T: Kita perlu solusi!….J: Beneran nih? Yakin?

The Big Solution
Image by Juan Manuel Cruz del Cueto via Flickr

Kali ini saya ingin ajak anda berdiskusi tentang sesuatu yang kita sering dengar: Solusi!

Siapa yang tidak ingin solusi? Solusi berarti menyelesaikan masalah. Dan, di dunia yang penuh dengan masalah ini, solusi-solusi yang memberi kita harapan akan dunia dan kehidupan yang lebih baik tentunya sangat kita dambakan.

Tapi, selesainya masalah seringkali juga berarti berakhirnya sebuah pekerjaan, aktivitas atau peran. Solusi, seringkali membawa konsekuensi yang tidak begitu menggembirakan. Solusi, sepertinya bukan hanya manis, tapi juga pahit.

Maksudnya?

Mari mulai dari contoh klasik dan umum. Bagi orangtua, menjadikan anak mandiri adalah solusi bagi kekuatiran mereka atas masa depan anak. Lalu, ketika anak sudah mandiri, orangtua merasa bahwa anak-anaknya mungkin tidak lagi mudah diatur dan tidak lagi patuh.

Saat anak-anak menjadi mandiri dan mampu bertanggungjawab penuh atas tindakannya, orangtua dihadapkan pada realitas bahwa perannya sebagai orangtua ternyata tak sedominan dulu. Orangtua merasa eksistensi mereka sebagai orangtua juga berakhir. Dan, tiba-tiba, hilangnya peran yang begitu besar dalam mempengaruhi anak-anaknya menjadikan hidup seperti hampa. Ini kenapa banyak orangtua suka dengan kehadiran cucu, sebagai bentuk mempertahankan eksistensi sebagai orangtua tadi. Setuju?

Bagaimana dengan konteks yang lebih besar?

Saat kesejahteraan sudah bisa tersedia bagi hampir semua komponen masyarakat melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak institusi akan dihadapkan pada tantangan untuk tetap eksis. Misal, kebutuhan akan adanya institusi penyalur bantuan sosial akan berkurang, karena masyarakat sudah lebih sejahtera. Birokrasi, politik dan hukum yang sudah berfungsi lebih baik dalam melayani rakyat, akan membuat kebutuhan akan lembaga advokasi sosial harus memperbarui eksistensinya.

Sangat mungkin, institusi keagamaan juga harus berjuang mempertahankan perannya sebagai pembangun harapan. Di tengah masyarakat miskin, institusi keagamaan memiliki peran penting sebagai penjaga harapan dan penjaga stabilitas sosial budaya. Masyarakat miskin butuh pegangan akan adanya mukjizat, serta adanya penjelasan sederhana tentang penderitaan mereka. Institusi keagamaan bisa berperan di sini.

Tapi di tengah masyarakat yang sejahtera, yang jauh lebih mampu mengakses modal, pengetahuan dan teknologi; penjelasan tentang spiritualitas dituntut untuk lebih rasional, membumi dan multiperspektif. Ini karena kesejahteraan cenderung membawa masyarakat mencari spiritualitas melalui eksplorasi pribadi, atau malah tidak peduli sama sekali dengan spiritualitas. Eksistensi institusi agama konvensional tentu mengalami tantangan disini.

Kita bisa lihat bahwa kesejahteraan merupakan solusi yang dicita-citakan oleh institusi sosial dan keagamaan manapun. Kemandirian anak merupakan cita-cita orangtua manapun. Namun ketika solusi-solusi itu akhirnya terwujud, mereka yang memperjuangkan kemunculan solusi itu menghadapi kenyataan bahwa ‘tugas’ mereka sudah selesai.

Munculnya solusi bagi suatu masalah seringkali menjadi pertanda kehilangan eksistensi bagi sesuatu yang selama ini berguna saat masalah itu belum terpecahkan. Ini menimbulkan pertanyaan menggelitik: Apakah benar kita semua sungguh-sungguh ingin mendapatkan solusi? Ketika terwujudnya solusi itu sangat mungkin membuat kita kehilangan eksistensi?

Pahit manis solusi

Saat kita sungguh-sungguh berjuang untuk menyediakan solusi, boleh jadi respon unik lah yang kerap muncul. Respon unik yang bagaimana? Yang saya maksud disini adalah respon yang berupa persetujuan di mulut, dan keengganan serta keraguan dalam tindakan.

Apa ini sikap munafik? Sebagian besar orang akan dengan mudah melompat ke kesimpulan ini.

Namun tunggu dulu. Mungkin kita-kita yang menyimpulkan inilah yang lebih munafik. Bagaimana kalau kita lihat ini dari sudut pandang yang lebih utuh, realistik dan ekonomis?

Tanpa korupsi dan segala kekacauan dalam pemerintahan dan politik di Indonesia, media dan para akademisi pengamat politik akan mengalami kegalauan eksistensi dan kepincangan ekonomi. Media akan mengalamai penurunan peran strategis dan ekonomisnya, dan kembali menjadi distributor informasi semata. Para pengamat politik akan kembali menjadi akademisi dan peneliti yang jarang sekali muncul di media dan seminar-seminar. Berkurangnya konsumerisme akan membuat banyak perusahaan retail dan tenaga pemasar (marketing) mengalami krisis. Analogi yang sama terjadi dengan peningkatan kesehatan preventif berdasar pola hidup sehat di masyarakat akan menimbulkan ‘paceklik’ bagi tenaga media, industri obat, asuransi kesehatan dan rumah sakit.

Pendek kata, pemerintahan bersih dan politik yang sangat sehat akan membuat media dan pengamat politik menghadapi masalah eksistensi dan ekonomi.  Kesehatan masyarakat yang meningkat akan mengguncang penyedia solusi kesehatan. Menurunnya konsumerisme akan membuat banyak pemasar kehilangan pekerjaan. Hal yang sama mungkin juga terjadi di berbagai aspek kehidupan yang lain.

Lalu, bagaimana mungkin mereka akan menyambut solusi-solusi itu tanpa ragu? Ketika eksistensi yang sudah dinikmati sedemikian lama dihadapkan pada sebuah kemungkinan sebuah akhir?

Bagaimanakah sikap kita? Apa kita sebaiknya menolak solusi-solusi itu, karena solusi itu akan membuat eksistensi kita terancam?

Tapi, bukankah kita semua ingin dunia yang lebih baik?

Jadi?

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

20 thoughts on “T: Kita perlu solusi!….J: Beneran nih? Yakin?

  1. Kalau menggunakan perspektif dekonstruksi, solusi tidak pernah murni menjadi solusi, karena di dalamnya sudah selalu terkandung masalah yang baru. Jadi solusi atas masalah lama seringkali menjadi penyebab dari masalah yang baru. Tidak ada solusi murni. Ini seperti menjawab satu pertanyaan, namun justru melahirkan seribu pertanyaan lainnya dari jawaban tersebut. Yang sungguh diperlukan sekarang adalah kemampuan dan motivasi untuk terus menemukan solusi tanpa henti, sambil sadar betul, bahwa solusi selalu sudah mengandung kontradiksi pada dirinya sendiri.

    1. Aku rasa memang demikian. Solusi tidaklah menjadi sebuah akhir. Solusi adalah sebuah upaya merekayasa perubahan dalam proses, sehingga muncul dampak-dampak baru. Dampak-dampak baru ini tentunya membawa hal-hal positif baru, namun tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti.

      Jadi, prinsipnya adalah sebuah keseimbangan, bukan seperti penjumlahan linear dimana -5 + 5 = 0.

      Bagaimana menurutmu?

      1. Seperti yang ditulis oleh Niklas Luhmann, filsuf Jerman abad 20, sistem selalu mencari keseimbangan, terutama di tengah ketidakseimbangan (krisis). Ini berlaku untuk ekonomi, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Walaupun seperti sudah sering kita diskusikan, keseimbangan yang dinamis, yang selalu bergerak. Tidak ada yang linear dan pasti di dalam realitas. Ini berlaku untuk semua hal. Cara kita melihat sesuatu sudah mempengaruhi sesuatu itu, dan sesuatu itu pun sudah selalu mempengaruhi cara kita melihatnya.

        Yang perlu didiskusikan lebih jauh adalah, apakah pemahaman kita tentang “masalah” yang ada sudah selalu merupakan bagian dari masalah?

  2. ini seperti yg dulu pernah saya tanyakan.. perubahan itu knp perlu?..mana yg lebih baik itu siapa yg menilai?..tergantung konteks dan siapa yg melihat..hehe..rumit tapi seru untuk dibahas..

      1. pendapat saya adalah setuju dgn pak reza n pak james 😀
        sbg contoh yg sy pahami: stlh jd asdos TnD, saya belajar lagi, training saja setelah dilakukan masih bisa menghasilkan training lainnya…
        training kan juga sbnrnya menjawab permasalahan kompetensi, tapi setelah dilakukan, bisa kembali memunculkan permasakahan lainnya…

  3. Kalo aku boleh menyimpulkan, solusi akan selalu memiliki efek baik negatif maupun positif tergantung siapa yang beruntung dan siapa yang apes gitu kan.
    Menarik untuk didiskusikan.
    Aku melihat ini lebih pada dinamika aktivitas dalam segala aspek di kehidupan kita. Akan selalu ada yang timbul dan tenggelam, ada yang menjadi pahlawan dan pecundang, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Aku tidak terlalu menyoroti hal ini pada pertanyaan butuh tidaknya solusi karena jawabannya akan sangat relatif dan bervariasi tergantung siapa yang menjawab. Solusi bagi setiap pihak tentunya sangat subyektif dan sangat tergantung pada kepentingan yang dibawanya. Ini sangat politis sekali. Mungkin bagi para idealis solusi sangat dibutuhkan karena masalah selalu dirumuskan dengan tanda negatif dan solusi selalu dirumuskan dalam tanda postif. Sangat tidak adil bagi beberapa orang menurutku.
    Poin terpentingnya di sini adalah bagaimana solusi yang diciptakan untuk sebuah masalah itu diiringi dengan solusi2 lain yang mampu mengakomodir kepentingan kepentingan lain yang dikalahkan, dan ini tentunya akan menjadi sangat sulit. Sebagai ilustrasi bisa kita gunakan hukum termodinamika, yang jelas menyatakan bahwa ketika kita mendinginkan suatu area maka akan ada area lain yang menjadi lebih panas karena menerima panas yang dibuang dari area yang didinginkan demikian juga sebaliknya.
    Jadi hakekat dari solusi menurutku lebih sesuai dengan paradigma hukum termodinamika, mau diapain lagi yang begitulah adanya.
    Apakah dunia akan jadi lebih baik atau tidak, tentunya sangat relatif dan diskusinya tidak akan pernah berakhir kalau kita melihatnya dengan kacamata solusi karena jangan lupa bahwa dunia ini pun juga memiliki beraneka ragam komponen yang terikat dalam prinsip dualistik relativitas.
    Jadi kesimpulannya dengan insgiht dari tulisanmu ini aku lebih memahami cara kerja solusi dengan paradigma termodinamika.
    Bagaimana menurutmu?

    1. Betul, aku sepakat sekali dengan penggunaan termodinamika.
      Pada prinsipnya, ini soal energai. Dan yang namanya energi, bukan soal hilang dan muncul, tapi berpindah dan berubah bentuk. Solusi di tempat ini menimbulkan ‘pengorbanan’ di tempat lain 🙂

  4. Nah jd sdh ketemu jawabnya kan…perlu solusi atau tidak sama dg mempertanyakan kita ini maunya jd korban apa jd pelaku? Atau mungkin pilihan ketiga, jd oportunis yg cuma menunggu kesempatan maupun hasil dr solusi?

  5. Saya rasa begitu. Cara kita melihat masalah seringkali sudah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Dasarnya begini. Manusia itu kan mahluk penafsir. Ia menafsirkan segala sesuatu di dalam hidupnya. Ia menerima informasi dari panca indera, lalu menafsirkannya, dan memberinya makna, sehingga informasi itu menjadi berarti baginya. Nah proses penafsiran dan memberi makna itu amat penting. Suatu masalah menjadi besar, jika ditafsirkan dan diberi makna dengan cara-cara yang salah. Maka yang perlu kita kembangkan adalah kerangka tafsir di dalam melihat informasi-informasi (termasuk juga masalah) yang ada di dalam realitas. Tujuannya adalah cara kita melihat masalah bisa menjadi bagian dari solusi atas masalah itu sendiri, dan bukan justru berkontribusi dalam memperbesar masalah.

  6. Saya rasa konsep solusi tidak terbatas hanya pada penyelesaian masalah. Menurut opini saya, Solusi adalah suatu kesatuan yang terdiri dari manusia, management, dan sumber daya lainnya, yang dioperasikan melalui bentuk kerjasama dan bertujuan untuk memberikan hasil maximal melalui inovasi dan formulasi yang tepat, sehingga dapat mempertinggi hasil dan produktivitas organisasi.

    Ciri-ciri dari solusi dapat saya rinci sbb:

    1. Solusi dibangun berdasarkan komitmen tinggi untuk bekerjasama dengan baik dan benar antara consultant dan clientnya dari saat perencanaan hingga penyelesaiannya, termasuk juga support dari consultant*. * biasanya menurut isi kontrak kerja

    2. Solusi harus dibuat melalui inovasi dan formulasi yang tepat untuk proses bisnis dengan tujuan meningkatkan values dari client’s organization.

    3. Solusi yang di implemetasikan harus memiliki failure preventive dan fast recovery dengan sarana dan prasarana pendukung yang tepat, sehingga tidak terlalu mengganggu proses bisnis yang sedang berjalan.

    Well, Saya juga mengakui bahwa konsep solusi yang saya tulis ini masih banyak kekurangan, mengingat konsep ini saya simpulkan dari praktek saya di lapangan, yang notabene kondisinya sangat tergantung dari jenis project. Mohon masukan dari Pak James dan rekan-rekan lain di forum ini agar kita dapat lebih memahami konsep solusi dan mampu menerapkannya di dunia nyata.

  7. Continuously developing process. Inilah kunci dari solusi. Sering sekali saya menemukan konsep solusi yang dianggap sebagai pemecahan masalah. Akibatnya, konsep solusi jadi memiliki arti yang sempit.

    Ada perbedaan mendasar dari konsep solution dan resolution. Konsep solution adalah seperti uraian saya di atas, sementara konsep resolution adalah tindakan yang diambil untuk pemecahan masalah yang timbul.

    Dalam hal ini saya coba untuk memberikan contoh sbb:

    1. Perusahaan A menggunakan Program ERP dari Perusahaan B sebagai solusi untuk efisiensi dan produktivitasnya. Konsultan dari Perusahaan B melakukan deployment program ERP dengan penyesuaian proses bisnis untuk perusahaan A. Anggaplah deployment ini berhasil, sehingga perusahaan A berhasil memperoleh manfaat setelah menggunaan program ERP dari perusahaan B. Ini adalah contoh konsep solusi.

    2. Perusahaan A mengalami masalah entry data pada program ERP dari program ERP dari perusahaan B. Maka Perusahaan B memberikan support dengan mengirimkan technical consultant nya ke perusahaan A dan melakukan perbaikan program sehingga berjalan normal kembali. Pada laporan pekerjaannya, si technical consultant menulis bahwa status problem resolved. Ini adalah contoh konsep resolution.

    Bagaimana pendapatmu Bro?

    1. Aku pikir ini salah satu contoh sederhana tentang continuously developing process yang kerap kita temui di realitas bisnis. Hampir tidak ada obat mujarab yang sekali minum sembuh hehehe……
      Bahkan, seringkali situasi bisa lebih pelik dan kompleks dari contoh ini.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s