Pasar tradisional dalam balada modernisasi

Sekitar dua atau tiga bulan lalu, saya turut serta dalam photo hunting yang diadakan dalam rangka Festival Pasar Surabaya 2011. Ada beberapa catatan menarik yang saya temukan, selagi saya mengambil foto. Catatan menarik itu tentang pasar dan bagaimana kita bisa belajar banyak darinya, kalau kita mau.

Sekedar informasi, dalam photo hunting tersebut, yang dijadikan sasaran adalah pasar tradisional, bukan pasar modern atau supermarket (dan segala jenis variannya). Namun justru dari pasar tradisional inilah saya merasa diingatkan kembali pada hal-hal kecil yang sesungguhnya besar artinya.

Pertama-tama, pasar sejati tercipta sebagai konsekuensi hubungan saling membutuhkan. Bila ini ada, tanpa pendekatan yang ruwet-ruwet pun, pasar tercipta. Inilah yang saya lihat terjadi pada pasar tradisional. Ada banyak orang beranggapan bahwa pasar tradisional mendekati titik akhirnya, terutama karena menjamurnya hipermarket, convenience store, dan mini market. Selain itu, mulai banyaknya pasar modern yang merupakan ‘pengganti ‘ pasar tradisional. Tapi, pasar tradisional tampaknya bisa survive dengan caranya.

Apa yang membuat mereka survive? Saya tidak tahu persis, tapi saya punya dugaan.

Sepertinya, sebagian pedagang yang berhasil bertahan di pasar tradisional adalah pedagang yang tahu betul bagaimana untuk tetap tradisional di tengah-tengah modernisasi. Gampangnya, mereka tahu apa yang harus diubah dan apa yang tidak perlu diubah.

Ambil contoh pedagang makanan dan buku-buku di Pasar Blauran Surabaya. Mereka bertahan karena mereka tetap menggunakan sistem transaksi tradisional yang tanpa bon dan tetek bengek ala pasar modern. Tapi mereka melakukan ekspansi dengan menambah jumlah kursi dan menata hidangan sedemikian rupa (seperti food tenant di food center yang ada di banyak mal), sehingga mereka tidak lagi seperti warung tradisional pada umumnya. Tampaknya pedagang pasar tradisional paham betul bahwa mereka ada karena kebiasaan tertentu membutuhkan kebiasaan tertentu.

Saya sempat membandingkan dengan pedagang makanan di Pasar Gede Solo. Pedagang makanan disana banyak, dan makanannya enak-enak (antara lain dawet Pasar Gede yang terkenal itu). Tapi disana, seperti umumnya tradisional, penjual makanan tidak menyediakan kursi yang banyak bagi pengunjung. Adalah lumrah melihat pembeli makanan menikmati makanan sambil berdiri, atau membeli dalam bentuk bungkusan. Kalau mau duduk, ya beli di warung, bukan yang di pasar. Tapi, di Pasar Blauran Surabaya, penjual dawet bekerja sama dengan penjual soto dan membuka ‘warung besar’ di tengah-tengah pasar. Kapasitas kursi yang disediakan cukup untuk 20-an pengunjung bersama menikmati hidangan.

Terkadang, perubahan-perubahan kecil yang cenderung tak tampak justru memainkan peran penting.

Lihat saja beberapa pedagang sayur dan ikan yang kini menyediakan jasa pemesanan lewat telpon, beserta delivery service-nya. Beberapa pedagang ikan di pasar tradisional bisa mengiriskan ikan yang dibeli dalam bentuk fillet, sehingga konsumen membawa pulang ikan yang siap olah, tanpa perlu membersihkan sisik dan memisahkan daging dari durinya. Saya melihat, dibalik kesan pasar tradisional yang tidak berkembang, ada inovasi-inovasi yang dilakukan dengan bijak, bukan heboh ikut-ikutan menjadi modern secara membuta.

Mungkin ada baiknya kita membangun inovasi bisnis berdasar kesadaran yang jernih tentang pasar kita. Bahasa keren untuk ini mungkin adalah memahami business environment kita dengan benar. Pasar tradisional di Surabaya misalnya, yang kesannya tidak mau berubah, bila kita bandingkan dengan beberapa pertokoan modern di Surabaya yang tidak seramai kapasitasnya, tentu akan membuat kita berpikir. Bahkan di Surabaya yang katanya kota belanja, ada mal baru yang tidak dipenuhi pengunjung. Sementara pasar tradisional malah survive dan pelan-pelan berkembang dengan caranya untuk tetap menjadi andalan bagi konsumennya.

Tampaknya, tidak semua orang menyukai pernak-pernik pasar modern, dan tidak semua orang benar-benar tidak berminat dengan model-model pasar tradisional. Setiap pasar memiliki masyarakatnya sendiri, dan menggunakan strategi yang berasumsi bahwa trend modernisasi di semua aspek bisnis adalah satu-satunya orientasi ke depan mungkin bisa berbahaya. Cara mudah untuk mengingatkan diri kita tentang hal ini, antara lain adalah dengan membandingkan pasar tradisional yang tak kunjung mati dengan mal baru yang tak ramai pengunjung.

Mungkin meamng benar bahwa modernisasi harus dijiwai karakter asal yang membangun tradisi. Karena modernisasi adalah bentuk perubahan yang hanya bisa efektif terjadi bila berangkat dari nilai riil yang ada, bukan dengan pemaksaan berlakunya nilai-nilai dari eksternal. Ada hal-hal yang perlu diubah, tapi ada yang justru tidak perlu berubah.

Setidaknya, inilah yang saya pelajari dari pasar-pasar tradisional ini. Apa pendapat anda?

 

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

14 thoughts on “Pasar tradisional dalam balada modernisasi

  1. Pasar tradisional itu tetap bisa bertahan karena mereka mempertahankan sistem mereka dan mungkin dengan bisa tawar menawar-menawar…

    Sesuatu yg tradisional memang menarik daripada yang sudah modern dan kadang itu malah di cari..

    Bagaimanapun yang tradisional memang tidak bisa di lupakan, karena bagaimanampun masyarakat indo belum semua bisa menerima tradisi yang modern..

    Itu pendapat saya pak :p

    Gimana pak kabarnya di tempat kerja bapak yang baru?

    1. “Bagaimanapun yang tradisional memang tidak bisa di lupakan, karena bagaimanampun masyarakat indo belum semua bisa menerima tradisi yang modern.. ”

      Kamu menyebutkan kata ‘belum’, berarti lama-lama bisa, begitu ya? Kira-kira bagaimana nantinya pasar tradisional kalau masyarakat sudah bisa menerima yang kamu sebut sebagai tradisi modern?
      Aku justru berpikir bahwa ini bukan soal mana yang lebih dicari, tapi memang ada masyarakt tertentu untuk jenis pasar tertentu, Janice. Jadi, mungkin se-modern apapun nantinya, ya tetap saja ada pola-pola yang sama. Bagaimana menurutmu?

      Kabar baik, Janice 🙂

  2. Saya setuju dgn pernyataan bapak memang ada masyarakat tertentu untuk jenis tertentu..
    Memang jika di banding dengan harga, ada yang menjadi ciri khas dari pasar tradisional yang membuat dia beda dengan pasar modern..

    Mungkin bisa saja orang menerima, tapi kalau masy tidak cocok maka bisa kembali dengan cara yang lama.. Tapi ini mungkin sih pak..
    Jika melihat ciri orang indonesia tidak semua menyukai yang rapi, atau praktis bisa jadi pasar tradisional tetap bertahan :p

    Pola yang bapak maksud itu apa untuk hanya kalangan tertentu s??? maksudnya?

      1. iyaa sih pak,. memang sudah ada spesifikasi untuk kelompok masyarakat tertentu..
        namun pertanyaan saya, jika modernisasi sebernanya itu perlu atau tidak? seberapa sisi pentingnya adanya modernisasi tetap di dasarkan pada tradisi? bagaimana pak?

      2. Saya pikir pertanyaanmu terlalu oversimplifying hehe 🙂
        Apakah modernisasi itu pilihan? Artinya, apakah kita bisa memilih antara modernisasi atau tidak?

  3. Kok, kelihatannya karena mereka bs “memolesnya” shg tampak modern ya? itu yg kadang menjadi daya tariknya dalam pasar tradisional. kalau dilihat seperti adanya delivery service, fillet dan sebagainya kan proses itu udah ada di pasar modern. Jadi, kemungkinan ya itu juga yg menjadikan peminatnya te2p ada.

  4. setuju dengan tulisan pak james…mengadopsi bbrp hal yg bersifat modern mungkin memang penting..sebagai salah satu cara supaya survive..yaitu meningkatkan layanan jasa… 😀

    tapi saya jadi punya pertanyaan…
    klo bgt apa yah yg buat pasar tradisional bertahan?…

    1. harga lebih murah.. hehehe… yah gapapa deh panas2an dikit ga kayak disupermarket…boleh nawar pula…wowwww..untuk mengikuti zaman kan juga butuh biaya,, yg paling simple fashion cewek, selalu gonta ganti…belanja dipasar yg murah, beli baju di mal..klo beli sayur di supermarket kan lbh mahal…wkwkwkwk…

    2. suasananya lebih santai… ga perlu pake baju yg bagus buat ke pasar tradisional… baju rumah aja sebenernya cukup kok… ga mandi juga org ga tau..

    3. penjualnya lebih ramah..krn yg jual lgsg ownernya… klo di supermarket, pelayannya di bayar supaya bisa senyum sm pelanggan,,,n suasananya lbh individual..klo dipasar tradisional kan terasa lbh friendly, ga pake formalitas…

    ^__^

    1. Ini analisis sederhana yang sebenarnya berguna. Justru dari analisis sederhan yang tidak muluk-muluk begini, kita mungkin malah bisa menidentifikasi secar lebih akurat apa saja potensi pasar tradisional yang masih sangat relevan di jaman yang bergerak makin modern ini hehe

  5. tahu apa yang harus diubah dan apa yang tidak perlu diubah, sangat setuju, akan sangat merugikan jika perbedaan (differensiasi produk) yang sudah tercipta dari pasar traditional, dihilangkan dengan berganti menjadi pasar modern, jika dilakukan pasti ambruk, karena mereka bermain di lahan yang sama dengan para raksasa, dan jadi follower.

  6. Yang diperlukan adalah sesuatu yang amat sederhana, namun terlupakan, yakni kejernihan. Kejernihan ini lahir dari kebiasaan untuk mengamati secara jeli, dan bertindak berdasarkan kejelian tersebut. Inilah kunci dari seluruh teori marketing; kejernihan melihat gerak perubahan jaman. Siapa yang tidak jernih dalam berpikir, walaupun bermodal besar, pasti akan segera terlupakan, dan menjadi tidak relevan.

    1. Hehehehe….betul, dan di era yang penuh dengan hiruk pikuk orang-orang yang mengecer pengetahuan dan keahlian ini, kita semakin tsulit menjadi jernih. Ini mungkin karena seakan semua jawaban untuk semua persoalan sudah tersedia secara instant, dan orang menjadi malas untuk repot-repot mencari. Padahal dari proses mencari lah, kita bisa berlatih untuk menjadi jernih.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s