Antara paham dan sok tahu: Perilaku manusia dalam perubahan

In Whose Name?
Image by Sailing "Footprints: Real to Reel" (Ronn ashore) via Flickr

Sebuah gurauan cerdas mampir ke saya melalui blackberry messenger. Gurauan itu berupa percakapan antara seorang perokok dengan seorang bukan perokok di halte bis. Berikut isinya:

PR = Perokok
BP = Bukan perokok

[PR mengeluarkan 1 bungkus rokok dari kantung celananya, bermaksud untuk menawarkan kepada orang sebelahnya]
PR : “mau rokok, Mas?”
BP : “oh, tidak, saya tidak merokok, terima kasih”. [dalam hati PR bersyukur karena nggak berkurang rokoknya 🙂 ]

[BP bermaksud penasaran, dan ingin memberi arahan PR supaya tidak merokok, lantas mulailah BP mengawali pembicaraan]
BP : “sehari habis berapa batang rokok Mas?”
PR : “biasanya sih 2 bungkus”
BP : “wah, kayak asbak juga ya Masnya, hahaha”
PR : “hehehe”
BP : “sebungkus harganya berapa Mas?”
PR : “10.000”
BP : “Mas nya udah berapa taon ngrokok?”
PR : “wah, saya udah hampir 20 taon mas, dari SMP saya udah ngrokok”
BP : “mmm… lama juga ya Mas…”
PR : “Iya,”
BP : “Begini Mas, saya kasih gambaran, 1 bungkus harganya 10.000, satu hari mas habis 2 bungkus, jadi 20.000. Kalo satu bulan, jadi 20.000 x 30 = 600.000……jadi, satu tahun = 600.000 x 12 = 7.200.000………..trus mas udah 20 tahun, jadi 7.200.000 x 20 = 144.000.000. Wah, kalo Mas nya gak merokok dari dulu, harusnya udah bisa beli mobil tuh… betul kan Mas??”

[PR dengan serius memperhatikan, termenung salut atas perhitungan BP]
PR : “Iya ya, betul juga sampeyan… ”

[lantas]
PR : “Mas umurnya berapa?”
BP : “34”
PR : “wah, sama dong dengan saya…terus, Mas nya dari dulu emang nggak pernah ngrokok sama sekali?? ”
BP : “iya Mas, serius… saya nggak pernah ngrokok dari dulu… sama sekali…”

[dengan lugu, PR pun bertanya]
PR : “kalo nggak pernah merokok dari dulu, lalu, lha MANA MOBILMU? Kok naik bis ??

Apa yang terjadi dalam percakapan di atas menyentuh satu sikap dasar yang melekat dalam diri semua orang, yaitu kecenderungan merasa mengerti hanya dengan mendengar dan melihat sedikit saja. Adalah sangat mudah untuk kita menyimpulkan bahwa kita bisa merasakan dialami orang lain, padahal tanpa mengalami. Kalau tidak percaya, coba sempatkan instrospeksi sejenak :-).

Jangan marah atau gelisah dulu karena tulisan ini :-). It’s normal. Situasi yang kita temui dalam hidup, seringkali ‘memaksa’ kita untuk sok tahu, sok simpatik dan sok empatik. Menariknya, ini karena disebabkan hal yang baik, yaitu ingin bisa bermanfaat atau berguna bagi orang lain. Contohnya, kalau ada rekan kerja yang habis kena marah atau teguran, apa yang kebanyakan orang berikan sebagai respon? Kebanyakan orang akan bersikap menjadi pendengar yang baik, menunjukkan sikap empatik, dan langsung menawarkan solusi.

Yang penting untuk disadari adalah sikap memberi solusi itu.

Apakah solusi itu dikarenakan kita memang paham dan tahu apa yang bisa dilakukan, atau karena sikap sok tahu yang sebenarnya buat bikin senang orang lain, padahal sebenarnya kita tidak pernah mengalami situasi itu sama sekali? Apabila kita punya pengalaman menghadapi kesulitan yang serupa, maka solusi yang kita berikan adalah karena kita pernah mengalaminya; karena kita memang benar-benar tahu, walau tidak mengalami hal yang persis sama. Tapi apabila solusi yang diberikan itu muncul dari imajinasi kita, walau kita tidak pernah mengalami situasi yang serupa; itu jelas adalah sikap sok tahu, bukan benar-benar tahu.

Padahal sikap sok paham dan sok tahu apa yang baik buat orang lain ini, kadang jadi bumerang. Walau berangkat dari maksud  baik sekalipun, itu tidak menjamin sama sekali akan berguna/bermanfaat. Kadang akibatnya bisa langsung berupa penolakan, dan itu masih enak. Masih enak karena kita sebagai si pemberi saran langsung merasakan bumerangnya langsung. Yang lebih rumit adalah ketika orang yang menjadi korban sok paham kita menjalankan solusi kita, dan hasilnya di belakang hari justru makin runyam. Yang terjadi kemudian adalah penyesalan dari dua pihak, si pemberi saran dan si penerima saran.

Main point-nya, menurut saya, adalah bahwa pengalaman seseorang dalam hidup adalah selalu pengalaman personal. Bisa jadi beberapa orang menghadiri pesta  yang sama, duduk di meja yang sama, bercengkerama dengan orang-orang yang sama, menikmati hidangan yang sama; tapi masing-masing mengalaminya secara berbeda dan punya ceritanya masing-masing. Ini tidak bisa dipahami dengan logika yang tampaknya sederhana tapi sebenarnya sesat: “kalau yang namanya pesta ya sama, kalau terima teguran dan kena marah ya berarti sama, dan sejenisnya”.

Si perokok dalam percakapan di atas memiliki pengalaman personal, dan demikian pula si bukan perokok. Secara logika sepertinya menghitung biaya merokok dan mengekuivalensikan dengan harga sebuah mobil adalah benar. Tapi, yang tidak diperhitungkan adalah mengapa si perokok merokok, dan mengapa si bukan perokok tidak merokok. Apakah si perokok tidak merokok karena dia tidak mau beli mobil? Apakah si bukan perokok, bila berhasil menyimpan uang dari tidak merokok, akan menggunakan uang untuk beli mobil?

Lebih jauh lagi, apakah si perokok pernah berpikir bahwa merokok dan memiliki mobil itu adalah dua hal yang harus dipilih salah satu? Mungkin saja bagi dia, hidup merokok tapi naik bis sesuatu yang lebih ia inginkan, daripada punya mobil tapi tidak merokok. Atau bisa juga dia berpikir bahwa dia ingin merokok, dan mencari uang untuk beli mobil suatusaat nanti, tapi tidak dengan menghemat uang dengan tidak merokok. Sebaliknya, mungkin saja si bukan perokok menggunakan uang yang  ia hemat karena tidak merokok untuk hal-hal lain yang ia sukai, tapi bukan untuk beli mobil. Untuk menonton bioskop atau membeli gitar, mungkin?

Dalam bukunya, What the dog saw, Malcolm Gladwell mengekspresikan pandangannya bahwa memahami apa yang di benak orang lain adalah pekerjaan yang sangat sukar. Ini karena kita tidak memiliki pengalaman yang dialami orang lain. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba memahami apa yang ada di benak orang lain, dan itu tidak menjamin kita akan memahami apa yang di benak orang lain. Kita akan memiliki dugaan lebih akurat apabila kita melalui pengalaman yang sama atau serupa. Dalam buku tersebut, Gladwell menceritakan bahwa untuk memahami apa yang dialami John F. Kennedy Jr (putra presiden AS JFK) pada saat-saat menjelang kematiannya, dia menyewa pesawat khusus untuk itu. Gladwell meminta sang pilot bermanuver jatuh secara spiral;  menirukan kondisi ketika pesawat JFK Jr jatuh sebelum meledak. Dia memutuskan bahwa untuk memahami, dia perlu mengalami, tidak cukup hanya membaca hasil forensik.

Dalam organisasi-organisasi yang saya fasilitasi, tantangan terbesar seringkali muncul adalah munculnya ceramah teoritik dari pihak yang merasa tahu atas situasi apa yang harus diubah. Lebih celaka lagi apabila orang-orang yang demikian dalam sejarahnya ternyata tanpa nyali bertemu dan ‘nyemplung’ langsung dalam situasi sulit di lapangan.

Sebagai seorang change strategist dan praktisi organizational development, saya meyakini bahwa orang dan organisasi tidak bakal berubah dengan ceramah/khotbah sehari dua hari, apalagi satu dua jam 🙂 Proses mengalami perubahan sedikit demi sedikit lah yang membuat orang dan organisasi berubah. Belum lagi bila organisasi itu sudah terpuruk lama dalam keputusasaan dan kehilangan harapan. Untuk yang macam ini, khotbah/nasihat/ceramah apapun akan disambuat dengan tepuk tangan, dan sekejap pula akan menjadi menjadi angin lalu 🙂 .

Demikian juga dengan pimpinan organisasi/perusahaan. Bos betulan paham bahwa khotbah dan ceramah kepada bawahan tidak akan bisa serta merta membuat perubahan. Mengapa? Ya karena pengalaman bawahan beda dengan Bos, dan apa yang di benak bawahan bukan dalam kekuasaan si Bos. Bos yang kurang paham ini akan mudah menjadi ‘bos-bos’an, tapi bukan bos beneran.

Mengapa? Karena dia akan capek meneriaki bawahannya, tapi tidak perubahan nyata. Ini yang sering saya temui pada klien saya: Pesimisme sang Bos menghadapi culture jelek yang sudah merasuki mayoritas orang dalam organisasi. Menjadi Bos memang tidak mudah (lihat postingan saya sebelumnya soal ini)

Kita tak bisa berkesimpulan bahwa kita memahami yang dialami orang lain, apabila kita tak memiliki pengalaman yang relatif serupa dengan orang lain itu. Yang mungkin adalah kita bisa menemukan persamaan makna (shared meaning) atas pengalaman-pengalaman yang relatif sama, atau dialami bersama (shared experience). Buku dan segala info media memberikan kita kilasan (glimpse) tentang pengalaman, tapi itu semua tidak bisa menggantikan pengalaman.

Oleh karena itu, segala jenis pemahaman sesungguhnya adalah amalan hidup, yang meliputi tidak hanya kognitif, tapi juga afektif dan tingkah laku nyata. Dalam banyak hal, pemahaman yang paling komprehensif perlu bersifat experiential, karena dari pengalaman lah kita bisa secara optimal berefleksi dan membangun pemahaman yang utuh.

Dengan  cara ini, mungkin si perokok dalam percakapan di atas akan mulai memikirkan manfaat tidak merokok adalah untuk membeli mobil…………………………………………… dan si bukan perokok akan mempertimbangkan untuk membelanjakan uang yang dia tidak gunakan untuk merokok, untuk beli mobil hehehehe…. :-).

Advertisement

17 thoughts on “Antara paham dan sok tahu: Perilaku manusia dalam perubahan

  1. One of the biggest challenge of an organization is change their culture. Ya seperti yang anda uraikan di atas, walaupun boss sudah khotbah sampe habis suaranya, kalau bawahan nggak mau mengubah “budaya” nya sesuai dengan misi & visi perusahaan ya percuma saja. Oleh karena itu, yang namanya Boss harus punya watak dasar kepemimpinan yang baik dalam transformasi budaya perusahaan(bisa liat reply saya dalam postingan employee engagement). Permasalahan Boss dan bawahan dalam komunikasi adalah dalam hal memahami dan dipahami. Dalam buku the seven habits karya Dr. Stephen Covey, dijelaskan bahwa seseorang seharusnya memahami dalam arti mendengar terlebih dahulu baru dia akan didengar atau dipahami orang lain. Bila hal ini dibudayakan di perusahaan, tentu saja hasilnya akan lebih baik dari pada si Boss dakwah sampai serak tadi, karena setiap orang dalam perusahaan terbiasa mendengar baru didengar. Secara otomatis boss jadi lebih berwibawa dan lebih mudah mengelola dan membawa perusahaan menuju jenjang yang lebih baik. Bagi bawahan, lingkungan kerja akan lebih baik karena komunikasi dan kolaborasi antar SDM baik baik dari Top Level Management sampai dengan level operasional. nah permasalahan ini sisa satu…. bagaimana cara si boss dan jajaran top levelnya melakukan sosialisasi program ini….. supaya jangan ada gossip / issue “BRAINWASH PROGRAM”

    1. “seseorang seharusnya memahami dalam arti mendengar terlebih dahulu baru dia akan didengar atau dipahami orang lain”

      Saya sepakat ini yang penting. Yang menarik, organisasi yang saya tangani ini merupakan penyembah Stephen Covey, dan bahkan pimpinan terdahulu pemegang suka sekali memberikan ceramah kemana-mana soal Seven Habits 🙂 Tapi justru mendengar inilah yang paling ditakuti sekarang hahahaha…….

      Disitu lah mengapa saya menulis bahwa pada akhirnya, yang esensial adalah tindakan untuk mengalami. Mendengar pun adalah sebuah amal tindakan, dan untuk sampai ke kondisi itu, maka kita mungkin perlu sosialisasi terbalik hehehehe……yaitu sosialisasi yang lebih untuk mendengar apa yang belum didengar, bukan mennyuruh orang mendengar…….hehehehehe 🙂

      1. masalahnya kan banyak orang yang cuman mendengar tapi tidak mendengarkan pak,.
        kuping nya denger, tp tidak benar2 mau memahami dan ngerti terhadap konteks yg d dengar,.
        dalam hal ini bukan cuman di perusahaan tp dimana-mana juga sama. Bahkan psikolog itu sebenarnya dibayar karena kemampuan mereka untuk mendengarkan juga kan,. haha klo semua orang sudah bisa mendengarkan, psikolog konseling juga terancam ga laku,. XD

      2. Hahahaha….keliahatan kalau aslinya pedagang juga 🙂

        Ya memang mendengar dalam arti listening memang pekerjaan sulit, tapi justru dalam kemampuan melakukan hal yang sulit itulah terletak keberhasilan. Kalau psikolog konseling sudah merasa terancam karena orang bisa mendengarkan, ya berarti memang psikolog ‘bak sampah’ yang tidak kreatif dong. Ini masalah sustainability dan perubahan, dan apabila psikolog cuma mau melestarikan konseling seperti yang sudah ada sejak tahun 70an, ya tragis namanya.

        Ada banyak peluang pengembangan Sian, dan harusnya di dunia yang makin kompleks ini, justru makin banyak peluang untuk menciptakan budaya mendengar.

      3. klo soal psikolog ga laku itu murni becanda pak. ^^”

        ow ya pak kembali ke tulisan ny bapak itu saya jadi teringat beberapa hari lalu saya mengalami hal yang serupa dengan orang lain, tp ketika saya cerita tentang respon saya dia malah nangis. Disini saya jadi sadar bahwa walaupun saya sudah bisa menemukan share value dari pengalaman ttg kejadian yang saya dan orang lain alami tp belum berarti saya benar-benar sudah mengerti sudut pandangnya,. hal itu masih belum dapat bantu orang lain karena kepribadiannya, resistensi dan value nya jauh beda dengan saya.
        hehe untuk yang ini saya sangat setuju sama komentar c pi2n bahwa semua harus kembali pada apa yang diinginkan orang untuk hidupnya sendiri. sebagai orang lain qta cuman bisa memberi alternatif jalan yang bisa diambil saja

  2. Ya. Ini menarik.

    Tapi James. Walaupun kita mencoba mereka ulang pengalaman orang untuk memahami mereka, tetap saja pemahaman akan pengalaman itu berbeda. Orang selalu merasa seturut dengan paradigma yang membentuk mereka. Dan itu memang sifatnya sangat personal. Ini salah satu kerumitan, dan sekaligus tantangan, ilmu-ilmu sosial. Tapi kamu pasti sudah tahu hal ini. 🙂

    Derrida pernah bilang manusia itu enigma. Artinya kita tahu tapi kita tidak pernah sungguh tahu. Manusia itu bukan misteri, karena masih bisa diselami. Tapi ia adalah enigma. Enigma inilah yang perlu kita rayakan.

    1. Benar sekali, sekalipun pengalaman yang sama persis pun, pemaknaan dan responnya juga unik bagi setiap orang. Dan, keunikan itu lahir dari nilai dan soul masing-masing orang itu sendiri. Saya sepakat dengan konsep enigma Derrida, karena memang manusia bisa dipahami, walau tak kunjung terlihat dasarnya hehehe…..
      Menurutku, inilah hakikat manusia yang secara mendasar berpotensi untuk melampaui dirinya, seperti yang kutulis di buku 🙂

  3. ” Main point-nya, menurut saya, adalah bahwa pengalaman seseorang dalam hidup adalah selalu pengalaman personal. ”
    saya kurang setuju dengan kutipan pak james di atas, so what dengan pengalaman personal ? karena mnurut saya ini bukan masalah pengalaman personal, tapi masalah respon tiap individu dalam menghadapi masalah yang di hadapi. memang pengalaman tiap orang berbeda untuk memberi solusi yang dihadapi..
    sya setuju dengan pak reza bahwa manusia itu enigma,.

    1. Hahahaha…saya setuju dengan ketidaksetujuanmu 🙂

      Yang saya maksudkan pengalaman personal adalah respon individu terhadap situasi dan pengalaman yang ia alami. Jadi bukan pengalaman personal dalam artian “yang kualami begini ya begini, kamu bukan aku”. Pengalaman personal yang kumaksud bukan isolasi diri dan ketertutupan yang meyakini seakan apa yang terjadi pada diri kita adalah semata kejadian unik. Realitas pengalaman personal adalah cara unik kita merespon sesuatu. Oleh sebab itu, masalah yang sama bisa jadi butuh solusi yang berbeda bagi setiap orang, karena pola respon pada situasi setiap orang berbeda 🙂

      Jadi sepertinya dalam ketidaksetujuan kita, terdapat kesepakatan pada tingkat esensi 🙂 Ini sendiri merupakan contoh enigma 😉

  4. “…Pesimisme sang Bos menghadapi culture jelek yang sudah merasuki mayoritas orang dalam organisasi…” menarik ini, pak.. aku mau tanya.. jadi kalimat ini maksudnya apakah si bos itu berada di luar lingkaran culture jelek itu, atau ada d…i dlmnya?? jd dia kok bs merasakan pesimisme itu??? aku tangkepnya dr maksud bapak itu dia ada di luar lingkaran, karena kalo di dalam, kok umumnya org malah tanpa sadar “menikmati” ya??

    pemahaman kedua, bisa aja sebenarnya pesimisme itu ada bukan hanya di atasan, tp malah di bawah2nya.. “ya udah, udah kayak gini kok, mau ngubah gimanaa?? toh bosnya ya gt…. ya udh dinikmati n dijalani aja kayak gini skrg… toh ya mau tricky gimanapun, bos dan rekan kerjA Ya wes kayak gitu… “pemahaman seperti itu, mungkin bisa juga kayak jadi value yang mendasari culture jelek di perusahaan.. culture jelek–>pesimisme???

    paradoksnya membingungkan, pak.. gimana menurut bapak?

    1. Ya kalaupun di dalamnya, kalau terasa merugikan ya biasanya terasa. Bos pasti merasa culturenya membikin situasi kerja merugikannya 🙂 Karyawan, apa bila bermental malas dan cuma mau terima gaji, akan sebaliknya, seringkali tidak merasakan apabila culture produktif atau tidak hehehe……karena itu bukan interest mereka. Tapi bisa juga atasan maupun bawahan sama tidak sadarnya, seperti yang kamu tulis.

      Jadi luar dan dalam lingkaran itu relatif menurutku. Yang menurutmu pemahaman pertama dan kedua itu menurutku bukan dua hal yang terpisah atau berlawanan satu sama lain. Dan, seperti itulah paradoks, sebagaimana kamu katakan 😉

  5. Hahaha.. Ini nih.. Salah satu dari contoh prinsip yang saya miliki: Orang bermaksud baik dan berbuat baik belum tentu mendatangkan hasil yang baik (maksudnya belum tentu sesuai kebutuhan…) hehehe….

    Tentang pengalaman seseorang adalah pengalaman personal, iya, saya setuju.. Dalam artian bagaimana orang memaknai pengalaman dan bereaksi terhadapnya itu merupakan keunikan dari tiap orang yg dipengaruhi oleh value, history, pribadi masing-masing orang..

    Tentang manusia bisa dipahami… Hm… yaaa bisa saja sih.. Walaupun dari sudut pandang saya, kita tidak akan pernah bisa memahami seorang manusia secara utuh seutuh-utuhnya.. Wong kadang memahami diri sendiri aja belum tentu ‘jangkep’… Wong saudara atau suami atau istri atau anak atau orang tua yang sudah hidup bersama kita berpuluh2 tahun aja juga ada hal-hal yang tetap membuat kita surprise.. hehehe… 🙂

    However, lepas dari itu semua.. Saya rasa supaya meminimalkan agar tidak jadi ‘sok tau’ dan ‘sok solutif’ dan sok sok berikutnya, saya setuju dengan Pak James bahwa memang share value itu perlu ada.. (dalam artian memahami value orang lain, tidak berarti harus memiliki value yang sama..) Kemudian, memahami psychological well being orang tersebut juga perlu.. Maksudnya begini.. Contohnya nggak semua orang merasa beli mobil itu sebuah kepuasan.. siapa tau ada orang yang lebih puas kalau merasakan sensasi naik bis.. hehe..

    Dan terakhir.. Akan lebih baik kalau kita membantu orang lain untuk menemukan solusi untuk diri mereka sendiri.. Bukan kita yang mendikte.. Atau kalaupun memberi saran ya sudah merupakan kewajiban juga untuk memberi tahu reason, pertimbangan, dan konsekuensi2 yang mungkin ada di balik saran itu..
    But still… the final decision making include with all responsibilities nya ya tetap di tangan orang tersebut..

    1. Yes, I agree. Life is not as simple as a fairy tale, where the fairy will deploy magical solution and things will simply be solved.

      Jadi benar omongan yang mengatakan bahwa hidup manusia itu seperti tergantung pada rajutan benang-benang tipis. Terkesan misterius dan rapuh, tapi keterkaitan yang rapuh antar benang-benang tipis itu ya uniknya bisa survive…..atau kadang tidak juga, dan malah jebol. Very abstract, complex and contingent 😉

  6. A: “Ehh,, jangan deket-deket di pinggir jendela, ntar kamu jatuh…kamu bisa mati!”
    B: “emang kamu da pernah nyoba jatuhin dirimu? mati gak?”

    sama halnya dengan di kuliah…hehehe

    A: “Aku gak mau ambil 24 SKS….capekkk…”
    B:”Emang uda pernah ambil segitu?kamu sekarang semester berapa?”
    A:”Belum. semester 2…”

    Dieeenkkk…feel it, masuk ke dalam suatu pengalaman baru bisa tahu ada apa di balik layar…kira-kira yang aku tangkap itu pak…hehe

    1. Ya, walau kalau ‘jatuh dan mati’ merupakan contoh yang agak ekstrem hehehe….
      Tapi prinsipnya memang bahwa pengalaman itu sesuatu yang spesifik bagi setiap orang, dan generalisasi bisa sangat berbahaya

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s