Belakangan kita sering mendengar cerita sensasional terbaru dari media tentang Gayus Tambunan. Tokoh kita yang satu ini berhasil mencetak ‘prestasi’ dengan statusnya sebagai pegawai lapis bawah di Dirjen Pajak. Lapis bawah karena dia masih di golongan kepegawaian IIIa, dan usianya 30 tahun. Menilik usianya, adalah wajar kalau di berada di golongan itu. Yang tidak wajar adalah ‘prestasi’nya dalam mengumpulkan uang melalui ‘bisnis’ pajak. Ini tentu sudah terbeber di kebanyakan media.
Namun, bagi saya, yang lebih istimewa adalah kenyataan bahwa dia pegawai di Dirjen Pajak, yang merupakan bagian dari Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan merupakan pilot project reformasi birokrasi di Indonesia. Di Kementerian yang sangat vital ini, konsep bahwa pegawai negeri digaji dengan layak agar dapat bekerja professional dicobakan. Konsep yang kerap dikenal dengan performance management ini adalah sebuah upaya sistemik untuk memastikan agar ada kesesuaian antara kualitas SDM dengan kualitas kinerja dan kelayakan remunerasi/reward yang diterima atas kinerja tersebut. Bagus kan upaya ini?
Persoalannya, sekarang sebagian orang mulai ribut-ribut dan menyalahkan pelaksanaan reformasi birokrasi itu. Alasannya adalah bahwa Gayus, dan kemungkinan besar masih ada banyak lagi makelar kasus pajak yang lain, adalah bukti bahwa birokrasi di Kementerian Keuangan terbukti gagal.
Saya tidak sepakat dengan penilaian demikian. Kenapa? Karena upaya reformasi birokrasi adalah upaya perubahan dan pengembangan organisasi (organizational change and development). Artinya, bila ini sungguh-sungguh, perubahannya haruslah menyeluruh dalam sistem kerja yang ada dalam organisasi. Artinya, perubahannya tidak hanya sebatas prosedur kerja, sistem remunerasi dan penggajian dan peraturan-peraturan. Perubahannya juga harus tampak dalam perubahan kinerja SDM organisasi dalam tataran keseharian. Dengan demikian, proses ini kompleks, tidak akan serta merta terjadi perubahan total dalam jangka waktu singkat, serta butuh banyak penajaman seiring proses berjalan.
Sedangkan asumsi umum yang sepertinya diyakini banyak orang adalah ini: “Reformasi birokrasi akan menggaji karyawan Kementerian Keuangan dengan sangat layak, sehingga mereka tidak akan lagi korupsi”. Memang betul, salah satu penerapan performance management yang baik adalah bahwa gaji yang diterima sesuai dengan kompetensi SDM, lalu remunerasi yang mereka terima sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. Dan memang itulah yang terjadi di Kementerian Keuangan.
Tapi, gaji yang layak dan remunerasi yang baik tidak menjamin dengan serta merta bahwa orang tidak akan korup. Bila ini diyakini, maka itu adalah kesesatan berpikir (fallacy) yang sangat fatal. Korupsi atau tidak itu tergantung pada nilai-nilai individual. Ada orang yang kekurangan gaji, tapi tidak korup; dan banyak pula orang yang sudah gajinya luar biasa berlebih, tapi masih tetap korup. Ini soal nilai-nilai individual (values).
Saat ini, saya sedang mengerjakan pengembangan performance management yang efektif di dua klien. Dengan demikian, saya sangat paham kesulitan dan tantangan yang dihadapi orang-orang yang sedang memimpin pelaksanaan reformasi birokrasi di tempat lain (semisal di Kementerian Keuangan). Tantangan terbesarnya adalah faktor manusia, dimana manusia merupakan bisa mejadi anomali bagi proses perubahan. Sekokoh-kokohnya sebuah sistem performance management kita bangun agar manusia bekerja dengan baik, yang namanya manusia itu selalu saja mungkin menyimpang dan melakukan sesuati yang tidak diharapkan dan di luar rencana.
Gayus Tambunan adalah the tip of the iceberg, dimana pasti ada sebuah kelompok orang yang seperti dia. Mereka ini adalah orang-orang dengan nilai-nilai individual yang saling cocok, sehingga mereka bisa bekerja sama dan membentuk network korupsi di dalam sistem reformasi birokrasi yang sedang dibangun. Merespon situasi begini, peningkatan gaji tidak relevan untuk merubah perilaku mereka. Sebaiknya memang pemerintah tidak mempekerjakan orang-orang dengan nilai-nilai individual yang korup, namun persoalannya kan tidak sesederhana itu.
Menurut saya, performance management baik dan perlu dilakukan, namun reformasi birokrasi tidak hanya semata performance management. Reformasi birokrasi harus menyentuh aspek manusia; terutama nilai-nilai individual yang menjadi penentu mendasar perilaku mereka. Ini bukan soal kompetensi, karena SDM yang kompetens bisa saja tetap bermental korup. Ini bukan soal ketaatan beragama, karena sudah banyak contoh di negeri ini menunjukkan koruptor yang tampak taat menjalankan ibadah. Upaya pengembangan aspek manusia yang benar-benar mendorong individual merubah nilai hidupnya yang mungkin belum diberi perhatian cukup.
Itulah yang tampaknya harus dipahami para kritikus reformasi birokrasi dan pelaksana reformasi birokrasi, agar kita tidak larut dalam debat tentang siapa yang salah; tapi lupa tantangan utama yang harus segera direspon.
edaann..ini menunjukkan sebenarnya manusia adalah sistem yang paling dinamis (kata-kata yang saya dan patner saya suka katakan ketika kami diskusi ) dalam sebuah organisasi.. dan sepertinya organisasi lebih banyak fokus pada kompetensi seorang karyawan/pekerja dalam pembanahan organisasinya, padahal tidak sesederhana itu… value adalah salah satu diantara sekian hal yang juga sering dianggap ‘enteng’ organisasi dalam pembenahan….sehingga jarang ‘terjamah’ dalam prosesnya..
yuppp……..ya karena value tak tampak, tapi kalau efeknya negatif, terasaaaa bangeeeettt hahahahaha……
hahaha…ya ini yang di bilang “yang tak tampak, akan menampakkan diri kalo gak di gubris..” alias value ini “ngamuk-e” lebih kerasa…
gayus tambunan emang gak ada matinya ya.
semakin terkenal nih orang. dibuatin lagu lagi. 😀
Betul 🙂 Dia emang tokoh hebat di dalam sebuah cerita hebat hehehe