Saat ini sudah umum dalam bisnis ada audit internal. Sekurang-kurangnya pasti ada audit internal untuk proses keuangan. Namun sudah banyak juga yang memiliki audit internal untuk memastikan standard kualitas produk atau jasa bisnis yang dihasilkan tetap bagus.
Tapi, mari jujur saja, banyak sekali penerapan audit internal itu hanya jadi rutinitas. Entah itu rutinitas agar jadwal audit yang wajib sudah terlaksana, atau sekedar untuk membuat manajemen bisnis merasa sudah dilakukan pengecekan internal. Ada juga yang berpandangan bahwa audit internal itu bagus untuk menimbulkan persepsi bahwa proses bisnis berkualitas – alias pencitraan. Dan tentu, banyak sekali yang tanpa terasa sudah tenggelam tanpa sadar dalam kebiasaan audit internal sebagai proses birokrasi pemeriksaan dokumen yang terasa luar biasa banyak.
Itu semua tidak masalah, karena ya memang audit internal itu soal memeriksa diri sendiri. Sebuah proses self check! Dan bisnis harus melakukan self check, untuk memastikan bahwa proses kerja yang berjalan sesuai dengan yang dituju oleh bisnis, semakin bisa ditingkatkan efektivitasnya, dan tentunya perlu dioptimalkan seiring waktu.
Tapi tidak jarang, bisnis merasa terlena (complacent) dan berpuas diri (self satisfaction), begitu manajemen sudah melakukan audit internal dan menyelesaikan semua dokumen yang harus diaudit. Perasaan yang timbul adalah, kan sudah diaudit dan beres, tenang deh!
Ini masalah. Apa artinya audit internal, kalau hanya sebagai proses yang disyaratkan, sehingga pokoknya lolos ya sudah beres. Padahal audit internal itu tujuan intinya adalah self-check terhadap efektivitas proses bisnis, dan bukan sekedar document and requirement check.
Karena sesungguhnya self-check itu harus membuat kita terjaga, tidak terlena, dan mencari cara untuk process improvement berikutnya!
the Change Strategist 