang kita punyai adalah kesungguhan hati.

Aset yang satu ini menentukan sejauh mana kita berhasil mewujudkan apa yang kita inginkan, menggunkan kemampuan dan ketrampilan kita dan membangun kepercayaan orang lain pada kita. Aset ini pula yang menentukan sejauh mana kita bisa teguh dan ulet dalam berusaha mewujudkan visi kita.

Salah seorang peserta seminar tadi bertanya, “Ketika saya berada di seminar ini, saya bersemangat. Tapi besok saya kembali dalam rutinitas kerja dan akhirnya kehilangan semangat.” Inilah dilema yang dialami banyak orang dalam proses investasi psikologis.

Investasi psikologis adalah sebuah proses terencana yang menjadi inti dalam individual development dan talent management. Proses ini ada sebuah proses terstruktur untuk mengoptimalkan kapasitas kognitif, emosional dan psikomotorik seseorang sesuai dengan pola individual yang paling tepat. Proses ini didasari dari sebuah mindset bahwa setiap orang memiliki kemampuan menumbuhkan kapasitas psikologis secara intensif dan ekstensif, sehingga kemampuan dan karya-karya yang dihasilkannya memiliki nilai ekonomis yang makin tinggi seiring perjalanan hidupnya.

Ini semua bukan proses yang sederhana, dan perlu perencanaan yang matang sesuai dengan karakter dan bakat masing-masing orang. Tapi perencanaan investasi psikologis model apapun juga tidak akan berjalan tanpa kesungguhan hati atau passion.

Disinilah momen yang menyadarkan kita arti kesungguhan hati. Kesungguhan hati, walau merupakan sesuatu yang abstrak, tetaplah dapat dirasakan oleh orang lain. Ketika di restoran, kita tahu waiter mana yang pelayanannya sepenuh hati, dan waiter mana yang setengah hati melakukan pekerjaannya. Kita bisa membedakan hal ini dengan jelas, cukup dengan memperhatikan orang-orang di sekitar kita.

Kesungguhan hati atau passion lah yang membuat upaya kita bagai energi yang berlimpah dalam mencapai tujuan kita. Kesungguhan hati lah yang membuat tindakan dan karya kita terasa bernilai bagi orang lain. Tak perlulah kita sesumbar dengan berjanji akan berbaik hati dengan orang lain. Ketika kita mampu melakukan pengembangan kapasitas diri dan mewujudkannya dalam karya-kaya kita dengan sepenuh hati, maka investasi psikologis kita akan berbuah.

Di situlah sesungguhnya nilai dari aset psikologis kita menjadi nyata. Bisa jadi, nilainya menjadi semakin tinggi di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang kompleks ini.

* Tulisan ini merupakan cross post dengan tulisan saya di Kompasiana di hari yang sama dan dengan judul yang sama

Advertisement

12 thoughts on “Investasi psikologis di tengah hiruk pikuk kehidupan modern

  1. Pak James, saya suka sekali tulisan ini..menunjukan betapa pentingnya aset psikologis yang berbicara tentang kesungguhan hati mencapai visi…

    saya membayangkan bagaimana semangat kesungguhan itu dibawa dalam setiap langkah kita..sehingga kita punya target karya yang jelas dalam hidup ini..

    yang membedakan orang yang punya kesungguhan hati dan yg tidak adalah: yang tidak punya kesungguhan hati, akan dengan mudahnya berganti visi, atau bahkan tidak punya visi..tidak melihat apapun, dan tidak bertumbuh..

    sedangkan, Kalau kita sudah punya visi dan kesungguhan hati yang jelas, maka kita akan melihat berbagai tantangannya, sehingga kita menjadi bertumbuh..

    akan lebih baik apabila hal ini disadari oleh lebih banyak kaum muda.. ^^, tentu saja disadari juga dgn sepenuh hati..

    saya banyak belajar dari pak james, semoga suatu hari saya juga memiliki keterbukaan terhadap ilmu seperti atau bahkan lebih baik dari pak james..^__^

    1. Thanks, Yan.

      Saya sangat sepakat dengan kalimatmu yang ini: “yang membedakan orang yang punya kesungguhan hati dan yg tidak adalah: yang tidak punya kesungguhan hati, akan dengan mudahnya berganti visi, atau bahkan tidak punya visi..tidak melihat apapun, dan tidak bertumbuh..”

      Ini tantangan dalam semua jenis investasi, yaitu risk taking, risk calculating dan risk management. Seringkali orang mau aman dan enaknya, sehingga sedikit ada ketidakpastian, langsung pindah visi hehehe……Padahal ketidakpastian (uncertainty) adalah resiko yang selalu ada, dan kalau setiap ketidapastian membuat kita lari, ya nggak akan pernah jadi apapun. Cuma segudang impian dan teori berlemari-lemari.

      Dan, seperti katamu, anak muda sekarang agak kesulitan dengan ini. Jadi menurutmu, enaknya gimana ya? What can and should be done?

      1. Yap, saya pikir orang yang sukses bukan orang yang mendapatkan kesuksesan dengan mudahnya dan bukan orang yang tidak punya kesungguhan hati mencapai visi…tp dengan kesungguhan hati,dia menjadikan tantangan sebagai guru, sehingga setelah sukses, maka dia menjadi seseorang yang berkarakter, karena telah banyak belajar dalam pendakiannya mencapai visi..

        kalimat saya mgkn terlihat “idealnya spt itu..”
        karena saya sendiri masih muda, dan perlu byk belajar..

        tapi setidaknya, saya mencoba memegang nilai-nilai itu..

        hahaha…pak, pertanyaanmu nang aku mesti “enaknya gimana?..”

      2. Hahahaha…..sepertinya memang harus demikian ya, Yan. Belajar itu hanya bisa diperoleh dalam pendakian mencapai visi.

        Loh, “enaknya gimana?” itu kan sangat esensial 😉

  2. Saya setuju sekali dengan argumen dari tulisan ini. Kesungguhan hati adalah segalanya! Itu adalah kunci kebahagiaan sekaligus kesuksesan hidup manusia. Jauh lebih baik melakukan hal-hal kecil dengan kesungguhan hati, daripada berpura-pura melakukan hal besar dengan sikap abai.

    1. Hahahaha….betul sekali!

      “berpura-pura melakukan hal besar dengan sikap abai”…..kita sudah punya terlalu banyak orang yang begini.

      Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu, Za. Investasi psikologis merupakan sebuah model pengembangan diri berdasar passion dan talent seseorang. Artinya, asumsi dasar dari konsep ini adalah optimalisasi originalitas individu dalam bentuk praksis berupa karya. Saat ini, trend yang ada adalah menjadi sok beda dari luar, tapi tidak original secara substantif. Kata sebagian orang, memang yang namanya original ya akan selalu minoritas, Yang mayoritas adalah gerombolan ikut-ikutan (floating mass). Ini bisa diartikan bahwa psychological investment memang tidak untuk semua orang.

      Menurutmu, bagaimana ilmu filsafat bisa ikut bermain dalam hal ini?

  3. Thx atas tanggapannya James.

    Kita mesti sepakat dulu dengan definisi filsafat, yakni sebagai displin yang secara intensif mengajarkan orang untuk berpikir kritis, rasional, logis, dan sistematis tentang segala sesuatu yang ada di dalam dunia di dalam prosesnya untuk menjadi manusia yang bijak.

    Jika definisi ini sudah dipegang, maka kiranya filsafat bisa menyumbangkan hal-hal berikut:
    1. bersikap kritis pada mentalitas massa (termasuk mentalitas ikut-ikutan untuk menjadi “orisinal”, namun tanpa substansi)
    2. meneguhkan para pejuang akal budi yang seringkali kesepian, karena salah dimengerti oleh lingkungannya.
    3. Membantu menemukan “masalah yang sebenarnya” dari apa yang sedang terjadi, dan mencoba sedapat mungkin memberikan sumbangan dalam bentuk karya.

    1. Saya pikir tiga langkah ini cukup teknis, sehingga bisa dilaksanakan dalam proses psychological investment.

      Menjadi kritis agar tidak ikut-ikutan merupakan unsur penting dalam memastikan apakah kita menginvestasikan psychological capital kita dengan tepat.
      Meneguhkan pejuang akal budi yang kesepian, ini mungkin bisa dipahami sebagai kemampuan melihat ranah investasi psikologis yang tepat dan membangun keuletan dalam berinvestasi jangka panjang. Dan para ‘pejuang akal budi’ ini yang sudah ada mungkin adalah mentor yang tepat untuk dipelajari.
      Membantu menemukan ‘masalah yang sebenarnya’ dan mencoba memberikan sumbangan dalam bentuk karya adalah soal kemampuan memetakan aset psikologis mana tepat untuk diivestasikan dimana.

      Menarik sekali bagaimana ini bisa dielaborasikan melalui dua pendekatan. Thanks, Za. Ini akan aku follow-up dalam tulisan lain.

  4. Aku baru baca tulisannya Sindhunata di kompas hari ini. Ia mencari kesejatian di dalam kefanaan. Saya rasa itu yang juga bisa menjadi sumbangan filsafat, yakni mengajak orang untuk mencari apa yang sejati, dan meninggalkan apa yang semu dan sementara.

    Bagaimana menurutmu?

    1. Kalau yang ini memang agak spiritual, Za. Dalam artian, ini mungkin terlalu sulit untuk dipahami dan diterapkan kebanyakan orang.

      Memang aku belum baca tulisannya, tapi aku melihat bahwa topik “mencari kesejatian di dalam kefanaan” seperti topik utopis yang tak pernah selesai.
      Aku tidak menolak idenya, bahkan aku sangat setuju. Aku hanya agak concern dengan makin banyak diskusi tentang ini tapi justru makin jarang teladan praksis soal ini kita temukan dalam keseharian.
      Bahkan, kalau mau jujur, banyak yang sudah sekolah dan punya gelar akademik berbau spiritual pun gagal mewujudkan ini sebagai investasi psikologis mereka. Jadinya, kita punya tokoh-tokoh spiritual yang lebih terkenal karena investasi non spiritual-nya 😉

      Lao Zi (Lao tsu) pernah mengatakan sesuatu yang menarik soal ini. Yang dia katakan kurang lebih begini: Di negeri yang hukum dan pemerintahan berjalan luar biasa baik, orang tidak akan membicarakan tentang hukum dan pemerintahan. Sebaliknya, makin banyak pembicara tentang kedua hal itu, berarti kedua hal itu makin tidak terlaksana.

      Dalam kaitannya dengan investasi psikologis, dilemanya sama. Orang seringkali merasa dia menginvestasikan aset psikologisnya. Padahal yang dia lakukan cuma ikut-ikut orang lain. Karena sesuatu itu merupakan aset psikologis atau bukan, itu tergantung dari bobot/kapasitas dirinya (psychological equity). Ini soal kesejatian, sementara ikut-ikut orang itu soal kefanaan.

  5. Semuanya itu berawal dari “NIAT”. Investasi psikologis adalah satu tema diskusi menarik sekalipun abstrak. Saya percaya bahwa psikologis itu adalah asset setiap orang yang bersifat spesifik. Niat dalam konteks investasi psikologis adalah keinginan seseorang untuk melakukan investasi psikologisnya dengan suatu maksud dan atau tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu seseorang tidak bisa menginvestasikan psikologisnya hanya karena faktor trend atau ikut-ikutan, tapi dia harus punya misi dan visi yang jelas terhadap investasinya. Sering saya lihat orang-orang yang melakukan investasi psikologisnya karena faktor ikut-ikutan berakhir tragis layaknya investasi financial tanpa kejelasan. Seseorang yang ingin menginvestasikan asset psikologisnya harus punya strong commitment & integrity untuk mencapai tujuannya agar tidak sesat jalan. Hal ini juga berhubungan dengan identitas & jati dirinya sebagai manusia. Jika tidak, pencapaian akan menyimpang jauh dari yang diharapkan, lebih parah lagi adalah “Tengen gak nyandak, kiwo gak njupuk”. Saat ini aku baru bisa sampai ini karena keterbatasan pengetahuanku soal psikologis manusia. Ada saran James? Aku lagi butuh resource semacam ini karena saat ini aku sedang melakukan riset mengenai pencapaian misi dan visi organisasi dengan manusia sebagai driver organisasi.

    1. Betul, kebanyakan orang yang ‘terpleset’ kan justru orang yang banyak keinginan dan pintar. Akibatnya, maunya banyak tapi tidak ada yang benar-benar terinvestasikan dengan tepat dan matang. Malah kadang orang ‘biasa’ yang tidak heboh, tapi memahami betul apa yang dilakukannya secara mendalam; malah sukses.

      Psychological investment merupakan topik yang jarang. Tapi kamu bisa mulai dengan baca Psychological Capital. Aku lupa siapa yang menulis 🙂 Search di google aja, Glenn.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s