Apa gaya kepemimpinan dan manajerial paling populer di Indonesia sekarang ini? Saya berpendapat, ada dua gaya yang menonjol: ‘The taoist manager’ vs ‘The Colosseum democracy’.
Kedua gaya tersebut mungkin tidak terdengar sesuai dengan teori textbook yang diyakini banyak kalangan yaitu domokrasi versus otoritarianisme. Saya pikir dikotomi ini memang klasik, tapi terlalu ‘hitam-putih’ dan tidak sesuai dengan apa yang sungguh terjadi saat ini dalam konteks Indonesia, atau bahkan di dunia.
The taoist manager muncul di benak saya ketika kawan saya, Reza, menyinggungnya dalam komentar di salah satu tulisan saya di website ini (silahkan lihat di sini). Gaya kepemimpinan dan manajerial yang satu ini melihat peran seorang pimpinan dan manajer bukanlah sebagai pencipta perubahan, melainkan sebagai peselancar dalam gelombang perubahan. Prinsip dasar the taoist manager bukan kuasa pengendalian, tapi seni adaptasi dan pengaruh. Manajemen adalah soal memahami arah dinamika yang ada sehingga bisa mempengaruhi sedemikian rupa dalam menentukan masa depan bagaimana yang akan tercipta.
Banyak entrepreneur sukses dan profesional inovatif yang menerapkan gaya the taoist manager (lihat tulisan saya yang ini). Mereka bukan berpikir jangka pendek memburu laba, melainkan menerjemahkan visi bisnis dengan ‘menciptakan’ trend. Tentu saja menciptakan trend disini sebenarnya adalah membaca arah dinamika publik dan pergerakan modal dengan tepat, lalu ‘menunggangi’nya dengan piawai.
Lalu apa itu the Colosseum democracy?
Yang saya istilahkan dengan the Colosseum democracy adalah pola manajerial yang pada dasarnya serupa dengan the taoist manager. Hanya saja, the Colosseum democracy memberikan penekanan khusus pada kemampuan mempengaruhi opini dan respon emosional publik.
Seperti namanya, ini adalah pola kepemimpinan dan manajerial yang terinspirasi oleh pertandingan gladiator di Colosseum Roma yang terkenal itu. Pada masa itu, pertarungan sampai mati para gladiator ditempatkan tak ubahnya sebagai pertunjukan, yang disertai dengan tema dan cerita. Dan di akhir pertarungan, kematian gladiator yang kalah seakan ditentukan oleh pendapat para penonton. Dengan menggunkan ibu jari mereka, penonton tinggal memberikan keputusan atas hidup sang gladiator. Apabila mayoritas penonton mengarahkan ibu jari ke bawah, maka sebuah ‘demokrasi’ telah memutuskan bahwa si gladiator layak mati. Sang pemimpin, dalam hal ini adalah kaisar, tinggal meneguhkan dengan mengarahkan ibu jarinya sesuai kehendak ‘rakyat penonton’.
Sesungguhnya sang pemimpin sudah mengendalikan emosi publik sejak men-setting konflik, bahkan kematian, sebagai agenda publik. Pengendalian itu dilakukan dengan menempatkan konflik sebagai tontonan yang memberi kesempatan publik menjadi ‘hakim demokratis’. Karena dikemas sebagai tontonan, publik menjadi tanpa beban ketika melakukan ‘penghakiman demokratis’, karena dua hal. Pertama, itu kan ‘tontonan’, kedua, ada kesepakatan publik yang demokratis.
Tentu di Indonesia, pertunjukan ini tidak terjadi dalam Colosseum seperti era Romawi. Tontonan konflik dan ‘penghakiman demokratis’ yang sudah di-setting ini terjadi di sebuah gelanggang yang disebut media. Lihatlah media kita, dan bagaimana waktu kita dipenuhi oleh polemik yang di’goreng’ menjadi sedemikian ‘renyah’ melalui media massa dan social media.
The taoist manager dan the Colosseum democracy merupakan gaya kepemimpinan dan manajerial yang luar biasa dalam dua perspektif. Pertama, betapa keduanya memiliki pola yang unik sehingga cocok dengan dunia yang kompleks dan ambigu ini. Kedua, keduanya sangatlah luar biasa dalam beroperasi di bawah kesadaran kognitif kebanyakan orang yang cenderung over-simplistik. Terlepas dari untuk tujuan apa kedua gaya ini digunakan, keduanya mampu mengelola perubahan, stakeholder engagement dan political dynamic dengan cara yang cukup istimewa.
Buktinya? Mari kita bertanya pada diri sendiri, seberapa sadar kita tentang keberadaan kedua gaya ini di sekitar kita.
Bagaimana pendapat anda?
Posted with WordPress for BlackBerry.
Thx atas postingannya James! Saya merasa bahwa hanya ada satu tipe kepemimpinan yang tepat untuk masa kita, yakni tipe kepemimpinan yang kamu tulis di sini; menangkap dan menunggangi perubahan, dan bersama itu juga menciptakan perubahan lainnya.
Sejauh ini, aku juga berpikir demikian. Perubahan dunia sekarang bukan lagi linear, melainkan fraktal. Paradigma mengendalikan adalah paradigma yang tak lagi dominan.
Belakangan ini ak banyak debat ama Retha. Apa tugas utama seorang pimpinan? Ak tetap insist bahwa tugas utama pimpinan adalah memotivasi dan memberikan inspirasi untuk menuju pada satu titik yang diharapkan. Kontrol dan delegasi adalah bagian dari memotivasi dan memberikan inspirasi tersebut. Sementara aktivitas sehari-hari, dalam bentuk kontrol, evaluasi, dan pekerjaan administratif lainnya bisa didelegasikan pada orang yang memang memiliki keutamaan di bidang itu. Bagaimana menurutmu?
Aku melihat kepemimpinan adalah sebuah sistem, bukan orang per orang. Dalam artian itu, aku bisa sepakat dan bisa tidak pada argumenmu, karena tergantung pada konteks apa.
Kepemimpinan sebagai sistem tidak memilah atau mendikotomikan fungsi inspirasi dan eksekusi. Keduanya mutlak harus ada, agar ada yang disebut kepemimpinan.
Inspirasi tanpa eksekusi bukan kepemimpinan, dan di Indonesia kita melihat banyak sekali contoh soal ini. Banyak pemikir idealis, tapi tidak termanifestasi dalam eksekusi. Sebaliknya, eksekusi tanpa inspirasi tak ubahnya perilaku hewani yang dangkal, tak punya orientasi dan tak punya esensi.
Nah, kini tergantung sistem kepemimpinan apa yang diterapkan. Yang umum memang ada bagian yang bertugas mengkonstruksikan esensi organisasi dan memberikan inspirasi (dewan komisaris, yayasan/dewan pembina dan sebagainya), dan ada bagian yang melakukan eksekusi (dewan direktur, rektorat/pengurus harian, dan sebagainya).
Yang kacau adalah ketika tata kelola ini tidak dijalankan dengan tepat. Terjadi yang namanya leadership tanpa integritas. Lain soal kalau kedua fungsi itu dijalankan oleh satu pihak. Maka bisa efektif, dengan resiko kekuasaan terpusat dan tidak ada balance of power (otoritarianistik). Inilah kenapa kepemimpinan otoriter bisa sangat efektif, tapi bila salah arah akan jadi sangat fatal.
In short, aku melihat bahwa kepemimpinan tidak boleh dilihat parsial. Indonesia sudah terlalu sering melakukan itu, dan kita sudah merasakan betul apa akibatnya.
thanks atas balasannya james. Menarik melihat kepemimpinan sebagai suatu sistem yang mengkombinasikan antara inspirasi dan eksekusi. Apakah itu berarti kepemimpinan memiliki karakter sistem lainnya, seperti autopoiesis, dan reduksi kompleksitas (menyederhanakan proses)?
Benar sekali, secara konseptual memang autopoiesis dan reframing complexity (bukan reduksi) merupakan komponen utama. Metafora yang sering dipakai adalah dancing (menari).
Tapi secara teknis, prinsipnya ada good governance dan innovative thinking. Artinya, adanya ruang untuk manajemen yang akuntabel dan eksplorasi perubahan kreatif. Kondisi itu yang memungkinkan autopoiesis dan reframing complexity.