Omong kosong bukan lagi sebuah situasi dimana apa yang dikatakan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Omong kosong sekarang disengaja. Omong kosong kini malah menjadi salah satu strategi yang diyakini efektif. Bukannya menyampaikan tentang apa yang memang sungguh ada, masyarakat kita sekarang cenderung mengkonsumsi hal-hal yang sejatinya mengada-ada.
Itulah masyarakat kita sekarang. Kita, masyarakat Indonesia, sedang jamak-jamaknya menampilkan karakter sebagai masyarakat omong kosong. Media dan pembicaraan keseharian acapkali dipenuhi dengan bualan. Ini semuanya tampaknya disengaja sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan popularitas dan persepsi baik. Situasi ini, yang kerap disebut sebagai pencitraan, adalah wadah bagi strategi omong kosong.
Jangan salah, pencitraan bukan sesuatu yang jelek. Sebaliknya, saya yakin itu hal yang sangat penting bagi masyarakat. Yang kerap membikin pencitraan seakan-akan negatif itu adalah kenyataan bahwa strategi pencitraan yang kerap kita temui di Indonesia adalah strategi omong kosong.
Jadi sesungguhnya masalahnya bukan pencitraan, tapi strategi omong kosong yang kerap digunakan.
Media massa banyak diisi hal-hal yang katanya adalah feature seputar humaniora, tapi isinya informasi kosong yang tidak jelas aspek fungsi sebagai informasi ataupun estetika sebagai inspirasi. Acara-acara televisi yang katanya mengikuti selera masyarakat, dan menjadi media komunikasi massa yang dangkal. Kehebohan omong kosong berikut kerap kita saksikan :
- heboh informasi dan intelektualisme, tapi tidak jelas mana yang bermakna dan ada gunanya,
- heboh aspirasi dan diskusi, tapi hanya dipakai untuk prokrastinasi alias berputar-putar ketimbang menyelesaikan masalahnya
- heboh sertifikasi dan lisensi, tapi tidak jelas fungsinya, plus banyak yang bingung cetak sertifikat daripada sungguh-sungguh meningkatkan kualifikasinya
- heboh ujian seleksi, tapi tidak jelas tolok ukurnya
- heboh konsep dan wacana, tapi tidak jelas bagaimana penerapannya
- heboh mengikuti ‘idola’ secara membuta, tapi tidak jelas inspirasi apa untuk kelak akan men jadi apa
- heboh demokrasi, tapi yang penting semata memenuhi kepentingan sendiri tanpa peduli apa itu kepentingan publik
Topik-topik mulia macam keadilan, kepedulian sosial, perubahan, kemanusiaan, penegakan hukum dan lain-lain sangat kerap diucapkan tanpa disertai tingkah laku konsisten dan konsekuen dari si pengucap. Kalaupun nanti kredibilitas si pengucap terbukti sama sekali bertolak belakang dengan omong kosong manis yang selama ini membuat dia dikenal, si pengucap tidak malu. Kita sudah biasa melihat tertuduh korupsi bilang dia tidak korupsi. Kita sudah bosan melihat para politikus yang mengaku reformis dan ingin membersihkan negeri ini, ternyata sama busuknya dan tetap tak malu untuk terus berkilah.
Namun itu semua bisa terjadi karena masyrakat kita bisa menerima semua tokoh-tokoh ini dengan segala omong kosong mereka. Bukan hanya menerima, masyarakat nampaknya menikmati kronik omong kosong ini, selayaknya kronik sensasi yang timbul dari omong kosong itu sebuah promosi. Ini bisa dianalogikan dengan diskon-diskon sale di pusat perbelanjaan, yang mana apabila kita perhitungan besar potongan beserta seringnya diskon diberikan, menunjukkan bahwa potongan diskon itu hanya trik psikologis yang mengasyikan konsumen saja. Demikian pula kronik dan sensasi omong kosong yang disajikan para tokoh ini, yang sudah jelas omong kosong tapi ya masih menarik perhatian juga.
Ada 3 masalah besar dengan strategi omong kosong ini:
- Banyaknya penggunaan strategi omong kosong ini mengaburkan mena yang sungguh-sungguh dan mana yang mengada-ada.
- Terjadi efek ‘candu’ dimana kita dikondisikan hidup dalam pandangan bahwa segala sesuatunya sedang dalam proses. Padahal ’sedang dalam proses’ itu artinya sedang terjadi perubahan menuju arah tujuan beserta hasil tertentu, bukan mengambang dalam ketidakjelasan yang tampaknya sengaja tidak diselesaikan.
- Terjadi ‘masturbasi intelektual’ secara berlebihan di masyarakat, dimana begitu banyak wacana dan ide bertumpahan, namun hasil nyata dari ide-ide itu ternyata jauh lebih sedikit. Ini karena sebagian besar ‘masturbasi intelektual’ itu sebenarnya hanya menghasilkan omong kosong, bukan ide untuk diimplementasikan. Sayang sekali ketika energi dan potensi kognitif dalam masyarakat disia-siakan untuk ‘menggoreng’ omong kosong. Saya melihat ini sebagai sebuah penghamburan sumberdaya peradaban (civilization resource wasting).
Media sosial dipenuhi dengan trending topic hadir sensasional dan meroket dengan cepat menjadi populer, untuk kemudian terjun bebas tanpa bekas, seakan itu tak pernah ada. Semua diskusi, wacana, ide dan topik hanya memuncak untuk kemudian berlalu. Begitu banyak istilah-istilah canggih dan rumit digunakan oleh masyarakat, yang tampaknya merupakan cerminan kemajuan peradaban dan intelektualitas.
Tampaknya….. Dan disitulah kuncinya……semua ‘tampaknya’ itu yang terasa mengganggu……
‘Tampaknya’ memberikan sebuah makna akan sesuatu yang tampak sedemikian rupa, tapi tidaklah pasti. Ada sebuah keraguan apakah yang tampak adalah memang demikian adanya. ‘Tampaknya’ ini menggambarkan sebuah permakluman atas kesengajaan menggunakan daya kognitif dan akal budi masyarakat untuk konsumsi dangkal. Singkat kata, daya pikir digunakan untuk mengolah omong kososng supaya dikonsumsi oleh masyarakat yang memang doyan omong kosong.
Yang paling ironis, hal ini disengaja. Omong kosong digunakan karena memang cukup efektif untuk mempengaruhi masyarakat kita. Biarpun terdengar agak kurang logis, tapi mari kita jujur, masyarakat kita memang lebih bisa menerima omong kosong daripada kebenaran. Maka tak aneh bila strategi omong kosong dipandang efektif, dan kerap digunakan.