Neokonservatisme, keberagaman dan keputusan

Relief panel of a ship at Borobudur
Image via Wikipedia

Beberapa waktu yang lalu ada dua isu menarik seputar masalah sosial. Pertama soal ribut-ribut pornografi dan kedua adalah soal sensor demi kepentingan umum. Keduanya menarik, karena logika yang disodorkan adalah demi kepentingan umum. Pornografi dijustifikasikan sebagai merusak moral. Sedangkan sensor perlu karena jaringan informasi tidak hanya bisa menyebarkan pornografi, tapi juga digunakan untuk ancaman keamanan nasional (lihatlah kasus Blackberry di Timur Tengah dan India).

OK, semua itu ada benarnya…….namun tidak sepenuhnya benar! Mengapa? Karena keputusan-keputusan yang demikian hanya menunjukkan kegagalan memahami konstruksi masalah secara utuh yang berujung pada salah identifikasi atas akar permasalahan yang sesungguhnya. Akar pornografi sesungguhnya adalah mentalitas mesum (pervert) yang tidak diimbangi oleh kematangan psikologis. Mereka tidak akan menjadi bermoral dengan sensor, karena moralitas ada dalam kematangan psikologis individual. Keputusan-keputusan yang demikian juga menunjukkan sikap reaktif (bukan solutif) yang mengeksploitasi kebingungan dan kegelisahan masyarakat. Ancaman keamanan bukan Blackberry, karena teroris bisa berkomunikasi dengan beragam media lain. Akar terorisme berupa kesenjangan kesejahteraan dan pendidikanlah yang harus ditangani agar keamanan tercipta.

Hal yang sama adalah situasi dimana perusahaan melakukan sensor terhadap facebook (atau bahkan internet) agar karyawan tetap fokus pada pekerjaannya. Padahal, karyawan yang memang tidak fokus tetap saja akan mencari pengalih yang lain, misal mengobrol. Ini karena pada dasarnya karyawan tersebut memang tidak punya niatan untuk fokus. Intinya, sensor terhadap gejala-gejala sebuah permasalahan tidak akan menjawab akar permasalahan. Memang sensor memberikan sensasi seakan-akan otoritas berhasil mengontrol masalah, dan ini memang memberikan kepuasan semu yang sesaat.

Namun, saya jadi bertanya-tanya…….. Apakah betul ini adalah ketidakpahaman, atau justru kesengajaan yang tersamar? Pada dasarnya adalah hal yang lumrah ketika penguasa, entah dalam konteks negara ataupun organisasi, mengeluarkan keputusan atas nama kestabilan. Namun keputusan selalu mencerminkan bagaimana nilai dan keyakinan dasar (basic values and beliefs) diwujudkan dalam kenyataan. Di organisasi, kita mengenalnya sebagai visi-misi-tata nilai. Dalam konteks negara, kita mengenalnya sebagai ideologi. Nah, bagaimana bila keputusan-keputusan seputar sensor jaringan informasi atas nama perlindungan moral dan keamanan nasional bukanlah keputusan yang rapuh tanpa disengaja; tapi sejatinya memiliki maksud tersembunyi berdasar ideologi tertentu berupa upaya penguasaan atas hal yang lebih mendasar?

George Lakoff, seorang pakar linguistik politik yang cukup ternama di Amerika Serikat mengangkat hal ini dalam bukunya, Don’t Think of an Elephant! Dia mengeksplorasi pandangannya seputar kondisi politik Amerika Serikat pada kurun waktu 2000 – 2008. Lakoff berangkat dari kekecewaan banyak orang atas terpilihnya George W. Bush sebagai Presiden AS selama dua periode berturut-turut. Baginya ini terjadi karena pemikiran/ideologi neokonservatif tanpa disadari berhasil menguasai agenda dan isu-isu publik untuk menyesatkan publik AS sehingga akhirnya memilih Bush.

Lakoff menyatakan bahwa isu-isu konservatif dibungkus sedemikian rupa (framing)sebagai hal yang baik secara universal, sehingga tidak bisa dipertanyakan. Misalnya, serangan militer ke Irak dijustifikasi dengan ‘bungkus’ isu bahwa melakukan apapun demi melindungi tanah air adalah wajib bagi warganegara AS yang cinta negerinya. Penolakkan terhadap keluarga berencana dan hak asasi kaum homoseksual ‘dibungkus’ dengan isu pentingnya mempertahankan nilai-nilai moral keluarga. Akibatnya, orang yang mengkritisi perang Irak adalah tidak nasionalis, dan orang yang mendukung keluarga berencana dan kesetaraan hak kaum homoseksual adalah orang yang merusak moral. Isu lama yang cenderung feodal dan anti keberagaman dibungkus dengan bentuk baru. Apabila dulu isu-isu tersebut dihadirkan melalui ‘perintah’ figur-figur pemimpin konservatif, kini isu-isu tersebut dihadirkan dalam bentuk ‘kepedulian sosial bersama atas nasionalisme dan nilai-nilai keluarga’. Inilah neokonservatisme.

Pola pembuatan keputusan yang serupa mungkin sedang terjadi di Indonesia, khususnya terkait dengan keputusan sensor. Dengan bungkus isu melindungi masyarakat dari kerusakan moral akibat pornografi, maka sensor pemerintah pada media tidak lagi perlu dipertanyakan. Banyaknya masalah asusila pada siswa sekolah digunakan untuk menjustifikasi ide penghapusan pendidikan seks di sekolah. Apabila memang ini yang terjadi, maka masyarakat Indonesia tanpa sadar akan digiring menjadi anti keberagaman dan ‘menyetujui’ penindasan akan kebebasan oleh kelompok-kelompok tertentu, dan penindasan bawah sadar ini adalah ‘layak dan benar’ karena merupakan moral universal dan kepentingan bersama. Bila memang ini yang terjadi, maka yang sesungguhnya terjadi adalah penerapan ideologi konservatif kelompok tertentu terhadap sebuah masyarakat yang beragam dalam bentuk sensor, yang tersamar dalam isu ‘perbaikan moral dan ketahanan nasional’.

Apabila ini benar, maka ada potensi terjadinya pengkerdilan masyarakat, dari masyarakat majemuk yang kreatif dan progresif menjadi masyarakat yang konservatif yang ‘selalu patuh’. Masyarakat secara kolektif ‘dididik’ untuk patuh pada keputusan-keputusan sesat, dan upaya mempertanyakan kesesatan tersebut adalah tindakan amoral dan tidak nasionalis. Masyarakat akan dikondisikan untuk tidak kritis dan tidak berpikiran terbuka. Dari perspektif pribadi saya, inilah dentang lonceng kematian kreativitas masyarakat.

Jadi, mungkin ada baiknya kita belajar mengkritisi berbagai nilai-nilai dasar dan ideologi yang ada di balik setiap keputusan, entah di tempat kerja atau dalam konteks masyarakat yang lebih luas; karena sesungguhnya dampak setiap keputusan bisa jauh lebih dalam daripada yang terlihat.

Posted with WordPress for BlackBerry.

Advertisement

3 thoughts on “Neokonservatisme, keberagaman dan keputusan

  1. Di Indonesia (dan juga di WM), kita tidak bisa sungguh membedakan apa yang di dalam istilah medis sebagai symptoms di satu sisi, dan underlying cause di sisi lain. Symptom adalah gejala permukaan, seperti demam, pilek, pusing, dan sebagainya. Sementara underlying cause adalah akar penyakit yang menjadi penyebab dari semua gejala. Mengobati gejala tidak ada gunanya, selama akar penyakit tidak didiagnosis, dan kemudian diterapi.

    Dalam konteks yang lebih luas, korupsi, kerusuhan, pornografi, tidak efektifnya hukum, lemahnya pemerintah, dan prasangka kultural minoritas dan mayoritas adalah gejala sosial. Sementara kita perlu menemukan dan mencoba memahami akar penyakit yang menjadi penyebab dari semua gejala tersebut. Memang dibutuhkan sebuah analisis yang kritis, logis, sistematis, dan terbuka untuk menemukan dan menghadapi akar penyakit sosial Indonesia.

    Namun sekarang ini distingsi antara symptoms dan underlying cause of our economic,social, and political problems saja tidak disadari. Bagaimana mau dipahami dan dihadapi?

    1. Hehehe……yah, begitulah : ) Saya rasa menciptakan budaya kritis dan dialektis dalam komunitas2 terdekat merupakan hal yang patut dicoba. Mungkin disana akan muncul optimisme untuk masa depan. Sedangkan upaya perubahan makro justru bisa mendera kita dengan gelombang pesimisme : )

Any thoughts?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s