Bila ada yang bisa kita sebut sebagai ciri dunia masa depan, mungkin teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah salah satunya. Dunia menjadi sangat berbeda sejak TIK memasuki relung-relung kehidupan masyarakat. Bahkan, sepertinya teknologi ini berhasil merubah struktur masyarakat secara fundamental. TIK telah berhasil mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Saat ini, banyak sekali anak-anak kecil lebih intim berinteraksi dengan orang-orang yang terhubung dengannya lewat handphone atau komputer. Banyak orang merasa menemukan dunianya di kumpulan-kumpulan yang kini populer dengan label ‘komunitas’ ini dan itu. Komunitas-komunitas ini, selayaknya pertemanan-pertemanan lewat jejaring sosial, adalah terbentuk di antara orang-orang yang sebelumnya tak saling mengenal. Pertemuan melalui kesamaan minat, kesamaan hobby, kecocokan profil dan beragam titik temu yang lain membuat orang-orang dari beragam latar belakang menjadi dekat.
Dunia semakin informal. Itulah yang membuat teknologi informasi dan komunikasi mendekatkan yang jauh. Tapi bagaimana dengan yang sudah dekat? Apakah mereka menjadi semakin dekat? Apakah kita semakin dekat dengan orang-orang yang dalam keseharian berada di sekitar kita?
Keluarga : Biologis vs Psikologis?
Ketika kita mencoba menjawab pertanyaan di atas, muncul hal yang paradoks. Makin sering kita lihat keluarga yang pergi bersama, namun tampak jauh satu sama lain. Anak-anak sibuk dengan teman-temannya melalui jejaring sosial atau beragam aplikasi messenger. Orangtuanya pun sibuk dengan gadget-nya masing-masing, dan asyik bercengkerama dan bersosialisasi dengan rekan arisan, teman satu klub, rekan sekomunitas dan sabagainya; tapi yang jelas, bukan dengan keluarga sendiri. Yang tampak, interaksi dan sosialisasi model baru ini menjauhkan yang dekat.
Apa ini era kehancuran nilai-nilai keluarga? Sebagian orang berargumen begitu, dan saya paham mengapa berpikir demikian. Umum beranggapan, keluarga sebagai kumpulan yang terikat dalam hubungan darah. Bila dilihat dari dimensi ini, memang argumen itu ada benarnya. Tapi, saya punya perspektif berbeda.
Sekarang ini justru masa dimana semangat kekeluargaan tumbuh makin kental. Hanya, ada satu catatan penting disini: Seringkali semangat kekeluargaan tumbuh di kumpulan-kumpulan yang tidak bertalian darah. Keluarga yang makin kuat justru keluarga psikologis, bukan keluarga biologis.
Lihatlah komunitas-komunitas dan interaksi jejaring sosial. Interaksi yang tercipta fleksibel, responsif, dan less-bureaucratic. Komitmen yang mengikat orang-orang di dalamnya adalah komitmen emosional. Komitmen legal-formal seringkali sedikit atau bahkan tidak ada. Walau demikian, semangat berkontribusi kadang jauh lebih kuat daripada pada keluarga yang secara formal dan legal mengikat. Inisiatif dan partisipasi jauh lebih intens daripada di pekerjaan, padahal di pekerjaan mereka digaji, sementara di komunitas malah mereka mungkin membayar iuran atau dana patungan. Semangat kreatif dan kesediaan berkorban juga lebih tinggi, dibandingkan tanggungjawab pada pekerjaan atau pada negara sekalipun. Menurut saya, inilah sesungguhnya esensi menjadi sebuah keluarga.
Meninjau ulang model family business
Melalui sebuah artikel berjudul In hard times, family firms do better dalam Newsweek edisi khusus menyambut 2011, Andrew Bast mengangkat pembahasan seputar keberhasilan bisnis-bisnis besar yang dimiliki keluarga berhasil bertahan melalui krisis. Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa beberapa penelitian tentang keberhasilan beberapa family business besar dalam mengatasi krisis dengan lebih baik dibanding perusahaan publik. Tentu saja ini tidak berarti secara absolut bahwa semua family business sukses melalui krisis, dan semua model bisnis profesional terbuka berbasis merit gulung tikar. Family business yang diangkat disini memiliki beberapa karakter yang dipandang menentukan keberhasilan mereka; karakter yang menunjukkan bahwa mereka adalah family business model baru.
Berbeda dengan citra family business yang biasanya identik dengan organisasi tidak profesional dan tidak bertanggungjawab, beberapa family business yang sukses ini cenderung tidak bergantung pada hutang dan keputusan-keputusan sembrono, karena mereka melihat pentingnya visi jangka panjang. Mungkin karena mereka sadar betapa besar resiko yang akan mereka rasakan langsung, mereka menjadi lebih bertanggungjawab. Mereka mempercayakan manajemen operasional pada para profesional yang terbukti kompeten, sementara mereka lebih fokus pada pemeliharaan long-term relationship dengan konsumen dan suppliers. Mereka juga dengan cepat mengambil keputusan-keputusan penting, karena tidak perlu waktu banyak untuk ‘bernegosiasi sana-sini’. Selain itu, ada karakter lain dari model bisnis mereka yang cukup mengejutkan: mereka sangat memperhatikan pentingnya ‘memelihara’ staf/SDM yang penting bagi bisnis mereka.
The bottom line is, dunia yang ‘kacau’ ini membutuhkan pola kerja yang fleksibel, responsif, dan tegas. Selain itu, organisasi harus bisa berstruktur simple, tidak birokratis; namun sekaligus juga canggih dan mampu menghadapi tantangan lingkungan yang berubah-ubah. Kunci dari ‘simple tapi canggih’ ini adalah the kind of relationship yang terdapat dalam family business yang sukses: arah yang jelas dan tegas, pemeliharaan SDM kunci, stakeholder engagement jangka panjang dan efektif, serta yang paling penting adalah suasana informal yang efektif dalam mewujudkan sesuatu. Dari dimensi kepemimpinan, pola kepemimpinan benevolent autocratic kembali menemukan relevansinya dalam model baru family business ini.
Dan menariknya, ini tidak selalu identik dengan pertalian darah. Yang membedakan family business yang sukses dengan yang tidak adalah hubungan psikologis sebagai keluarga, bukan status formal biologisnya. Mungkin, cara pandang kita dan konotasi kita tentang family business snediri perlu ditinjau ulang.
Yang utama bukan soal pertalian darah, tapi ikatan emosionalnya…….
Tampaknya cara pengelolaan bisnis, bahkan organisasi secara umum, perlu mengikuti pola family business model baru ini. Karakter utama family business yang bagus adalah kebijakan sentral yang tegas (decisive) dan kokoh (firm) yang disertai dengan jaringan kerja yang fleksibel, responsif, dan less-bureaucratic. Komitmen yang mengikat orang-orang di dalam organisasi serta stakeholder eksternal (suppliers dan konsumen) adalah lebih pada komitmen emosional daripada komitmen legal-formal. Ikatan emosional dan interaksional yang dimaknai secara bersama justru menjadi perekat yang jauh lebih efektif daripada struktur dan tata cara formal (lihat post saya sebelumnya soal ini).
Sebuah bangsa terbentuk karena suatu titik temu dalam sejarah. Namun yang membuatnya bertahan sebagai sebuah bangsa adalah pengalaman bersama sebagai sebuah kesatuan/kumpulan yang bersifat kolektif. Sama halnya dengan keluarga. Sebuah keluarga terbentuk karena kelahiran dalam pertalian darah. Namun yang membuat ikatan keluarga itu sungguh nyata adalah pengalaman emosional kolektif yang dialami bersama. Sebuah bangsa bisa tercerai-berai, sebagaimana sebuah keluarga bisa pecah (broken-home). Yang paling menentukan bukan bagaimana pembentukannya, tapi bagaimana ikatan kolektif yang tercipta.
Memang ada resiko pada model bisnis seperti ini, semisal kolusi, accountability problem, dan segala jenis penyelewengan yang mungkin terjadi dalan situasi yang cenderung informal. Namun itu kembali pada kesadaran pimpinan dan semua orang di dalamnya. Model bisnis apa yang tidak punya resiko sama sekali? Semua model punya titik lemahnya sendiri, dan demikian pula demikian model family business. Organisasi bisnis bisa diibaratkan sebagai sebuah keluarga, apakah ingin menjadi broken-home family, atau prosperous family.
Bila anda bekerja dalam family business dalam arti harafiah, maka hidupkanlah nilai-nilai kekeluargaan itu dengan efektif. Jika tidak, nilai-nilai kekeluargaan itu tentu layak dicoba dalam penerapan organisasi bisnis apapun. After all, bukan soal pertalian darah yang utama, tapi ikatan emosionalnya.
Happy 2011!
Thx for the insight James!
Ini menegaskan apa yang sudah saya yakini dari dahulu, bahwa ada prinsip-prinsip fleksibel untuk menciptakan bisnis bermutu yang melampaui bentuk-bentuk bisnis, entah itu korporat, bisnis keluarga, bisnis sosial, ataupun perusahaan publik, dan bahwa pada hakekatnya, keluarga adalah soal kesamaan visi hidup, serta bukan cuma sekedar hubungan darah. Selamat tahun Baru!
Betul. Banyak orang bilang, jangan libatkan perasaan dalam bisnis. Itu ada benarnya dalam artian kita harus sadar bagaimana supaya profesional dan rasional. Namun dalam dunia yang berubah ini, bisnis tidak lagi semata fungsi rasional, tapi juga fungsi emosional. Dalam konteks ini, relasi yang dibangun karena komitmen emosional yang dibangun berdasar kesamaan visi dan nilai hidup menjadi semakin strategis.
Siapapun yang mengelola organisasi perlu paham ini, dan mampu menuangkan dalam strategi operasional yang efektif.
Saya pikir kita tidak bisa sungguh membedakan antara rasio dan emosi. Ini pembedaan yang sebenarnya sudah tidak pas lagi. Dalam banyak penelitian yang saya baca, rasio selalu terkait dengan emosi, dan sebaliknya. Ketika kita berpikir emosi kita itu ambil bagian di dalamnya. Dan ketika kita merasa, pikiran kita juga ikut berpartisipasi di dalamnya.
Saya lebih memilih menggunakan pembedaan antara rasional dan irasional. Rasional berarti membuat keputusan dengan berpijak pada data dan silogisme yang runut. Irasional berarti tidak keduanya. Variabel yang juga cukup penting adalah konteks. Membuat kpeutusan dengan memperhatikan konteks adalah bagian penting dari rasionalitas. Jika semua ini dilakukan secara rutin, maka ini akan menjadi kebiasaan, yakni orang bertindak berdasarkan data, silogisme, dan konteks. Saya pikir ini bagian esensial dari kepemimpinan dalam semua organisasi manapun.
Benar sekali. Ada kesesatan yang seakan mengartikan rasionalitas sebagai tanpa memperhitungkan aspek emosional…..dan mengartikan emosional sebagai irasionakl dan tidak pakai otak 😉
Ini membuat keluarga sesungguhnya bukan lagi keluarga, dan organisasi bukan lagi organisasi. Padahal, kemampuan memahami hal ini secara utuh yang menentukan sustainability.
Apa makna kesetiaan di dalam organisasi James? Asumsinya keluarga pun adalah sebuah organisasi, dan sama2 bercita-cita untuk sustainable, maka diperlukan kesetiaan di dalamnya.
Dalam konsep-konsep dan pemikiran organisasi, sebenarnya tidak ada loyalitas atau kesetiaan. Yang ada adalah ikatan (bond), keterlibatan (involvement), engagement (yang ini saya kurang tahu padanan dalam Bahasa Indonesia-nya), komitmen dan perilaku kewargaan (organizational citizenship behavior). Kesemuanya merupakan pola bersikap dan bertindak yang guided by values, baik personal maupun kolektif.
Menurut saya, kesemuanya menggambarkan makna loyalitas secara lebih jelas. Loyalitas sendiri sering dimaknai terlalu abstrak dan sempit menjadi satu arah, dimana orientasi kesetiaan bukan pada nilai kolektif keluarga/komunitas/organisasi, tapi pada otoritas dan kepentingan orang-orang tertentu.
Saya pikir ini yang harus dikritisi, dan ini pula yang menentukan perbedaan tirani otoritarian dan benevolent autocratic.
Happy New Year 2011, Sir!
pertanyaan saya pak, apakah semua perusahaan yang awalnya dari family business nantinya akan jadi perusahaan yang formal ?
kemudian apakah family business lebih peka terhadap perubahan ?, karena toh dari segi pengambilan keputusan mereka sangat “peka” terhadap permasalahan yang ada.
Untuk pertanyaan pertama, berdasar pengalaman saya, jawabannya tidak. Ada banyak contoh dimana family firms berkembang menjadi sangat formal dan terstruktur secara profesional. Ada banyak pula yang tetap acak2an dan tidak jelas hingga generasi ketiga keluarga pemilik. Biasanya yang begini akan bangkrut pada generasi berikutnya karena sistemnya sudah remuk. Mungkin itu ada kaitannya dengan salah satu anggapan orang Chinese, harus hati2 kalau bisnis sudah sampai keturunan generasi keempat hehehe…….
Untuk pertanyaan kedua, saya pikir jawabannya secara umum adalah: tidak ada jaminan. Family business mungkin peka terhadap hal-hal yang terlihat ‘membahayakan’ bisnis, dan itu karena tingkat kepemilikan yang lebih dalam (karena modalnya sendiri yang dipertaruhkan). Tapi menjadi pemilik tidak otomatis berarti bisa melihat pentingnya berubah, dan harus bagaimana berubahnya.
Bahkan family business punya tantangan tersendiri, yaitu secara kolektif (sebagai keluarga) bisa sevisi. Kan banyak kasus, anak lihat perlunya perubahan, tapi ortunya tidak. Atau sebaliknya, anak sok ingin ubah ini itu padahal belum pas momentnya, lalu ribut dengan ortunya (yang ternyata lebih bijak). Kalau dah begini, konfliknya kan juga jadi konflik personal.
Seringkali, perubahan yang dilihat adalah perubahan pada diri sendiri. Walau segala jenis perubahan dimulai diri sendiri, tapi organisasi adalah bentuk kolektif. Kolektif disini adalah ‘merubah’ anggota keluarga yang lain yang juga pemilik, serta seluruh karyawannya agar bisa melihat visi perubahan yang sama.
Pada realitanya, pemimpin harus memiliki dua ketrampilan perubahan: merubah diri dan mendesain situasi yang mendorong perubahan pada orang-orang lain. Ini juga tidak terkecuali bagi keluarga pemilik family business.
berarti pada dasarnya perubahan diri sendiri dimulai dari pemimpin dong?
apa ada kaitannya karena pemimpin inilah yang punya power dynamic?
Saya kurang bisa menangkap pertanyaanmu. Bisa kamu perjelas?
Yang pasti, power dynamic diciptakan oleh semua, tidak hanya pemimpin. Namun pada konteks family business, karena mereka pembangun visi dan nilai dasar organisasi, tentu saja mereka punya power yang khusus.
oh gini pak, perubahan diri yang saya maksud adalah perubahaan perusahaan yang dimulai dari pemimpin terlebih dahulu. sehingga selanjutnya pemimpin itulah yang menggerakkan perubahan ke orang lain atau mungkin bawahannya. apakah seperti itu pak yang bisa saya tangkap sih dari penjelasan di awal ?.
Pada umumnya memang perubahan cenderung top down, karena fokus power dynamic lebih jelas dengan cara itu. Bottom up seringkali tersesat dalam ‘demokrasi tanpa nilai dan tujuan’, sehingga jadi euforia tanpa arah saja.
Oleh karena itu, konsep kepemimpinan kolektif bottom-up, walau kesannya idealis dan indah, itu jarang kita temui dalam sejarah nyata. Ini karena desain dan strateginya lain, dalam arti lebih kompleks daripada top down terpusat.
Nah pada family business, pada dasarnya top down, karena dimulai dari visi pemilik. Nature-nya berbeda dengan koperasi, credit union, atau organisasi sosial. Walau demikian, ada juga pimpinan top down yang juga memberi ruang bottom up. Ada beberapa family business yang demikian, semisal Astra jaman Om Willem dulu. Kalau untuk pemerintahan, Kesultanan Yogya misalnya.
Saya pribadi lebih menyarankan agar tidak terjebak melihat power dynamic sekedar dua arah, top down vs bottom up. Itu sebenarnya kurang sistemik dan agak simplifikasi.
em yang saya ingin tanyakan pak. apa nilai-nilai keluarga yang harus di angkat dalam bisnis keluarga?
dan tingkatan emosional apa yang istimewa dari sebuah bisnis keluarga selain dari karena merasa ini modal sendiri. karena sepengetahuan saya banyak juga yang malah rebutan siapa yang memiliki power penuh atas perusahaan. dan banyak konflik atas kekuasaan atas perusahaan yang akibatnya malah konflik personal seperti yang diungkapkan di atas.
Hehehe….pertanyaan bagus dan kompleks.
Kalau berdasar apa yang saya pahami dalam beragam kasus yang saya alami, saya pikir yang paling esensial adalah nilai-nilai dasar dari keluarga itu sendiri. Maksudnya adalah nilai apa yang ada dalam keluarga itu sejak dia terbentuk. Nilai-nilai itu yang nanti akan mempengaruhi bagaimana bisnis yang mereka bangun.
Misal, keluarga yang dalam kesehariannya teledor, maka manajemen bisnisnya akan cenderung teledor dan acak-acakan. Keluarga yang kuat dalam perencanaan akan cenderung membangun bisnis dengan perencanaan yang kuat. Keluarga penjudi, cenderung akan menjadi risk taker dan spekulan yang ekstrem dalam bisnis. Keluarga dimana pelanggaran aturan dan ‘menyiksa’ anggota keluarga yang lebih lemah adalah biasa, maka dalam pekerjaan juga akan ‘menyiksa’. Keluarga yang dalam segala hal terlalu peragu, cenderung akan lambat dalam mengambil keputusan bisnis juga. Keluarga ‘tukang jualan’ cenderung membangun bisnis jualan/marketing/retail/buka toko.
Nilai-nilai dasar itulah yang menentukan ikatan emosional yang terbentuk. Keluarga yang ‘menyiksa’ bisa jadi membangun ikatan emosional berupa campuran rasa saling menyayangi sekaligus saling takut. Bisa juga ikatan emosionalnya adalah saling mengakali dan saling menusuk. Sebaliknya yang punya ikatan harmonis dan penuh pengalaman menyelesaikan konflik mereka, bisa jadi sangat solid namun fleksibel.
Jadi, tiap keluarga punya nilai-nilai dasar yang menentukan bagaimana membentuk bonding dan komitmen, dan juga bagaimana menjalankan organisasinya. Konflik perebutan warisan, konflik antar pemilik, konflik pemilik lawan karyawan profesional, dan sebagainya merupakan dampak dari nilai-nilai yang ada.
Kalau mau mengubah, maka keluarga pemilik harus mau merubah nilai-nilai dasar dalam berkeluarga dulu. Itulah mengapa family business kalau memang solid dan kuat akan sangat kuat, dan sebaliknya, kalau remuk ya hancur lebur. Bukan saja bisnisnya saja, tapi seluruh kehidupannya. High stakes, high gain, high risk 🙂
Well, Kalau bicara Family Company, saya rasa tidak akan jauh berbeda dengan Formal Company lainnya. yang namanya konflik bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Perusahaan tempat saya bekerja juga tergolong Family Company, dan menurut pengamatan saya, nilai-nilai kekeluargaan biasanya diselaraskan dengan policies, SOP, Jobdesk, maupun standart kebijakan lainnya yang di adopsi dan di implementasikan melalui transformasi values & culture pada business process untuk meningkatkan revenue & productivity perusahaan secara professional.
Ini yang bisa bikin Family Company dapat exist, sustain, dan terus berkembang menjadi sebuah Enterprise yang bernilai tinggi, yang bahkan bisa melebihi Formal company yang biasanya hanya memiliki nilai professionalisme saja. Jadi kalau ada pertanyaan “Kapan mau coba Family Business model baru?” jawabannya adalah “Sekarang!”. Peluang usaha bagi Family company sangat besar sekali karena masih banyak sekali potensi Family Company yang belum tergali ataupun belum disadari. Sekedar mengingatkan, China, sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia, memiliki banyak perusahaan besar dan umumnya Family Company (setahu saya).
Benar. Bilai nilai kekeluargaan yang sejati, yang membangun ikatan emosional, bisa diaplikasikan dalam organisasi bisnis; maka hasilnya akan sangat luar biasa.
Sekedar koreksi, perusahaan family business memang banyak, tapi bukan yang paling dominan. Menurut The Economist, ekonomi Cina (sekitar 75%) masih ditopang oleh perusahaan negara, perusahaan daerah dan konsorsium-konsorsium. Tapi berbeda dengan di Indonesia, perusahaan publik dikelola seperti perusahaan swasta yang sangat profesional. Sedangkan industri kecil dan menengah memang banyak yang family business, tapi belum menjadi motor ekonomi terbesar. Walau demikian, karena kedisiplinan dan komitmen organisasi orang RRC termasuk tinggi, saya melihat ke depan mereka akng menghasilkan banyak family business yang berkualitas.
sebetulnya orang RRC itu bagaimana ya pak, gimana caranya mereka bisa meningkatkan kedisiplinan dan komitmen organisasi sebegitu tingginya ?
Wah ini pertanyaan berat yang harus dijawab dari beragam dimensi: filosofis, kultural, psikologis, sosiologis, politis dan mungkin spiritual 🙂
Saya cuma bisa merespon berdasar orang-orang RRC yang saya kenal, dan perlu sekali dibedakan antara orang-orang RRC dengan orang etnis Chinese. Orang-Orang RRC yang saya kenal, mulai dari mahasiswa yang saya kenal waktu kuliah di US dulu hingga orang RRC yang jualan kermaik di banyak pusat perbelanjaan di Surabaya, punya tiga ciri utama: Tekun, efisien dan suka belajar.
Ya tentu tidak ada generalisasi absolut, tapi tampakany pengalaman historis dan politik mereka di bawah pemerintahan komunis membuat mereka sangat suka belajar untuk maju dan tidak ketinggalan. Mereka juga sepertinya biasa dan paham sepenuhnya bahwa untuk maju, tidak bisa tanpa kemauan kuat dan suka mengeluh. Oleh karena itu mereka tekun sekali. Di US, mahasiswa China mudah sekali dapat beasiswa, karena selain suka belajar, juga memang tekun luar biasa.
Itu semua baru ngomong nilai-nilai dasar pribadinya. Dan, sepertinya itu sudah didasari oleh sekian lama budaya mereka membuat etos itu terbentuk, ditambah pemerintahan komunis dengan ekonomi kapitalis yang mereka terapkan. Kan orang RRC itu terkenal kreatif dalam ekonomi dan patuh dalam hal politik negara. Jadi kalau mereka ngomel-ngomel pun, mereka tetap produktif hehehe. Mungkin itu juga pengaruh ke perkembangan bisnis mereka.
Bung james, apa keuntungan dan kelebihan dari family business?
Bagaimana syarat agar family business dapat sukses?
Thanks
Sorry baru bisa jawab sekarang, Bung Verdi.
Keuntungan adalah kekuatan ikatan nilai-nilai yang lebih kuat, asal dikelola dengan baik. Family business punya kesempatan paling bagus untuk membangaun bisnis yang berakar pada kesamaan nilai dan ikatan emosional. Ini sesuatu yang tidak dimiliki oleh bisnis yang ownershipnya tidak memiliki latar kehidupan yang sama.
Namun, pada banyak kasus di Indonesia, memang banyak yang gagal. Mengapa? Karena dalam proses berkembangnya, seringkali nilai-nilai dasar yang dibangun oleh generasi pertama makin luluh dan hancur seiring peralihan generasi. Bahkan pada beberapa kasus, belum terjadi pergantian generasipun, sudah gagal karena tidak adanya konsistensi. Contoh yang paling umum soal ini adalah penyakit terlena; yaitu tidak lagi mau bekerja keras dan menjaga kualitas seperti saat-saat awal membangun bisnis. Konsisten pada nilai aja sulit, apalagi mengembangakn sesuai arah jaman. Ini yang jadi tantangan terbesar.
Intinya sebenarnya begini: Manusia itu cenderung tidak konsisten dan melemah prinsipnya saat kondisi makin enak. Nah, kalau perusahaan profesional. pimpinan yang jelek tentu akan digantikan, sehingga organisasi konsisten terjaga oleh ‘darah segar’ yang konsisten. Sebaliknya, family business tidak bisa pakai cara begini. Pemimpinnya harus terus-menerus konsistensi diri. Ini tantangan khas family business.