Berapa kepala?

The crowd builds up
Image by net_efekt via Flickr

“How many headcounts?”

“Berapa banyak orang?”

Ini yang sering kita bicarakan ketika kita bicara ukuran sebuah organisasi (organization size). Kalau kita bicara ribuan, maka kita menggolongkan sebagai organisasi besar. Tentunya ini berarti besarnya jumlah orang yang harus digaji.

Mungkin dari anda ada yang berpendapat bahwa yang penting adalah profit atau aliran uang yang menentukan besar tidaknya organisasi. Anda juga benar. Bisa jadi organisasi menjadi besar karena modal finansial yang dikelola memang besar, sekalipun jumlah manusianya sedikit.

Tapi apapun ukuran yang dipakai, hitungan jumlah orang, atau hitungan kepala, merupakan hal pokok dalam dunia bisnis umumnya. Mengapa? Karena jumlah kepala adalah jumlah biaya tenaga kerja, yang artinya adalah biaya tetap (fixed cost).

Dan bisnis selalu sensitif dengan besar fixed cost. Berarti, mengurangi atau sekurang-kurangnya menghambat jumlah kepala yang digaji merupakan salah satu cara utama menekan fixed cost. Kalau mau hemat anggaran, pasti jumlah kepala lah yang jadi sasaran. Kalau keuangan kurang sehat, maka jumlah kepala lah yang harus disunat. Itu wajar dan lumrah dalam realita bisnis.

Tapi yang wajar belum tentu benar secara bisnis.

Persoalannya adalah apakah jumlah kepala merupakan indikator sehat tidaknya organisasi dan bisnis? Apakah kualitas dan kinerja organisasi sesederhana banyak atau sedikitnya kepala? Satu pertanyaan kritis yang penting dipertimbangkan adalah: Apakah ketika kita mengurangi jumlah kepala, yang berkurang hanya biaya gaji semata dan beban operasional yang terkait? Bagaimana dengan pesimisme, demotivasi, hilangnya orang-orang berbakat (talents) serta turunnya internal/employee branding di mata kalangan profesional dan tenaga kerja umumnya?

Mengendalikan jumlah orang demi efisiensi dan bagaimana dampaknya pada bisnis selalu jadi simalakama. Dalam konteks Indonesia, mungkin pengurangan jumlah orang tidak terlalu sulit di karyawan level bawah, selama kepatutan legalnya terpenuhi. Tapi hal yang sama tidak berlaku di level menengah ke atas, atau katakanlah level staf. Lebih sulit lagi ketika kita bicara posisi-posisi tertentu yang terkait skill dan expertise spesifik, yang biasanya lebih ‘langka’.

Di sini tampak bahwa nilai satu kepala di level atau departemen tertentu mungkin lebih tinggi dari satu kepala di level atau departemen lain, atau sebaliknya.  Bagi sebuah bisnis, nilai satu kepala di departemen tertentu mungkin setara dengan lima kepala di departemen lain. Lebih jauh lagi, satu kepala bisa bernilai biasa saja di sebuah jenis bisnis tertentu, tapi sangat bernilai di jenis bisnis yang lain.

Modal manusia itu soal investasi. Jadi kita sesungguhnya bicara soal equity, bukan jumlah kepala. Tantangannya adalah bagaimana mengukur equity-nya, yang berarti soal mencari cara memahami nilai dari sesuatu yang tidak terukur (intangible). Sebenarnya ini bukan soal jumlah kepala, tapi kualitas manusia seperti apa yang dibutuhkan oleh organisasi. Inilah dilema dalam realitas organisasi dan bisnis.

Jadi, kalau menurut saya, organisasi dan SDM bukan soal berapa kepala, tapi komposisi orang seperti apa. Yang penting dalam proses kalkulasinya bukan jumlah kepala, tapi besar nilai investasi atau equity dengan orang dan kualifikasi yang  dimiliki. Bisa juga dikatakan bahwa portofolio modal manusia adalah koleksi kualifikasi, bukan jumlah kepala.Organisasi seharusnya menjalankan talent management, bukan headcount management.

Tapi sayangnya, masih banyak orang yang bekerja di bidang manajemen organisasi, masih bermain hitungan kepala. Saya pun tidak bisa memungkiri, bahwa terkadang perhitungan jumlah kepala inilah yang saya kerjakan. Walau saya adalah pendukung berat perubahan framework dari jumlah kepala ke portofolio kualifikasi, tapi seringkali stakeholder dan business partner masih belum berpikiran senada. Bahkan, masih banyak pelaku di bidang manajemen organisasi yang tak jauh beda dengan mereka. Bila terus demikian, kapan kita sungguh bisa benar-benar mengoptimalkan modal manusia?

Bagaimana menurut anda?

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

14 thoughts on “Berapa kepala?

  1. Saya setuju dengan tulisan ini.

    Headcount selalu menjadi indikasi dan penghitungan mulai dari Budgeting sampai dengan laporan pencapaian tahunan. Salah satu Perusahaan dimana saya pernah bekerja, setiap kali kita menghadapi penurunan harga saham, maka bisa ditebak, akan ada ‘redundancy’ posisi demi memperbaiki performance keuangan mereka. Selanjutnya bila harga saham sudah membaik, muncul kebutuhan posisi yang sama….
    Speechless, toh bisnis mereka tetap bertahan dan menggurita 😀

    Masalahnya, apakah bisa menjalankan bisnis dengan menimbulkan kondisi yang kurang sehat di internal organisasi mereka? Tentunya akan berakhir pada pilihan organisasi tersebut.

    1. Hehehe…betul, situasi tersebut kerap kita temui. Saya pikir tergantung bottomline apa yang mereka gunakan sebagai corporate key result indicator. Bahkan banyak yang menerapkan permainana costing sebagai upaya memperoleh kinerja company/organisasi yang ‘bagus’.

      Saya pikir, Mbak. Rovien, akar masalahnya adalah belum kuatnya penerimaan pelaku bisnis terhadap kerangka bahwa manusia adalah investasi. Karena bisa ini sudah dipahami, maka bottom line yang digunakan bukan hanya kinerja keuangan semata, tapi juga balikan investasi. Parahnya, para profesional di bidang human resources dan organizational development seringkali juga nggak bisa menyodorkan business case-nya.

      Selama ini terus terjadi, manusia pastilah cost, dan oleh karenanya, bagus untuk dipotong agar kinerja finansial bagus 🙂

  2. Hitungan kepala ya pak. Di tempat saya juga selalu begitu, terutama ketika mendapatkan proyek. selalu bilang mereka kekurangan orang dan kekurangan orang, dan ketika berpikir sebaliknya “apakah dengan banyak orang pekerjaannya makin berkualitas?”. kalau tidak, maka jawaban yang muncul adalah kita hrs menemukan orang-orang yang berkualitas. Selanjutnya muncul sanggahan, kalau membutuhkan orang yang benar-benar berkualifikasi ya benar-benar membutuhkan jam terbang yang tinggi atau dengan kata lain pengalaman bertahun-tahun. Jadi lebih baik, dicari saja orang sebanyak mungkin sehingga nanti terlihat mana yang benar berkualifikasi. dampaknya tentu di bengkaknya cost gaji.

    1. Dear Nielsen, kalau mau cari orang sebanyak mungkin, saya yakin bahwa perusahaan manapun akan menolak karena anggarannya terlalu besar. Menurut saya, cara terbaik adalah kebijakan management untuk meningkatkan skill dan performance karyawan melalui training dan seminar. disamping itu management juga harus melakukan evaluasi dan perbaikan tata cara kerja dan nilai-nilai budaya perusahaan agar perusahaan bisa lebih baik. Hal ini tidak mudah, tapi bisa dilakukan. kuncinya adalah commitment untuk berubah.

      1. Ok pak Glenn, terima kasih buat pendapatnya. Hanya saja, memang permasalahannya lebih ke arah komitmen utk berubah tersebut.

    2. Kalau begitu situasinya, Nielsen, ya sepertinya tempatmu belum punya arah dalam pengelolaan SDM nya, terutama terkait kinerja. Ini masih Ok selama bisnis belum besar sekali. Tapi kalau sudah banyak orang yang terlibat, bisa sangat kompleks tantangannya. Yang penting harus segera dirumuskan adalah orientasi ke depannya gimana.

      1. Setuju Pak James, misi dan visi dari organisasi menentukan arah pengembangan organisasi agar tetap sustain. Dalam hal ini, misi dan visi organisasi juga merupakan salah satu dasar pencapaian target organisasi.

        Misi dapat saya katakan short term organisasi yang harus segera dicapai dalam suatu periode yang ditetapkan, sedangkan visi adalah long term nya. disinilah organisasi dapat menentukan pengembangannya melalui Kerangka Business Plan dan penerapannya dilapangan, serta evaluasi dan tindaklanjutnya. Kerangka Business Plan ini juga dipakai untuk mendrive SDM sehingga solid dan mempermudah kolaborasi di lapangan, walaupun dalam keadaan yang urgent sekalipun.

  3. Dalam Organisasi, biasanya terdapat dua macam karyawan, yaitu karyawan tetap dan karyawan kontrak. Biasanya, apabila karyawan ini masih berstatus fresh graduate atau baru bekerja, perusahaan menerapkan system kontrak. Tujuannya adalah sbb:

    1. Melihat cara bekerja karyawan tersebut dan mengukur tingkat kesesuaiannya dengan jenis pekerjaan dan budaya perusahaan. Hal ini termasuk cara karyawan baru tersebut membangun komunikasi dan berinteraksi dengan rekan kerja, bawahan (jika ada), maupun atasannya.

    2. Mengukur tingkat loyalitas karyawan tersebut terhadap perusahaan.

    3. Mengukur komitmen karyawan untuk bekerja di perusahaan melalui absensi, kesiapan dalam menerima dan melaksanakan pekerjaan hingga selesai secara bertanggung jawab.

    Untuk pekerja professional dengan talent tertentu / spesifik, biasanya perusahaan akan melakukan direct recruitment dan biasanya langsung berstatus karyawan tetap dan umumnya langsung memegang jabatan tertentu.

    Bicara soal kualitas dan efisiensi SDM di suatu perusahaan, saya rasa semuanya tergantung dari pihak mangement, sehingga standartnya sangat bervariasi. Memang, SDM berkualitas harus dibayar “mahal”, tapi tentulah sebanding dengan kualitasnya. Hal ini sama saja dengan anda berinvestasi, katakanlah saham properti. Untuk properti yang berkelas High End, pastilah bermodal besar, dan menjanjikan keuntungan yang besar pula.

    Satu hal yang harus disadari disini adalah kemampuan manusia masih bisa ditingkatkan bahkan bisa melewati batasan maksimumnya jika yang bersangkutan mau. Karena itu dari pada rekrut orang banyak-banyak tapi kemampuannya standar-standar saja, lebih baik tingkatkan kemampuan SDM yang ada hingga maksimum atau lebih, asalkan dia sanggup.
    Jika rekrut orang baru pun, karyawan senior harus melakukan duplikasi kemampuannya kepada rekan kerja baru nya, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan efisien dan tepat. Once again, Collaborative Business Operation will provide highest efficiencies with the best result to help corporate sustainable growth.

    1. Itulah kenapa kalau bicara pengembangan dan duplikasi kemampuan, saya selalu mengangkat perspektif talent. Sayangnya, talent management adalah soal investasi, sedangkan investasi SDM dalam organisasi sepertinya belum banyak dipahami pelaku bisnis. Kenapa, ya karena paradigma ‘berapa kepala ‘ ini. Kalau ini sudah dipahami, maka kita bisa akan bicara lebih jauh tentang collaborative business operation.

      1. Memang benar bahwa paradigma “berapa kepala’ selalu menjadi kendala bagi para pelaku bisnis, soalnya image “MENAMBAH OPERATIONAL COST” bertentangan dengan paradigma “COST SEKECIL-KECILNYA UNTUK PROFIT SEBESAR-BESARNYA” yang udah nempel di kepala para Boss.

        Tetapi bagaimana jika kita menumbuhkan beberapa pola pikir baru mengenai transformasi budaya dan kinerja organisasi untuk menjembatani kedua hal di atas?

        1. Transformasi dapat saya jabarkan sebagai perubahan fundamental dengan mengubah pola pikir, memiliki sifat strategik dengan tujuan jangka panjang yang jelas, dan bersifat holistik karena dilakukan secara komprehensif.

        2. Transformasi budaya dan kinerja harus memiliki metode yang sistematis yang mana hal ini membutuhkan keseriusan dan upaya keras dalam pelaksanaannya.

        3. Proses Transformasi dilakukan melalui strategi jitu dengan penerapan secara konsisten, komitmen dan disiplin tinggi, dan melalui tahapan-tahapan yang jelas.

        4. Tumbuhnya kesadaran bahwa upaya transformasi membutuhkan SDM berkualitas, uang dan waktu sehingga dapat dikatakan sebagai multi years program.

        5. SDM berkualitas dapat memberikan pola pikir dan distribusi yang mampu mendorong perkembangan organisasi walaupun memerlukan investasi yang tidak kecil, tetapi pastilah sebanding dengan kemajuan organisasi.

        6. Investasi SDM dapat dilakukan secara tepat dalam arti disesuaikan dengan business process requirements, dimana acuannya adalah right man on the right place sehingga mampu memaksimalkan revenue and productivity dari organisasi tersebut.

        7. Perbandingan yang harus dilakukan dilakukan para pelaku bisnis adalah ROI atas investment vs Revenue and productivity for sustainable growth program.

        Saya yakin kalau perubahan paradigma ini tidak mudah, tetapi bisa dilakukan melalui sosialisasi dari pihak kampus maupun institusi business management lainnya kepada para pelaku bisnis melalui undangan seminar atau kegiatan lainnya. Apakah dari kampus WM sudah ada program semacam ini?

      2. Hehehe….sosialisasi itu sebuah masalah tersendiri lagi. Bukankah di negeri ini sudah begitu banyak sosialisasi?
        WM aku kurang tahu, Glenn. Kan sudah nggak di WM lagi. Tapi sebenarnya bukan kampus yang harus push, tapi juga user harus pull.

  4. Masalah jumlah orang dalam sebuah organisasi seringkali dijadikan sebagai sebuah kambing hitam untuk mengindikasi problem budget yang dialami berbagai perusahaan. Inilah yang seringkali menjadi jebakan maut bagi para pelaku bisnis. Dengan mengurangi jumlah orang sebagai suatu bentuk solusi atas masalah budget tahunan menurut saya justru akan menimbulkan dampak yang cukup variatif dan mungkin akan sulilt dikendalikan karena akan menjadi benang kusut yang seringkali ujung-ujungnya membuat orang menjadi bingung harus mulai darimana untuk memperbaikinya.
    Saya lebih suka melihat masalah jumlah kepala sebagai sebuah akibat yang muncul karena ada masalah lain dibaliknya. Atau mungkin sebagai sebuah solusi prematur yang diambil mengingat kemendesakan situasi. Dan tentunya kalau mau mencari solusinya harus lebih melihat pada apa yang menjadi akar masalahnya baru kemudian hitungan jumlah orang mengikuti.
    Hal tersebut terutama jika akar masalah tersebut muncul dari key person yang memegang kendali keputusan dalam sebuah perusahaan, akan sangat sulit untuk mengatasinya. Akar masalah masih ada tapi solusi prematur yang diambil waktu itu dikurangi, Anda bisa bayangkan akibatnya? Situasi yang ada akan kembali pada saat pertama kali akar masalah muncul ke permukaan.
    Bagaimana menurut Anda?

  5. Setuju. Sebenarnya menghitung jumlah kepala adalah strategi paling mudah yang diambil dengan asumsi bahwa ini solusi paling praktis. Artinya, paling gampang ya kurangi jumlah orang, atau naikkan jumlah orang.
    Ini yang disebut oversimplifikasi. Memainkan jumlah orang ini merupakan salah satu praktek oversimpplifikasi yang paling sering dilakukan, terutama ketika pimpinan bisnis dijangkiti ketidakmampuan melihat akar masalah sistemik yang menjadi penyebab sebenarnya.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s