Perubahan selalu dimulai dengan membuka atau membongkar sebuah bagian kecil sebagai langkah awal. Hal ini kerap disebut dengan retakan atau cracking.
Cracking tidak bisa sembarangan, tapi perlu perhitungan dan metode yang tepat. Jika tidak, bukan saja tidak efektif, malah bisa membuat perubahan yang terjadi berdampak negatif.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola perubahan dalam organisasi adalah mengolola perubahan kebiasaan. Inilah kunci dalam cracking. Tidak akan ada perubahan yang sungguh bisa terjadi, bila tidak terjadi cracking dalam organisasi yang ‘memaksa’ organisasi tersebut menerima hal baru untuk diadopsi ke dalam proses internalnya. Maka, yang namanya cracking dalam organisasi itu soal merubah kebiasaan.
Nah, merubah kebiasaan itu sulit. Apalagi bila itu perlu dilakukan di organisasi yang sudah mapan, dimana pelaku bisnisnya sudah terbiasa dalam kebiasaan yang cukup mendarahdaging. Ini namanya melakukan cracking di pohon yang sudah cukup besar, tua dan keras. Cracking dalam bisnis macam ini sulitnya bukan main.
Eiitss…..jangan salah duga, cracking di organisasi bisnis yangs udah mapan dan lama, itu bukan karena organisasi seperti itu tidak bisa berubah. Seringkali malah realitas masalahnya justru karena organisasi tersebut sudah terlanjur meyakini kebiasaanya, dan tidak bisa lagi melihat bahwa kebiasaan yang ada perlu dirombak alias mengalami cracking.
Inilah mengapa banyak kita temui kasus-kasus dimana manajer atau pimpinan baru yang masuk atau dipromosikan dengan penuh visi menggelora untuk membawa perubahan, berujung pada kegagalan mewujudkan perubahan yang mereka visikan. Biasanya sih mereka menjelaskan bahwa mereka tidak dapat support penuh dari top manajemen, atau masalah lintas generasi yang membuat organisasi yang mereka pimpin sulit mengikuti kecepatan mereka.
Sebenarnya itu karena stragegi dan taktik menciptakan cracking mereka yang tidak pas. Bisa jadi lebih parah lagi, mereka cuma punya visi dan ambisi tapi tidak tahu bagaimana melakukan cracking-nya.