Ingin jadi Bos betulan? Think like one! Behave like one! Learn to be one!

 

Die Statue vor der alten Schmiede in Kehdingbruch
Image via Wikipedia

 

Banyak sekali orang ingin jadi bos. Terutama anak-anak muda. Sampai-sampai saya merasa, dari setiap 10 anak muda, 11 yang ingin jadi bos 😉 Belum lagi ditambah dengan semangat entrepreneurship yang digaung-gaungkan belakangan ini, mungkin bayi baru lahir sudah pingin jadi bos hehehe……..

Masalahnya, apa betul jadi bos memang bisa seperti sulapan sekejap mata? Apa bisa seseorang terlahir otomatis jadi bos?

Pasti ada yang ngotot bilang bisa 🙂 Kalo ada anak lahir sebagai sebagai anak usahawan sukses, kan dia tinggal mewarisi posisi dari orang tuanya! Begitulah argumen beberapa orang ngotot tersebut. Menurut saya itu asumsi yang kedengarannya OK dan logis, tapi fatal dalam praktek. Mengapa? Ya karena warisan usaha membuat seseorang menjadi pemilik sebuah usaha, tapi tidak otomatis jadi bos.

Lalu apa yang membuat seseorang menjadi bos? Ya jawabannya sederhana, bos adalah orang yang berpikir, memutuskan dan bertindak sebagai bos. Artinya, kalau anda semata mewarisi usaha dari orangtua anda yang sukses, tapi tidak berperilaku seperti bos; ya anda cuma bos semu, alias bos boneka. Kok bisa? Ya karena anda sebenarnya tidak begitu paham, tidak begitu berpengaruh dan tentunya tidak punya akar pada bisnis anda. Ingat, menjadi bos adalah memiliki karakter, perilaku, pengaruh dan kewibawaan atas organisasi bisnis yang dipimpin. Ini semua bukan sesuatu yang bisa diwariskan seperti kepemilikan usaha. Leadership is earned, not inherited!

Masih tidak percaya? Coba lihat betapa banyak contoh pewaris usaha tidak sepintar dan seberwibawa pendahulunya, sehingga bisnisnya jadi loyo atau kacau. Biasanya terus bisnisnya dijual murah hehehe…….Terus konsultan seperti saya diundang untuk memperbaiki akibat kepemimpinan sebelumnya yang tidak becus……Ya saya sih ketawa aja, tapi sebenarnya kan banyak hal yang bisa dilakukan sebelum organisasi bisnis kacau, dan itu akan menentukan keberlanjutan (sustainability) bisnis.

Dalam beberapa pengalaman memberikan executive coaching pada klien, saya menemukan para bos yang terbuka dan ingin belajar jadi bos yang efektif agar bisnisnya sustain, dan ada juga yang mental mi instan tidak mau susah-susah belajar jadi bos. Ya tentu yang belakangan akhirnya membuat bisnisnya harus opname, dan saya sebagai konsultan harus menggunakan pendekatan lebih daripada sekedar executive coaching. See? Someone cannot automatically become a Boss without efforts!

Untuk bisa kompeten sebagai bos, seseorang harus belajar jadi bos. Memahami perilaku bos sama pentingnya dengan memahami perilaku konsumen. Artinya, tidak ada seorang pun bisa mendadak menjadi bos tanpa tahu bagaimana berperilaku menjadi bos. Kita harus belajar jadi bos agar bisa jadi bos! Lihatlah dari banyak family business, sedikit yang sustainable. Dan pada family business yang sustainable itu, pewaris-pewarisnya melalui proses belajar mengenai pekerjaan itu dari bawah dan memahami bagaimana memimpin bisnis dari level bawah. Itu dalam family business, apalagi pada perusahaan profesional yang berbasis merit. Tentu saja proses belajar menjadi bos dalam bisnis yang menganut meritokrasi menjadi jauh lebih dinamis dan kompetitif.

Itulah poin pertama: Kita harus kenal bisnis yang kita pimpin agar bisa berpikir sebagai bos. Memang sekarang ada trend yang mengajak kita jadi investor, agar uang bekerja untuk kita. Tapi kalau hanya begitu, itu artinya kita cuma jadi sumber modal bagi usaha orang lain. Ingat, jadi investor tidak otomatis untung, bahkan banyak investor tertipu untuk menanamkan modalnya pada bisnis yang tidak dipahami dengan jelas dan akhirnya amblas. Ini sama saja dengan pewaris bisnis yang tidak mengerti bisnisnya tiba-tiba jadi bos dadakan, kemungkinan jatuh ya jelas lebih tinggi. Proses ini butuh waktu, dan mental mi instant dengan prinsip 3 menit siap makan tidak cocok disini.

Berikutnya adalah poin kedua: Bos itu punya visi dan strategi yang yang luar biasa, yang artinya dia punya imajinasi yang luar biasa serta punya bayangan bagaimana imajinasi itu akan diwujudkan! Ini berarti soal cara berpikir. Cara berpikir apa yang dimaksud? Ya cara berpikir yang terbuka, melihat dari sudut pandang yang penuh kemungkinan, serta tidak mudah puas diri. Singkatnya, cara pikir bos itu tidak sombong, karena dia selalu merasa dia belum sempurna dan masih banyak yang dia bisa kerjakan. Selain itu, tidak sombong berarti dia merasa bahwa dia terpanggil untuk menciptakan terobosan-terobosan baru supaya keadaan lebih baik.

Cara pikir yang demikian yang membuat seseorang menjadi imajinatif dan penuh dengan kreasi-kreasi dan tindakan inspiratif. Dalam konteks praktis, seseroang yang demikian akan selalu beberapa langkah di depan orang yang dipimpinnya, dan dengan demikian dia jadi layak sebagai bos! Ini sangat berlawanan dengan sikap sok pintar yang mudah puas dengan dimiliki, atau bahkan meyakini bahwa apa yang ada di benaknya sudah cukup untuk kesuksesan tanpa akhir. Yang terakhir ini jelas bukan cara pikir bos hehehe…..tap cara pikir calon bos bangkrut 🙂

Yang ketiga adalah bos sejati tidak terjebak benar salah, kawan lawan dan tidak suka mengumpulkan penjilat. Ini soal  kematangan emosional. Ini sulit sekali, karena pada dasarnya manusia suka sekali berpikir gampangnya saja. Karena mau berpikir gampang, kalau bisa seluruh isi dunia mau dilihat sesederhana mungkin dengan kacamata benar dan salah. Sekilas ini cara berpikir, tapi sebenarnya lebih dari itu. Ini soal kematangan emosional untuk menerima bahwa dunia itu ambigu (tolerance of ambiguity). Susahnya lagi, pendidikan dan lingkungan sosial budaya pun mudah membuat orang berpikir kerdil seperti ini.

Jeffrey Pfeffer melalui salah satu karya klasiknya, Managing with power: Politics and influence in organizations, mengkritik bahwa sikap ‘benar dan salah’ ini harus dilepaskan (unlearned). Kematangan emosional diperlukan untuk melihat bahwa dunia tidak absolut, apalagi dalam bisnis. Oleh sebab itu, tidak ada yang sepenuhnya salah dan sepenuhnya benar, karena semua punya konteksnya sendiri. Dengan demikian, tidak ada pula yang namanya kawan setia dan musuh jahanam. Seperti kata Pfeffer, semua adalah keterkaitan kepentingan. Menyadari ini akan membuat kita cukup bijaksana dan layak sebagai bos. Sebaliknya, terjebak dalam ‘benar-salah’ dan ‘kawan-lawan’ membuat kita buta pada ambiguitas pada realitas, dan akhirnya kita suka mengumpulkan penjilat yang bermulut manis pada kita saja. Inilah bencana bagi bos manapun.

Berikutnya adalah penghayatan sebagai bos adalah tidak hanya menjadi tukang mikir dan tukang perintah. Bos manapun tidak akan berwibawa bila begini perilakunya. Mengutip pendapat Pfeffer, yang paling esensial dalam pengambilan keputusan adalah dampak politiknya bagi bisnis, yaitu bagaimana itu menyelesaikan masalah (getting things done). Ini artinya, bos bukan cuma mikir dan merintah atau memberikan analisis-analisis. Bahkan, pada banyak situasi, organisasi bisnis tidak begitu peduli pada analisis, tapi lebih merespon pada langkah nyata yang dihasilkan dari analisis-analisis tersebut. Oleh sebab itu, untuk menjadi bos, kita harus melatih tangan dan kaki kita menerjemahkan keputusan dan hasil analisis kita dalam tindakan yang menyelesaikan masalah. Itu akan menjadi bentuk nyata kepemimpinan seorang bos yang sesungguhnya.

Apa itu semua sudah cukup? Belum! Bos harus mampu menciptakan sustainability dengan menjadi orang yang bisa memfasilitas organizational learning. Apa maksudnya? Ya artinya bos bisa belajar bahwa dunia organisasi dan bisnis selalu tidak konsisten dan selalu berubah karena isinya adalah manusia. Chris Argyris dan Donald Schon dalam karya klasiknya, Organizational learning II: Theory, method and practice, mengatakan bahwa organizational learning terbentuk karena manusia selalu berada dalam dinamika antara konsep tentang apa yang seharusnya dilakukan (espoused-theory) dengan bagaimana sesungguhnya orang menerapkannya dalam kenyataan hidup (theory-in-use).

Gampangnya, orang selalu tidak konsisten antara konsep dan tindakannya. Dan, jeda antara keduanya ini yang menciptakan peluang terjadinya perubahan dan proses kreatif. Seorang bos sejati tidak marah dan jengkel karena inkonsistensi ini, tapi justru mampu melihat peluang-peluang yang timbul karenanya. Lebih jauh, seorang bos sejati paham bahwa inilah sesungguhnya realitas dalam bisnis apapun, dan mampu beradaptasi dengannya. Maka, bos beneran tidak akan kepala batu dan pasti mampu beradapatasi dengan baik :-).

Dan yang terakhir, seorang bos tidak bosan jadi bos. Kadang kalimat sok manusiawi dari seorang bos yang  berbunyi begini: “I’m tired being a Boss…“. Tired to be the Boss? Then you don’t deserve to be the Boss! Bos, kalau capek, ya nggak bisa lagi disebut bos. Karena leadership yang capek hanya akan menginspirasi seluruh bisnis untuk ikut capek. Tentu siapapun bisa capek dalam pekerjaanya. Pertanyaannya adalah apabila si bos selalu terbuka pada segala imajinasi, selalu belajar, tidak terjebak pada salah dan benar, selalu terlibat dalam menciptakan solusi dan selalu mampu beradaptasi; maka tentu hidupnya sebagai bos penuh warna dan tidak bikin capek semata. Capek melulu dan tumpukan keluhan menunjukkan tidak adanya mental bos. Kalau bosan jadi bos, ya jangan jadi bos…heheheheh…. 😉

Jadi, kalau dirangkum, ada penyakit-penyakit yang menghalangi keberhasilan seseorang menjadi bos yang beneran:
1.Mental mi instan
2.Sombong dan mudah puas
3.Terjebak pada pola pikir benar salah, siapa kawan siapa lawan dan suka mengumpulkan penjilat
4.Cuma mau mikir dan memerintah, tapi malas dan tidak mau ‘melatih’ tangan kakinya untuk membereskan masalah
5.Kepala batu dan tidak bisa melihat bahwa dunia selalu tidak konsisten dan selalu berubah
6.Bosan jadi bos

Good luck!!!

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

7 thoughts on “Ingin jadi Bos betulan? Think like one! Behave like one! Learn to be one!

  1. Sounds too good to be true.

    Sebenarnya seluruh artikel ini dapat dirangkum ke dalam satu tesis, yakni bos sebagai homo academicus, yakni mahluk yang terus belajar tanpa kenal lelah dari lingkungannya untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Am I right?

    1. Hahaha……kalo to good to be true, aku tidak setuju. Kalo difficult to follow, bisa jadi itu betul untuk beberapa orang.

      Alasannya sederhana, saya beberapa kali berjumpa dengan bos macam ini. Beberapa klien saya bahkan jauh lebih akademikus dari kebanyakan dosen, plus keinginan yang kuat untuk mendeliver ke dalam action.

      Interpretasi terus belajar tanpa lelah aku pikir agak utopis dan membangun frame idealisme yang tidak realistik. Selain itu, memerasnya dalam satu tesis meniadakan detil-detil kematangan emosional yang justru lebih penting untuk ditekankan. Yang saya tekankan adalah bahwa menjadi bos adalah pekerjaan berat. Untuk sukses sebagai bos, perlu cermat dan terbuka, punya karakter yang kuat, tapi juga easygoing dengan situasi yg tidak konsisten. Titikberatnya lebih pada intuitive behavior dan emotional maturity (sebagaimana yang ditekankan oleh Argyris, Schon dan Pfeffer).

      Ini adalah profil orang cerdas yang pragmatis dan tahu bagaimana menikmati tantangan. Uniknya, kebanyakan orang idealis tidak punya profil begini 🙂 Saya setuju bahwa ini homo academicus atau manusia pembelajar dalam arti sesungguhnya. Tapi banyak yang beranggapan orang yang pragmatis intuitif dianggap tidak layak disebut homo academicus. Pragmatisme bahak dicap jelek hehehe…..ini kembali lagi pada kritik Pfeffer tentang lesson that need to be unlearned 🙂

      1. I see what you mean. Tentu saja homo academicus dalam arti holistik, dan bukan cuma filosofis-idealistit-teoritik, walaupun gaya semacam itu mutlak diperlukan. Yang saya perhatikan malah sebaliknya. Orang-orang pragmatis dangkal malas baca buku, malas diskusi, dan senangnya yang “praktis2” saja. Itu juga ekstrem lainnya yang penuh dengan masalah.

        Kata homo academicus itu menandakan semangat untuk belajar tentang segala hal, dari yang paling teoritis sampai yang paling praktis sekalipun. Bagaimana membentuk bos semacam ini? Buku, pengalaman, dan refleksi adalah jawabannya. Bolak-balik diantara ketiganya yang akan melahirkan bos yang sesungguhnya.

        what do u think?

      2. Yes…..I like this comment!

        Saya sepenuhnya setuju dengan penerapan homo academicus yang holistik, karena itu akan menjadi driver bagi pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya, bukan cuma semu.

        Saya juga sangat setuju tentang fenomena praktisi palsu yang menganut pragmatisme dangkal bermental mi instant. Ini banyak di Indonesia. Yang macam begini yang mau enak cepat sukses dalam sekejap tanpa usaha sama sekali. Akibatnya ekonomi sustainable seperti omong kosong di negeri ini, karena mayoritas bos Indonesia cuma pemburu profit jangka pendek yang tidak punya visi dan imajinasi. Ini juga yang aku pikir menyebabkan bisnis kita tak punya daya saing melawan negara lain.

        Nah itu terkait dengan komentarmu yang terakhir, yaitu bos-bos sejati dibentuk oleh buku, pengalaman dan refleksi. Donald Schon menyebutnya dengan istilah reflective practitioner, dan model pembelajarannya disebut reflective learning. Tanggapanmu mengingatkan sebuah mata kuliah yang cukup terkenal saat aku kuliah master dulu. Namanya Practitioner Development, dan pesertanya adalah praktisi-praktisi dari berlatar belakang yang kembali ke dunia kampus untuk membentuk yang disebut community of practice.

        Yang menarik, berbeda dengan praktisi-praktisi kita yang suka datang ke kampus untuk ‘mengkhotbahi’ orang (dan sebaliknya orang kampus suka mengkhotbahi praktisi di luaran), dalam matakuliah ini mereka kembali ke kampus karena ingin mencari inspirasi dan refleksi dengan mendengar pemikiran2 baru…..hehehe…. Padahal mereka ini pentholan perusahaan besar macam Boeing, Microsoft dan Amazon.com. Banyak pula entrepreneur2 yang sukses di kelas itu.

        Jadi sebenarnya tampak sekali ada masalah dalam pendidikan calon bos kita di negeri ini, sehingga kita menghasilkan ekstrimis2 teori yang bebal dan tidak kritis, atau ekstrimis pragmatisme dangkal bermental mi instant. Bos macam ini adalah bos semu. Aku pribadi sangat berharap pada forum2 diskusi yang ada sekarang agar bisa menjadi bagian dari perubahan ke arah sana.

  2. Ini juga keprihatinan saya terhadap bisnis di Indonesia, atau mungkin di Surabaya, karena saya baru peka mengenai hal ini, ketika berada di Surabaya. Para praktisi bisnis merugikan konsumen demi memperoleh keuntungan jangka pendek, terutama dalam bentuk penipuan mutu produk. Saya hampir sulit kembali untuk percaya kepada para praktisi bisnis di Surabaya, mulai dari bengkel motor, reparasi notebook, sampai sekedar distribusi gembok.

    Yang kita perlukan secara praktis adalah dua hal, yakni lembaga perlindungan konsumen yang efektif, yang disokong oleh UU yang jelas, dan quailty control product level nasional yang efektif, seperti yang dimiliki Jepang, ketika mereka bangkit dari kekalahan pada perang dunia kedua, dan menjadi salah satu raksasa industri dunia.

    Saya setuju dengan dua konsepmu, “ekstrimis teori yang bebal, dan ekstrimis pragmatisme yang bermental mi instan.” hahahaha… dua konsep itu melukiskan banyak hal.

    1. Hehehehe……don’t sink in pessimism, my friend 🙂 Be a good bos for your future plan 😉 Kita merasa banyak masalah di Surabaya karena kita pay attention pada tempat2 bermasalah. Di Jakarta pasti juga banyak, tapi karena keberagaman Jakarta membuat banyak contok praktek baik yang muncul ke permukaan. Yang jelek jadi tidak mencolok. Selain itu, mungkin saat di Jakarta, dirimu belum minat ke isu ini hehehe……Masih ada banyak bos dan bisnis baik di Surabaya yang juga menunggu timing yang tepat.

      Ini kota yang baik untuk belajar menjadi bos, karena situasinya yang penuh tantangan. Suatu kondisi yang berbeda dengan Jakarta, dan akan memberimu pengalaman dan refleksi yang berbeda.

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s