Salah satu ciri dari era human capital adalah skill value. Oleh sebab itu tidak aneh apabila banyak bisnis berupaya serius dalam berinvestasi dalam peningkatan skill, dan bahkan rela berinvestasi dalam jumlah yang cukup besar untuk memastikan peningkatan skill tersebut. Harapannya jelas agar investasi tersebut bias terbayar kembali dalam jangka waktu tertentu, diikuti dengan kinerja bisnis yang lebih baik, sehingga terdapat yield atau peningkatan imbal hasil yang lebih tinggi bagi bisnis.
Tapi peningkatan skill ini bukanlah hal yang terukur dengan mudah.
Walau ada ukuran untuk value investasi dan imbal hasil yang cukup efektif, namun salah satu yang paling popular adalah sertifikasi. Sertifikasi dipandang sebagai sebuah pengukuran nilai terhadal standard industry yang relevan, sehingga diasumsikan sebagai ukuran yang akurat. Sekali lagi perlu digarisbawahi adanya kata ‘diasumsikan’ di situ. Ini penting, karena di situlah elemen kunci dari sistem sertifikasi, yaitu adanya lembaga standarisasi untuk memastikan sertifikasinya terjamin, dan pengguna sertifikasi berasumsi bahwa siapapun dengan skill tersertifikasi dengan sendirinya akan membawa nilai tambah dan imbal hasil.
Secara konsep ini benar. Tapi penting sekali untuk diingat bahwa sertifikasi hanya mencerminkan metode proses dimana skill tertentu diajarkan, sehingga peserta sertifikasi akan bisa melakukan skill tersebut. Pendek kata, sertifikasi adalah ukuran pengetahuan.
Tapi, apakah peserta sertifikasi yang lulus dengan otomatis bis amenerapakannya dengan baik, itu sama sekali soal lain. Karena sertifikasi hanya ukuran pengetahuan, bukan ukuran sejauh mana pengetahuan itu dituangkan dalam tindakan bisnis yang bernilai tambah.
Jadi, seperti hal nya ijazah sekolah, sertifikasi pada prinsipnya juga sama. Bila dalam kenyataan, ada orang yang pendidikan dan latar belakang keahliannya OK, tapi aksi nyata tidak OK – dan sebaliknya ada yang pendidikannya biasa saja, tapi secara nyata adalah ahli dengan hasil yang nyata, ini juga sama dengan sertifikasi.
Seperti yang dikatakan Dave Ulrich, sertifikasi tidak selalu berarti kompeten.