Beberapa tahun lalu, ada iklan rokok yang dikenal dengan tagline “asyiknya rame-rame”. Itu membuatku pernah berpikir bahwa kalau yang namanya melakukan sesuatu secara rame-rame itu akan bikin apapun lebih asyik. Tapi tampaknya, tidak demikian. Setidaknya, berdasar pengalamanku, rame-rame itu tidak selalu enak.
Tapi, sekarang ini, rame-rame jadi hal yang istimewa. Lihat saja, menyanyi rame-rame lagi jadi trend dimana grup-grup boyband dan girlband banyak terbentuk. Memang sebagian orang beranggapan karena ini ketularan trend Korean pop yang bertabur boyband dan girlband. Tapi memang kenyataannya, menyanyi secara gerombolan ini terbukti menarik penggemar.
Nonton bola rame-rame sekarang juga makin ngetrend, Entah itu nonton bareng alias nobar di kafe-kafe, di perumahan, atau bahkan di poskamling. Nonton bola di stadion pun kini bukan hanya didominasi oleh suporter, tapi juga orang kebanyakan yang bukan penggemar bola. Bahkan, sampai memakan korban jiwa. Seorang penonton yang meninggal terinjak-injak massa waktu final sepakbola Sea Games 2011 kemarin ternyata bukan penggemar bola. Dia hanya ingin nonton karena nonton rame-rame itu asyik.
Hang-out rame-rame di mal yang dulu mungkin acara weekend, sekarang acara setiap hari. Bersepeda juga lagi trend untuk dilakukan rame-rame. Aku sendiri sering ingin ikut hunting foto rame-rame, walau sering nggak sempatnya daripada sempatnya. Ada juga bentuk populer lain dari rame-rame ini, misal antre beli sandal merek tertentu dan smartphone merk tertentu, sebagaimana diberitakan media. Ini sama halnya dengan midnight sale yang sering kita jumpai. Menurut banyak analis di media, ini karena konsumerisme. Aku kok melihatnya agak berbeda. Sepertinya, ini bukan soal diskon yang ditawarkan, tapi justru asyiknya rame-rame.
Atau mungkin memang kita sekarang merasa lebih happy, eksis dan pede kalau kita melakukan sesuatu dalam bentuk gerombolan? Hehehehe…
Memang sudah lama kita semua tahu, bahwa untuk beberapa hal, memang lumrah dan lebih nyaman kalau kita melakukan berbarengan. Biasanya ini berlaku untuk hal-hal yang kita tidak nyaman lakukan sendiri. Atau lebih tepatnya, kita butuh rame-rame alias bergerombol ini untuk melakukan hal-hal yang kalau kita lakukan sendiri kita menjadi merasa tidak nyaman atau bersalah, yang istilah kerennya deindividulisasi. Misalkan demonstrasi atau protes, kalau sendirian pasti banyak yang nggak berani. Jangan memakai contoh almarhum Sondang Hutagalung, karena pribadi pemberani macam almarhum itu jarang sekali.
Ada lagi contoh yang sering kita temui, yaitu ngomongin hal yang tidak pasti atau tidak benar tentang orang lain. Kalau ngomong hal yang tidak benar atau tidak pasti, kita takut resikonya. Tapi kalau kita ngomonginnya rame-rame, maka kita akan merasa lebih nyaman, karena berbagai persepsi simpang siur yang terbentuk akan menyamarkan omongan kita. Kalau sudah begitu, resiko dan tanggungjawab kita menjadi lebih kecil. Ini mirip seperti konsep diversifikasi resiko dalam risk management. Situasi ini yang sering kita kenal sebagai rumor alias gosip dan provokasi.
Lalu, kenapa sekarang acara rame-rame ini juga terjadi untuk hal-hal yang kita seharusnya tidak malu atau tidak perlu bikin kita tak nyaman kalaulah kita harus lakukan sendirian? Belanja, atau membeli handphone diskon, atau nonton bareng, atau bersepeda. Itu semua kan bukan hal aneh kalau dilakukan sendiri, ya nggak? Tampaknya perilaku rame-rame ini sudah benar-benar menjadi dictation of the mass, dimana semua orang justru merasa rame-rame itu sendiri adalah sebuah trend. Jadi, ini mungkin bukan lagi soal mencari cara nyaman melakukan sesuatu. Ini mungkin bukan soal cara melakukan, tapi justru rame-ramenya itu yang penting. Yang dilakukan malah mungkin nggak penting.
Rame-rame menjadi budaya urban, mungkin begitu cara menyampaikan dengan bahasa yang lagi keren sekarang di kalangan para analis hehehe…..Akibat rame-rame ini luar biasa. Banyak seakrang cewek-cewek bergaya ala girlband……yes, girlband looks define beauty! Ini tampaknya mengikuti pola rame-rame yang sebelumnya sudah ada, misal football as religion dan gadget as culture. Banyak juga sekarang, di era industri kreatif, rame-rame menonoton konser atau menghadiri pagelaran seni, padahal juga ngga begitu selera dan minat dengan seni. Yang penting kan rame-ramenya……
Ini semua, entah bagaimana, malah mengingatkanku pada sebuah film pemenang Academy Award 2006 yang berjudul Crash (disutradarai Paul Haggis). Dalam film itu, ada kalimat dari salah satu tokoh (kalau nggak salah, tokoh ini diperankan Don Cheadle) yang aku selalu ingat. Kurang lebih, begini kalimatnya: “Diri kita begitu sepi sehingga kita menubrukkan diri kita ke orang lain.”
Jangan-jangan kita ini makhluk-makhluk kesepian, sehingga ingin melakukan apapun dengan rame-rame. Karena yang penting rame-ramenya…….
Posted with WordPress for BlackBerry.
Rame-rame itu ciri orang yang takut kesepian, ga otentik, ikut-ikutan, dan malas berpikir sendiri. Ini sebenarnya salah satu masalah utama bangsa kita, yakni mentalitas massa, mulai dari rame-rame nongkrong, beli gadget, korupsi, sampe rame2 bunuh orang. Yang bagus menurutkut adalah seimbang, yakni tau kapan harus rame2 (acara keluarga, reuni, sosialisasi), dan tau kapan harus sendiri (refleksi, menimbang-nimbang membuat keputusan) Nah “pengetahuan” semacam itu yang memang harus kita punya.
Hahahahaha…..telak nih kritiknya 🙂
Ya aku setuju, seringkali perilaku rame-rame ini dianggap sebuah bentuk kebebasan dan demokrasi. Ini mungkin terkait dengan trend di negeri ini, dimana vox populi vox dei diartikan dengan sempit, yaitu apapun yang dilakuakn secara gerombolan alias rame-rame berarti benar.
Memang trend itu salah satu hal normal dalam sebuah budaya dan peradaban. Sayangnya, dalam beberapa hal, trend tidak selalu bisa bisa dikritisi oleh kebanyakan orang hehehe… Yah….agak miris memang melihat ini….