Hari – hari ini kita memasuki bulan penghujung 2013. Biasanya di bulan terakhir setiap tahun ini, sebagian dari kita merasakan kehidupan yang ‘dibanjiri’ oleh kesibukan penutupan tahun. Ada yang sibuk di pekerjaan terkait dengan tutup tahun, ada pula yang sibuk dengan sale akhir tahun yang bakal menjamur. Ada pula yang pusing memikirkan liburan anak-anak, atau mempersiapkan diri menghadapi kenaikan harga di tahun yang baru.
Namun banyak pula yang karena begitu sibuknya bahkan tak menyadari bahwa tahun akan berganti. Dengan kata lain, bagi orang-orang yang merasa demikian, pergantian momen dari bulan ke bulan tampaknya tak terlalu terasa, sehingga suasana menjelang pergantian tahun pun tak terasa sedemikian nyatanya untuk cukup disadari.
Banyak pula mereka yang tidak merasakan perubahan apapun dalam suasana kehidupannya, sekalipun di penghujung tahun. Bagi mereka yang demikian, suasana kehidupan ya tetap sama saja, tak berbeda dengan bulan-bulan yang lain. Perbedaan yang ada mungkin ya hanya pada kalender saja.
Saya sendiri sebenarnya lebih termasuk kelompok yang terakhir, yang tidak begitu merasakan perubahan momen itu. Mungkin bisa jadi itu karena saya juga orang yang termasuk kurang peka alias tumpul. Jadi sekalipun mood orang-orang sekitar saya berubah, saya bisa jadi biasa saja dan tidak terpengaruh.
Inilah gambaran bagaimana waktu tidaklah hanya soal hitungan hidup kita dari lahir hingga kematian. Waktu, sesungguhnya juga merupakan rangkai perasaan kita tentang hidup. Dalam artian ini, waktu tidak selalu berjalan maju seperti ungkapan yang sering kita dengar: waktu berjalan terus.
Tentu saja anda silahkan tidak setuju dengan pernyataan ini. Namun saya belajar bahwa secara sederhana, ada tiga situasi yang menggambarkan relasi kita dengan waktu, dimana waktu ternyata tidak selalu bergerak maju dalam hidup kita.
Yang pertama adalah waktu yang bergerak maju seiring detik demi detik di jam dinding, hari demi hari di kalender. Ini sering kita rasakan sebagai hal yang sudah kita terima sebagai kewajaran, semisal hari Sabtu dan Minggu sebagai akhir minggu yang artinya kita tidak bekerja. Atau Januari yang selalu identik dengan kata ‘baru’ sesuai dengan posisinya yang bulan pertama tahun baru. Atau, bulan Juni dan Juli yang identik dengan masa liburan keluarga. Contoh lain adalah bagaimana tanggal-tanggal di atas tanggal 15 yang kerap disebut tanggal tua, alias keuangan mulai terbatas. Contoh paling mudah adalah perayaan ulang tahun.
Intinya disini adalah waktu memberikan ritme bagi kehidupan kita yang membuat kita merasakan hidup itu bergerak maju ke masa depan, dimana kita melalui proses tertentu yang berulang.
Namun ada saatnya pula dimana kita begitu terikat dengan suatu waktu, atau era, yang kita rasa penting dalam kehidupan kita. Ini kerap kali tidak kita sadari. Semisal ketika kita merasa bahwa masa kecil kita adalah masa terindah dalam hidup, kita tanpa sadar berusaha bertahan pada kondisi itu, dan sulit menerima realitas kekinian yang sesungguhnya kita hidupi. Itulah kenapa kita lihat orang-orang dewasa yang lagi suka berdandan seakan mereka masih remaja. Kita juga pasti pernah bertemu orang-orang yang suka bernostalgia dengan suatu era tertentu di masa lalu, sehingga apapun yang terjadi saat ini layak untuk jadi dicela. Bahkan ada orang-orang yang seakan hidup dalam ruang waktu yang seakan tak bergerak, semisal orang-orang yang bekerja di pekerjaan yang sama selama puluhan tahun tanpa ada perubahan. Pada orang demikian, kerap kali perubahan kecil sekalupun dilihat sebagai bencana
Pada situasi yang kedua ini, waktu seakan tidak berjalan, karena perasaan kita ‘berhenti’ pada suatu momen dalam hidup kita dan menolak menerima kekinian yang sesungguhnya kita hidupi.
Yang ketiga adalah kondisi dimana kita tampaknya tak begitu peduli dan tak terlalu terpengaruh dengan waktu. Dalam situasi ini, seseorang tampaknya masa bodoh dengan waktu. Dalam konteks ini, tidak penting apakah ada momen-momen tertentu yang terkait dengan suatu waktu tertentu. Tidak penting juga apakah ada suatu masa yang penting bagi kita, yang membuat kita merasa ingin kembali ke era itu.
Situasi ketiga ini tampaknya menunjukkan bahwa kita bebas dari waktu, padahal sebenarnya tidak. Malah bisa dibilang situasi ini menggambarkan ‘pengingkaran’ atas waktu atau ‘pelarian’ dari waktu. Pada situasi ini, kita sesungguhnya melalui waktu tanpa sungguh merasakan keberadaannya. Akibatnya, kita memang tidak terjebak dalam momentum-momentum yang melekat pada suatu waktu tertentu, ataupun terjebak dalam nostalgia akan suatu waktu di masa lalu. Tapi kitapun tidak merasakan apa sesungguhnya yang kita lalui, karena kita sibuk mengabaikan perasaan kita dari waktu ke waktu.
Ironisnya, pada ketiga situasi itu, ada suatu kesamaan fundamental. Apapun yang kita alami, kita selalu tak kuasa terhadap sang waktu. Entah kita selalu mengikuti geraknya dan turut merasakan mood yang dibawanya, atau kita memilih bertahan dalam nostalgia di suatu waktu, atau kita sibuk untuk menghindarinya, kita selalu dalam posisi yang ‘kalah’ dan harus menerima.
Kita tampaknya memang adalah budak sang waktu.