Catatan ketiga seputar OD di 2012 ini bisa jadi salah satu tulisan yang butuh waktu lama untuk menyelesaikan. Tapi akhirnya jadi juga….

Yang saya angkat disini mungkin bukan sesuatu yang disukai kawan-kawan yang meyakini konsep negara kesejahteraan (welfare-state). Mengapa? Karena melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kita berefleksi atas kemungkinan bahwa dunia sedang bergerak ke kondisi dimana peran negara digantikan oleh dunia bisnis. Ini dalam artian bahwa kesejahteraan sosial akan disediakan oleh bisnis atau dunia usaha, bukan pemerintah. Businesses are the new public welfare providers, not just state government!
Bagi yang setuju pendapat ini pasti akan berkata: “Ya iyalah, sekarang aja sudah begitu!” Sementara yang sangat tidak setuju, mungkin sudah panas hati dan menganggap saya kapitalis bejat, liberalis sejati, neo-liberal atau apapun yang konotasinya relatif jelek-jelek……hehehehe….
Saya ingin garisbawahi satu hal disini: Suka tidak suka, kehidupan saat ini sudah menjadi sangat kapitalistik, bahkan dalam kehidupan mereka-mereka yang menyebut dirinya sosialis. Semua orang pada kenyataannya berusaha memperebutkan modal, entah itu modal finansial, natural, manusia, ide atau apapun. Itu suatu hakekat dalam bisnis, dan juga nilai dasar kapitalisme. Bahkan ekonomi kemunitas pun mengikuti pola kapitalisme. Itu semua karena pada dasarnya semua hal yang terkait bisnis, dunia usaha dan kesejahteraan ekonomi adalah berhakikat kapitalis.
Pertanyaannya kan bagaimana agar kapitalisme yang ada benar-benar berguna secara positif.
Melihat secara jernih…..
Jadi, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak jadi norak secara ideologis, dan melihat secara sempit dalam kacamata kapitalis ‘neo liberal versus sosialisme kerakyatan’ itu. Saya mengajak kita melihat dengan kepala dingin dan mencari peluang untuk membangun masa depan yang kontruktif bagi kesejahteraan umum. Dalam perspektif ini, saya melihat bahwa organisasi bisnis sedang menjadi andalan yang lebih penting daripada pemerintah dalam upaya menopang kesejahteraan umum (public welfare).
Kini, makin sering kita lihat beragam bisnis yang merekayasa sedemikian rupa pola kerja dan lingkungan kerjanya sedemikian rupa agar orang-orang yang bekerja merasa nyaman dan sejahtera. Dimulai dari penyediaan setting tempat kerja yang lebih nyaman, proses kerja yang lebih team-oriented dan less bureaucratic, kepemimpinan yang menghidupkan employee engagement dan bukan semata reward-punishment. Ini bukan hanya terjadi di sektor jasa, tapi juga mulai diterapkan di industri manufaktur. Tampaknya, main banyak bisnis menyadari bahwa mereka butuh SDM mereka bekerja sepenuh hati agar bisa berkontribusi optimal, dan untuk itu, bisnis perlua menyediakan fasilitasi yang membuat mereka merasa sejahtera dan kerasan. Untuk tujuan ini, mereka melakukan segala hal yang bisa menimbulkan rasa sejahtera bagi SDM dan bahkan masyarakat (yang dipandang sebagai stakeholder penting juga oleh banyak bisnis).
Jadinya, kita sekarang melihat bahwa banyak orang yang tadinya tidak bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, jadi bisa melakukannya karena beasiswa perusahaan. Kita juga melihat bahwa asuransi perlindungan kesehatan yang bagus umumnya diperoleh dari tempat kerja, bukan dari pemerintah. Pengembangan masyarakat seringkali justru ditopang oleh dana corporate social responsibility (CSR) dari dunis bisnis, yang kerapkali juga lebih transparan daripada uang pajak. Bahkan sekarang mungkin lebih mudah buang air kecil di toilet-toilet yang disediakan bisnis-bisnis seperti SPBU, hotel, perkantoran dan mal daripada mencari toilet umum.
Ini makin dilengkapi kondisi dimana taman-taman umum yang dikelola perumahan, atau yang pengelolaannya disponsori oleh bisnis, biasanya lebih baik. Di Surabaya misalnya, Taman Bungkul yang iconic bagi kota Surabaya, sempat pada suatu masa tidak terawat, sebelum PT Telkom mensponsori penataan ulang dan pengelolaan barunya. Kini, dia menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat yang populer. Sebaliknya, Taman Tugu Pahlawan yang seharusnya lebih iconic lagi untuk Kota Pahlawan, malah kalah terawat dan populer. Mungkin karena belum ada sponsornya hehe…..
Menafsirkan secara bijak……
Namun, saya ingin ingatkan disini agar kita tidak terjerumus dalam pengartian bisnis yang sempit. Melalui state-owned enterprise atau BUMN, pemerintah sebenanrya juga ikut bermain dalam dunia bisnis. Jadi bisnis tidak sama dengan anti-pemerintah. Bahkan lebih jauh, sampai taraf tertentu, sistem pemerintahan mungkin harus dikelola dengan kerangka bisnis. Secara sederhananya, pemerintah bisa dan perlu dikelola seperti bisnis. Menurut saya ini penting karena pada saat ini kemampuan dunia bisnis menyediakan benefit, menyediakan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, mengumpulkan SDM berkualitas serta menyediakan dukungan bagi pembangunan masyarakat tampak lebih baik dibanding pemerintahan. Lihat saja bagaimana benefit dan penyediaan fasilitas pendidikan oleh bisnis seringkali lebih baik daripada negara/pemerintah. Hal yang sama pada pelayanan kesehatan.
Terkait dengan pengelolaan, bisnis lebih bertanggungjawab karena segala resiko yang dihadapinya. Sementara institusi pemerintahan seringkali tidak peduli karena tak merasa memiliki resiko. Misal, bisnis takut ditinggal konsumen, sementara pemerintahan tidak kuatir ditinggal wajib pajak. Dalam bisnis, inovasi dibudayakan karena kebutuhan untuk tetap menjadi yang terdepan dalam memberikan pelayanan. Sementara di institusi pemerintahan, inefisiensi dan alokasi sumberdaya yang ngawur tanpa mengindahkan kualitas pelayanan sangat mudah terjadi karena adanya back-up berupa peraturan dan anggaran negara. Kalau sudah begitu, mengharapkan inovasi bagai jauh panggang dari api.
Saya juga perlu garis bawahi bahwa saya bukan sedang mempromosikan privatisasi. Seringkali, bisnis diidentikan dengan private ownership. Ownership tidak selalu harus private, tapi bisa state-owned dengan PSO (public service obligation)-nya. Kehadiran Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN menurut saya merupakan sebuah memonetum yang bagus. Dahlan Isakan dengan caranya yang ‘memaksa’ profesionalisme dan tata kelola bisnis diterapkan dalam operasional BUMN menunjukkan arah yang menjanjikan. Keberadaan Walikota Solo Joko Widodo dengan management by walking around, suatu pola manajemen dengan pendekatan turun ke lapangan secara rutin, juga merupakan contoh yang sangat bagus. Ini semua praktek bisnis yang diimplementasikan ke wilayah kesejahteraan publik. Ini semua berbeda dengan mainstream culture tata kelola pemerintahan yang penuh dengan birokrasi dan acara-acara dan retorika-retorika yang tidak jelas gunanya dan rawan penyalahgunaan.
Ada juga contoh selain BUMN, semisal koperasi dan community-owned business seperti desa (banjar) di Bali yang menjalankan bisnis desa wisata atau eco-village atau konsep bisnis lainnya dalam bentuk kolektif. Bisa juga model state capitalism ala RRC, dimana BUMN menjadi tangan utama pemerintah dalam mendominasi ekonomi negara, namun dengan menggandeng dan menumbuhkan banyak mitra swasta. Sehingga dominasi pemerintah dalam ekonomi lebih bertujuan untuk menjaga keseimbangan. Dalam konteks China, sebenarnya pemerintah tak ubahnya sebagai sebuah holding company atau konsorsium bisnis raksasa.
Dimana peran OD?
Hakikatnya OD adalah upaya mengembangankan organisasi. Maka, saya melihat bahwa trend ini merupakan sebuah panggilan bagi praktisi OD dan siapapun yang passionate dengan OD untuk menemukan roadmap perubahan terbaik dan bagaimana menerapkannya. Tentu ini tak sebatas pada struktur dan meknaisme kerjanya, namun juga bicara soal pembelajaran dan pembentukan budaya. Ini mungkin yang menjadi tantangan terbesar.
Ada dua sisi dalam tantangan ini. Pertama, mengubah budaya business as usual menjadi budaya yang sadar bahwa dunia bisnis adalah pilar penting dalam kesejahteraan umum; dengan kata lain lebih memiliki perspektif terbuka. Kedua, mengubah budaya ‘keistimewaan sebagai pemerintah’ menjadi budaya yang sadar bahwa penyediaan kesejahteraan umum adalah proses bisnis, bukan segebok retorika dan pengumbaran sumberdaya semata.
Tampaknya, banyak sekali eksplorasi dan inovasi yang bisa dan harus diterapkan di sini. What do you think?
Aku menyebutnya Business 2.0. Bisnis 1.0 menggunakan segala cara untuk meraup untun, termasuk dengan merusak alam, menginjak hak-hak pekerja, merugikan konsumen, dan memanipulasi politik. Sementara business 2.0, sebagaimana kamu jabarkan di atas, memiliki kepedulian tinggi pada hak-hak asasi manusia, berniat mendidik konsumen, peduli pada kesejahteraan umum, dan bekerja sama mencari proses-proses produksi-distribusi-konsumsi yang peduli kelestarian lingkungan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kesadaran akan business 2.0 ini bisa lebih tersebar ke berbagai bidang di Indonesia? Masih banyak sekali pengusaha dan praktek-praktek bisnis yang menggunakan paradigma business 1.0.
Menurutku Za, sekalipun banyak yang old school, tapi jumlah yang berubah makin hari makin banyak. Makin banyak bisnis yang menerapkan hal-hal yang mengarah pada peningkatan welfare, baik untuk internal organisasi maupun lingkungan sekitar. Di Indonesia yang relatif ketinggalan pun banyak yang mulai sadar.
Sebaliknya, di institusi pemerintahan, arah perkembangannya tidak begitu positif.
Ak ga punya data pasti soal ini. Tapi dari simple observation, dan gaul kiri kanan-baca kiri kanan, ak hampir ga menemukan perkembangan paradigma di dalam praktek-praktek bisnis, terutama di bisnis-bisnis keluarga di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya, bisnis-bisnis seperti perkebunan justru menghancurkan ekosistem setempat, dan menginjak hak-hak warganya. Kasus2 yang diekspos media beberapa waktu lalu hanya puncak gunung es dari masalah yang sebenarnya amat luas dan dalam; kerakusan bisnis dalam meraup modal dengan menghalalkan segala cara. Sulit untuk membayangkan mereka menjadi agen pembaharu yang peduli pada kebaikan bersama, seperti yang kita harapkan bersama. Tapi sekali lagi, ak ga punya data cukup kuat untuk Indonesia.
Aku setuju kalau secara umum memang yang progresif begini adalah monoritas. Tapi jumlah minoritas ini makin meningkat, karena aku melihat makin bertambahnya bisnis yang mengadopsi prinsip-prinsip ini, dan sadar bahwa investasi ini penting untuk sustainability.
Tapi disitulah titik beratnya, yaitu bahwa sustainability itu penting bagi bisnis yang sudah besar. Sementara bisnis yang belum besar, ketika kondisi sulit bersaing, opsi pailit dan alih modal ke bentuk bisnis lain tampaknya lebih menarik dan praktis daripada investasi jangka panjang. Maka dari itu, bisnis kelas menengah yang public equity-nya belum besar malah malas mengadopsi ini.
Any thoughts?