“Beneath this mask, there is more than flesh…Beneath this mask, there are ideas, and ideas are bulletproof” – James McTeigue’s V for Vendetta (2006)
Ide perubahan adalah cita-cita kebanyakan orang. Perubahan adalah keinginan banyak orang. Namun, tak sedikit yang takut akan perubahan. Tak jarang pula perubahan ditolak. Kegelisahan orang selalu berada pada pertanyaan ini: Apakah perubahan bisa menjadi lebih indah ketika sudah tidak sebatas ide?
Seorang kawan pernah berkata pada saya, “Orang suka perubahan selama itu untuk orang lain, bukan untuk mereka. Kalau perubahannya adalah untuk mereka, maka mereka tak lagi suka”. Itu sebuah situasi yang kita kerap temui di semua organisasi. Nah kalau semua orang mau orang lain yang berubah, maka ‘perubahan’ adalah sebuah harapan pada orang lain. Harapan adalah sebuah ide, tapi tidak cukup untuk disebut tindakan. Sementara, ‘perubahan’ sendiri adalah bentuk tindakan.
Kalau kita mengatakan cuaca berubah, karena cuacanya tampak dan terasa berubah. Kalau kita mengatakan seseorang berubah, itu karena tampilan kasatmata dan tingkahlakunya berubah. Bila tidak ada sesuatu perbedaan yang muncul yang dapat kita tangkap secara indrawi atau melalui pemahaman; maka kita akan menganggapnya sebagai tidak ada perubahan. Jadi, perubahan adalah rekacipta persepsi yang tidak sesederhana kelihatannya.
Dinamika klasik antara proses dan hasil muncul kembali disini. Nah, walau banyak orang suka bikin debat yang sensasional yang membingkai keduanya sebagai kontradiksi, saya justru melihat itu sebagai bentuk kesesatan berpikir. Bagi saya, hasil adalah sebentuk dengan proses. Artinya adalah bahwa kalau sesuatu yang dikatakan proses tidak punya hasil, ya bukan proses namanya. Sebaliknya, kalau ada hasil tanpa proses yang jelas, maka belum tentu bisa disebut hasil. Karena ketika ada hasil, maka itu haruslah hasil dari sesuatu.
Lalu dimana letaknya ide dan tindakan perubahan? Ya tentu saja ide dan tindakan adalah komponen dari proses. Mana mungkin sebuah proses terjadi tanpa ide. Tapi tidak mungkin sesuatu dikatakan proses bila tidak ada rangkaian tindakan di dalamnya. Ide dan tindakan (praksis) adalah keharusan dalam sebuah proses, terlepas apapun prosesnya dan apapun konsekuensi yang diharapkan muncul dari proses itu. Perubahan sendiri adalah konsekuensi dari sebuah proses yang didesain sedemikian rupa untuk memperbarui situasi dan kondisi yang ada.
Tapi itu saja tak cukup untuk menjelaskan manajemen perubahan. Konsep ‘manajemen perubahan’ tidak sama dengan ‘perubahan’, terutama karena perspektif kontekstualnya. Kata perubahan merupakan makna filosofis sekaligus praksis yang sangat fundamental, sehingga menjadi diskusi dalam bidang ilmu apapun. Namun, manajemen perubahan adalah makna kontekstual yang menyiratkan upaya mengelola perubahan. Disinilah letak ilusinya.
Mengapa ilusi? Ada beberapa penjelasan. Pertama, manajemen perubahan mengisyaratkan bahwa perubahan bisa di-manage. Manajemen sendiri terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian/kontrol. Yang dikenai fungsi ini adalah modal (capital) dan sumber daya (resources). Biasanya ini diwujudkan dalam perencanaan keuangan, SDM dan proses bisnis. Satu ciri utama dalam proses ini adalah bahwa semua modal dan sumber daya bersifat wujud (tangible) dan terukur. Selain itu, manajemen pada intinya berusaha sebisa mungkin memastikan bagaimana sumber daya akan dikelola secara stabil dan sesuai rencana. Tapi, perubahan adalah proses, bukan sekedar modal atau sumberdaya.
Disini masuklah penjelasan kedua: Perubahan pada dasarnya menciptakan kemungkinan-kemungkinan hal baru, sehingga membawa ketidakpastian. ‘Memastikan perubahan’ adalah sesuatu yang kedengaran indah dalam kata-kata. Tapi, itu mencerminkan ketidakpahaman akan ide perubahan, dan juga mencerminkan ketidakpahaman akan praksis perubahan. Ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Karyn Lazarus, pembimbing thesis saya. Pengalamannya yang cukup lama di Hewlett Packard, saat perusahaan itu di masa keemasan dengan teknologi laserjet printing; membuatnya paham bahwa ‘manajemen perubahan/change management’ memang adalah konsep yang mengandung kontradiksi di dalamnya (oxymoron).
Penjelasan ketiga merupakan konsekuensi dari penjelasan kedua: Ketidakpastian datang karena perubahan adalah upaya menciptakan masa depan yang belum terjadi, dan oleh karena itu perubahan bukan sesuatu yang benar-benar terkendali. Bagaimana kita mengendalikan sesuatu yang belum ada? Ini menjelaskan mengapa banyak upaya perubahan organisasi jadi mandul. Banyak sekali contoh dimana ide perubahan disusun ideal sedemikian rupa, tapi tidak didesain sesuai kondisi nyata tempat dimana perubahan akan diciptakan. Dan ketika ide itu digulirkan, buy-in yang muncul tidak signifikan. Sangat sering perubahan yang muncul hanyalah ‘kulit luar’.
Mengapa ini terjadi? Ini karena ide bersifat inspiratif, tapi tidak otomatis mengendalikan perilaku. Pengendalian perilaku terletak pada masing-masing individu. Ide perubahan bisa dilempar dan dikendalikan oleh pemimpin, tapi bagaimana perubahan bergulir dalam bentuk tindakan, itu tidak hanya ditentukan oleh pemimpin.
Saya belajar dari pengalaman, ide perubahan merupakan inspirasi yang luar biasa kuat dan bisa merasuki berbagai jenis proses. Namun karena sifatnya yang demikian itu, ide menjadi kekuatan abstrak yang bisa ‘hidup’ dalam beragam bentuk dan dalam beragam kedalaman. Ide perubahan yang tertanam secara mendalam bisa mendorong perubahan yang mendasar, sementara ide perubahan yang mengambang dan dangkal bisa hanya muncul di ‘kulit luar’ atau bahkan pupus tak berbekas seiring waktu. Desain proses penyampaian (delivery) dan penanaman (inception) dari ide itu yang menentukan bagaimana ide itu bisa tertanam mendalam dan bertransformasi dalam perilaku. Desain inilah sesungguhnya esensi dari proses perubahan.
Maka dari itu, saya melihat perubahan adalah seni yang muncul dalam harmoni antara ketidakteraturan (chaos), ketidakpastian (uncertainty), ambiguitas dan kepekaan akal budi (sensibility) kita terhadap arah proses; layaknya sebuah komposisi musik jazz atau tarian kontemporer. Berbeda dengan umumnya fungsi manajemen dimana ide dibatasi oleh mekanisme yang cenderung baku, perubahan justru merupakan proses dimana ide berevolusi dan bertransformasi dalam bentuk tindakan. Lalu, apakah istilah manajemen perubahan tepat untuk menyebut proses macam ini?
Posted with WordPress for BlackBerry.
Wow.. you’re becoming philosopher with this writing..
Saya setuju bahwa manajemen perubahan adalah oxymoron, atau lebih tegas lagi, lebih tepat disebut sebagai omong kosong. Perubahan adalah sebuah keputusan eksistensi yang jauh lebih mendalam daripada sebuah tata kelola manajerial formal. Perubahan mengandaikan perubahan hakekat, dan bukan sekedar tampilan. Dibutuhkan kesadaran kolektif atas eksistensi suatu organisasi, termasuk alasan adanya. Maka itu para spesialis manajemen perubahan biasanya hanya akan menjadi birokrat perubahan, yang justru menjadi penghalang perubahan, selama ia tidak menyadari keputusan eksistensial yang membutuhkan semacam lompatan iman (leap of faith) untuk berubah.
Hal ini juga berlaku di dalam kewirausahaan. Maka wacana tentang perubahan dan kewirausahaan sebenarnya jauh lebih dekat dengan filsafat, daripada dengan manajemen, karena karakter eksistensialnya jauh lebih hakiki dari pada karakter formal manajerialnya. Seperti yang dikatakan PM Inggris, Gordon Brown, the best manager is a philosopher. Bukan apa2 karena hanya dengan menyelam ke dalam filsafatlah, orang bisa menghayati perubahan hakekat yang menjadi roh dari wacana tentang perubahan. Hanya dengan menghayati lompatan iman eksistensialah, yang berarti juga menyelam ke filsafat, orang bisa menjadi seorang entrepreneur yang sejati.
Perubahan harus lahir dari kedalaman penghayatan akan eksistensi, bahwa pada level individu maupun kolektif.
Hehehe……I’m a fan of philosophy, for sure 🙂
Maka dari itu, aku lbh suka menggunakan istilah organizational development. Menggunakan istilah manajemen perubahan menunjukkan kesan lupa bahwa manusia bukan kepingan puzzle yang bisa dibongkar-pasang begitu saja. Manusia itu seperti kepingan2 puzzle yang selalu berubah bentuk dalam sebuah puzzle organisasi. Siapapun yang benar2 punya pengalaman praksis dalam memfasilitasi perubahan sungguhan, bukan cuma memberikan instruksi, pasti akan merasa istilah manajemen perubahan ‘mengganjal’.
Betul, perubahan adalah mempertanyakan kembali eksistensi dalam rangka merekacipta kembali eksistensi. Ini jelas berbeda dengan mengubah kulit luar eksistensi semata 🙂
Can’t agree more with you. 🙂
Meneliti, mengupas manjemen perubahan memang bukan perkara mudah. dalam hal ini saya akan coba uraikan beberapa faktor yang amat mempengaruhi perubahan tersebut.
1. Alasan untuk melakukan perubahan. Alasan untuk melakukan perubahan dalam management umumnya adalah karena tingkat kesesuaian manajemen tersebut terhadap perkembangan bisnis organisasi. Akarnya adalah Corporate Culture.
2. Bagaimana melakukan perubahan? Perubahan harus direncanakan, dilakukan, dievaluasi, dan di adjust dengan transformasi secara sistemik agar sesuai dengan kebutuhan real organisasi. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi, kalau perlu “dipaksakan” melalui peraturan perusahaan sehingga menjadi budaya baru.
3. Bagaimana agar perubahan ini berjalan mulus? Perlu commitment dan kerja keras dari seluruh SDM untuk melaksanakan perubahan.
4. Bagaimana jika perubahan gagal? Diperlukan Risk Management dan research pada saat proses perencanaan perubahan. Setiap kendala dan akibat perubahan yang bakal terjadi harus diperhitungkan secara masak-masak, termasuk teknik antisipasi jika ada hal-hal lain yang terjadi diluar kontrol.
Kunci perubahan adalah manusia, karena manusioa adalah pelaku bisnis dalam organisasi. Berhasil atau gagalnya proses transformasi tergantung hal ini. Ada tambahan Bro?
Benar, Glenn, secara step-by-step memang demikian. Tapi pada banyak kasus, perubahan tidak terjadi linear sedemikian 😉