OD di 2012 – Catatan pertama: New industrial relationship?

source: Wikipedia commons

Sebagai appetizer awal tahun, saya ingin berbagi hal-hal yang tampaknya bisa menjadi hal yang menarik untuk dicermati di tahun 2012. Tentu ini terkait dengan OD, karena saya pekerja OD juga. Setidaknya, ada tiga catatan untuk 2012, dari kacamata seorang pekerja OD, dan ini adalah bagian pertama: New industrial relationship?

Dunia baru dalam konteks hubungan industrial (industrial relationship)

Lazimnya, ketika ketika bicara hubungan industrial, kita bicara serikat pekerja atau serikat karyawan. Satu paket dengan hal itu, kita bicara pemenuhan upah normatif dan negosiasi antara perusahaan dan serikat (union). Yang tampak jelas di dinamika yang seperti ini adalah collective bargaining melalui sistem perwakilan. Perusahaan maupun pekerja sama-sama diwakili oleh representasi formal yang duduk dalam meja perundingan. Representasi ini bisa macam-macam bentuknya, mulia dari wakil manajemen bertemu langsung dengan wakil karyawan, sampai yang melalui pihak ketiga berupa asosiasi dan ‘elite’ serikat pekerja.

Tampaknya, dari waktu ke waktu, mekanisme ini hanya menjadi tawar-menawar antar para ‘wakil’, yang biasanya para elite dari masing-masing pihak.

Ini mungkin tidak aneh, karena kita juga melihat dalam politik demokrasi perwakilan di konteks negara dan global juga terjadi hal yang sama. Para representatif ini makin sibuk bermain agenda, yang lebih mesebagai komoditas dalam political bargaining dan menjauhi esensi awal dalam mencari titik temu demi kesejahteraan bersama. Ini tampak sangat nyata dalam politik di Indonesia, dimana rakyat tak lagi merasa terwakili oleh institusi demokrasi perwakilannya.

Anda boleh berdiskusi dan berargumen tentang apakah ini baik atau tidak, apakah ini berbahaya atau tidak. Terserah anda. Saya justru mencoba melihat bahwa ini adalah sebuah dinamika yang natural, bukan soal baik dan buruk.

Saya menduga bahwa di 2012, dinamika yang sebenarnya natural ini akan membuat pergeseran yang lebih jelas. Jika kita melihat trend perubahan dinamika politik saat ini, kita melihat bahwa demokrasi perwakilan mulai digantikan dengan demokrasi media. Peran partai politik secara konvensional mulai digantikan oleh opini publik dan trend yang dibentuk melalui media massa serta social media.

Postgrau gestió museística- webinar with Nancy...
Image via Wikipedia

Dinamika baru hubungan industrial di Indonesia?

Pola yang sama juga terjadi di dalam dunia kerja, termasuk dalam konteks hubungan industrial. Dalam konteks hubungan industrial sekarang, kita lebih sering melihat karyawan atau pekerja berkomunikasi dan bergosip melalui social media; ketimbang melihat mereka hadir dalam rapat serikat pekerja.

Social media jelas lebih mudah diakses daripada rapat serikat, karena ada beragam jejaring sosial, online chat/messenger, blog, forum, dan website yang bisa diakses melalui komputer maupun alat komunikasi digital lain seperti handphone. Untuk karyawan yang bekerja di perusahaan yang cukup maju, bahkan tersedia online chat dan beragam media komunikasi lain yang bisa menghubungkan sesama karyawan. Melalui media-media komunikasi ini, bisa terjadi diskusi konstruktif, obrolan bergosip, gurauan-gurauan konyol atau bahkan pembicaraan-pembicaraan sensitif.

Ini sebenarnya juga tidak semata terjadi pada pola komunikasi antar karyawan, yang dulu berpusat pada rapat-rapat para elit yang terjadwal dengan segala administrasi, birokrasi dan tradisinya. Pelatihan dan diskusi pembelajaran yang dulu identik dengan berkumpul di sebuah ruangan untuk mendengarkan ceramah dari instruktur atau pembicara, kini digantikan dengan media seperti webinar, self access IT-based training, digital library dan online forum. Bahkan teknologi media sekarang sudah memungkinkan beberapa orang di belahan duni yang berbeda mengerjakan sebuah digital document yang sama secara bersama-sama.

Ini adalah era baru relasi dan interaksi sosial yang dibangun melalui pilar-pilar sosial baru, yaitu institusi-institusi berbasis jaringan teknologi. Dan, acara-acara macam rapat majelis dan sidang para anggota dewan makin menjadi seremoni-seremoni untuk mengenang tradisi. Sementara, esensi interaksi, relasi, komunikasi dan negosiasi sudah dikelola langsung dalam jaringan-jaringan informal yang bergerak cepat dan melibatkan siapapun yang mau terlibat.

Hubungan industrial sedang mengalami redefinisi. Itu pikiran saya. Bagaimana menurut anda?

Sampai jumpa di catatan yang berikutnya: Oversupply of ideas?

Posted from WordPress for BlackBerry.

8 thoughts on “OD di 2012 – Catatan pertama: New industrial relationship?

  1. Redefinisi berjalan setiap waktu James, tentang segala sesuatu. Kemajuan luar biasa teknologi informasi dan komunikasi ini mempercepat terjadinya redefinisi segala aspek kehidupan manusia, dari yang paling publik, sampai yang paling privat. Pertanyaannya tetap, dimana posisi kita dalam redefinisi radikal yang sedang terjadi sekarang ini?

    1. Change is a living thing, my friend 🙂
      Posisiku, seperti yang kutuliskan, adalah bahwa redefinisi itu alami dan harus terjadi. Sistem perwakilan yang jamak kita kenal sudah mulai obselete dan tak lagi fit in dengan dinamika masyarakat saat ini, dan di masa depan.

  2. Saya masih awam pak dalam dinamika industri.
    Dan hingga saat ini belum bisa mendefinisikan dengan baik arti dari profesi dan profesional. Pada satu sisi, kita dituntut untuk menyelesaikan tugas yg diberikan (dlm konteks ini adalah agenda2 yg menjadi tujuan utama) dan disisi lain kita dihadapkan pada etos kerja, nilai2 diri – sosial, dan sebagainya. Mungkin hal yg sama juga terjadi dalam para elit representatif itu.

    1. Betul, Ton. Memang dilema itu selalu ada dan melekat pada tanggungjawab apapun. Itu yang menurutku merupakan makna profesionalisme, bukan soal gelar atau dandanan atau kartu nama.
      Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: Bagaimana caranya bisa fleksibel dan pragmatis, tapi tidak kehilangan prinsip dan idealisme?
      Ini seperti yang sering diistilahkan oleh Barack Obama sebagai pragmatic idealism 🙂 Walau ada banyak orang yang bilang ini tidak mungkin, aku malah melihat dan mengalami bahwa ini adalah mungkin 🙂

  3. Hi Pak James,,

    klo ngebaca dari tulisan ” Tampaknya, dari waktu ke waktu, mekanisme ini hanya menjadi tawar-menawar antar para ‘wakil’, yang biasanya para elite dari masing-masing pihak.”

    trus gimana dunk cara kita as rakyat ini untuk reduce para wakil kita yang ky’ begono,,
    bisa brabe dunk nasib kite2,, hiks hiks hiks,, harusnya ada yang ngontrol,, atooo,,, jangan2 yang ngontrol punya bergaining lagi..

    klo dah gitu,, pangkas 2 generasi saja Pak,, hahahaha…..
    biar generasi yang baru,, masih pada putih kertasnya…

    1. Hehehe…wakil rakyat jadi begitu ya karena rakyat. Ada dua hal tepatnya, yaitu bahwa karakter wakil rakyat itu berasal dari karakter rakyat, dan mereka berani begini begitu karena tahu bahwa rakyat akan membiarkan mereka.

      Mungkin bukan sesederhana bagaimana mengontrol wakil rakyat, menurut saya. Karena memang mengontrol sendiri pasti sebuah bentuk bargaining juga. Memang secara idelis, mengontrol itu harus strict dan not negotiable. Tapi itu kan tidak sesuai kenyataan. Kenyataannya, elit-elit representatif yang buruk pasti berasal dari masyarakat yang mentolerir, membiarkan bahkan menyuburkan tingkah laku yang buruk. Tapi, pangkas dua generasi juga tidak mungkin dan tidak realistik.

      Jadi, kuncinya terletak di bagaimana mengubah masyarakatnya, agar menghasilkan elit-elit yang punya kontrol diri dan rasa sungkan. Kita ngga bisa mengharapkan orang-orang itu suci, tapi kita bisa mengharapkan mereka waras dan bisa malu. Nah, mungkin itulah pentingnya peran media massa dan media sosial sekarang 🙂

  4. Kayaknya kalau mengharapkan para elit punya rasa malu, apalagi tau diri, problemnya satu: AJI MUMPUNG. Mumpung lagi di atas ya sikat, kalau ketangkap pasang badan. Ini adalah pola pikir para elit masa kini. Kasus elit bertindak sebagai koruptor di negeri ini selalu punya solusi seperti ini. Mulai dibawa paksa oleh KPK sampai ke pengadilan tipikor juga penyelesaiannya selalu berpola ini. Supremasi Hukum pasti kalah sama supremasi uang. Makanya maling ayam hukumannya berat, tetapi maling negara biar dihukum masih bisa pakai “dasi” di “hotel” penjara.

Any thoughts?