Managing people: The scent of love and the vibe of hope

Over the years, most of us don’t see ‘people’ as the essential area of management. We have personnel management, human resources management, but not necessarily people management. While some people see people management as obscure concept, some see it as the real deal. I’m one of them.

People are not merely about competence, expertise, qualification or credentials. People represent all kind of potentials of individuals in particular setting, such as organization or workplaces. People as a whole is a capital for any organization or business entity. Managing people is as important as managing other forms of capital. Just like financial management or natural resource management, people management has its own distinguishing nature.

We can read many theoretical perspectives on people management. Textbooks, journals and business articles are good sources to find it. But, when it comes to day-to-day practice, I’ve learned that the essential components of people management are these two unlikely management-related terms, love and hope.

Love
What a fussy word to elaborate. But we all know everyone want it, albeit everyone has their own definition. Love is about expectation of happiness. Everybody has this. They might love the job. The might love the money. They might love the power. They might love anything else. Whatever it is, there must be something people love about their job. The worst case scenario, they love the status that they are not jobless, despite the fact that they hate everything about the job.

It is also the love of what we do that makes us proficient of what we are doing. I’ve seen that people will learn at their best when they love what they learn. They will also able to overcome almost all obstacles that get in the way, when they love what they do. The optimal learning experience and the adversity to cope with all hindrances are materials in building the path to expertise and mastery. They also decide whether a talented individual can perform in a quality level relevant with his or her talent potential. The love for the work is the main ingredient in talent management process.

Hope
People need to be hopeful, and yet, it is hope that makes people upset. People management is about evoking social capital in the workplace. Unlike financial capital, social capital really depends on how the community in a certain workplace believe they have the potential and the capacity to get things done. In short, they need to have hope and confidence.

I think social capital is actually observable and tangible. While the definition of this particular term sounds abstract and ambiguous for some, the actual manifestation of it in daily life is very noticeable. It lies within the relationship people have with another. In terms of organization, it is about how people in the same organization share the same hope in bringing about the same vision into reality, the same values in getting things done, and the same trust on achieving things together. We can find these inside, not outside, the people in our organization. What holds all of these together is hope.

Be engaged, be hilarious

Love and hope are not about statistical data. They are about engaging with others. At the very least, they are about effective communication. At  best, they are about constructive relationship. Love is about one’s affinity to his or her own work, and hope is the thread that holds different individuals in a vibrant and creative relationship. Managing people is about engaging all these, it is about how we feel the scent of love  and the vibe of hope in the workplace. It is not easy, but it is possible. I’ve seen it happen, and the feel was exhilarating.

I hope you’ll feel it at your work, where ever you are. If you don’t, perhaps it’s time to create it.

21 thoughts on “Managing people: The scent of love and the vibe of hope

  1. kalau bisa mungkin bapak memberi sedikit gambaran dalam bahasa indonesia pak saya sedikit kesulitan dalam memahaminya, daripada saya salah menafsirkan pak 😀

    Apa benar ini membicarakan menyukai sesuatu semisalnya dalam pekerjaan begitu kah pak?

    1. Ini soal pengelolaan orang (people management) dalam organisasi, Janice. Dan seperti yang kamu katakan, rasa cinta seseorang terhadapa apa yang dikerjakan merupakan salah satu unsur penting dalam hal ini. Sementara yang satunya lagi adalah soal harapan.

      Kalau cinta sifatnya individual, harapan lebih merupakan sesuatu yang kolektif dan dimiliki bersama. Kalau ada cinta dalam individu masing-masing terhadap apa yang dikerjakan, dan disertai dengan harapan bersama atas apa yang dikerjakan sebagai suatu kesatuan; maka people management akan berjalan efektif. Begitu argumenku, Janice

      1. Harapan itu apakah bisa di lihat sebagai sebuah kesempatan pak?

        kalau orang bekerja atas apa yang dia suka maka segala sesuatunya ia akan merasa sebagai sesuatu yang menyenangkan dan memang itu bersifat individual pak…

      2. Bagaimana sebuah kesempatan itu menjadi sebuah batu loncatan namun bukan sebagai penyimpangan pak dalam organisasi?
        Tadi kan bapak jelasin kalau orang sudah melihat hanya hasil, maka tidak akan liat sebagai sebuah unity terus bagaimana untuk mengembalikan ke sistem yang benar jika mereka sendiri tidak punya budaya di dalamnya pak?

      3. Saya tidak mengerti mengapa kesempatan dianggap sebagai penyimpangan, Janice 🙂
        Apabila kesempatan dianggap penyimpangan, maka kreativitas, inovasi dan perubahan adalah penyimpangan dong? Maka banyak perbaikan dan ide-ide baru untuk kemajuan adalah penyimpangan dong?

        Saya sendiri melihat bahwa penyimpangan hanya bisa relevan apabila itu soal pelanggaran hukum. Pada kasus lainnya, penyimpangan seringkali lebih merupakan politik.

        Soal pertanyaan yang kedua, saya pikir jawabannya ya sederhana saja. Kembalikan saja budayanya ke arah yang konstruktif, bukan disintegratif 🙂

  2. Sir, I think if we talk about hope or Vision and mission is looks like beautifull.
    But I found something, I think in the end we sometimes can forget about what we are hoping or Vision and mission as we creating. This is the same in the organization. If the organization have been created vision or mission, and in the future they can forgetting, so they only talking about the profit.
    So how we or the organization can reach that “hope” again if that happened??

    1. This is a question I’ve been waiting for 😉
      Yes, Nielsen, most of the times, hope lost in the way. This is normal. It is forgotten, until people realize that they are no longer see themselves as a unity.
      This usually creates corruptions, unresolved conflicts, and any other destructive situation. This, of course, threaten the productivity and profitability of the business.

      My note is that we should never think of hope in naive way. When we talk about hope, it is not like everyone literally have a same fantastic and beautiful dream. That’s not what I’m talking about. Hope is about strong and clear leadership in a solid and constructive culture. Strong and clear leadership represents vision for future. Strong and constructive culture represents core values derived from that hope, which is shared among all people in the organization. That is the existence of hope in organization.

  3. When I read books about management, I get one result, that the books teach us how to manage something based on experiences. This means that there is no absolute theory about management. Related to People management, I think that I must join a community to get sensitivity about typical character on their community, understanding their culture and then I will know how to manage them.

    1. Yes, I agree, Glenn. It is about sensitivity and sensibility to the surrounding that helps us in managing people. Basically it’s about reaching out and listening to other, suspending our own judgment, and willingness to adapt.
      On the other hand, isolation and distance will only put us on detachment from the community. It sounds independent, but in the reality, it will fail our ability to manage people, and eventually hinder our ability to effectively influence them.

  4. Well done…a nice review to talk about…
    I agree with your review about those both key aspects to manage people (love and hope).
    Hmm, I see your reviewer have her difficulties to understand in english version. So now, I try to be humble in order to comment your writing in Indonesian version.
    Aku secara pribadi sangat setuju bahwa kedua aspek yang kamu sebutkan itu merupakan kunci dalam people management, akan tetapi aku melihat 2 aspek tersebut tampaknya terlalu idealistik – teoritik, dan bagiku masih terlalu absurd dan terlalu pagi untuk melangkah ke sana.
    Aku tidak tahu kalau di bidang usaha yang lain, tapi di dunia industri terutama tempat aku bekerja hal tersebut hampir mustahil dilakukan karena prosesnya tidak bisa dilakukan dengan cepat sementara perubahan yang terjadi begitu cepat dan suka atau tidak suka seringkali menimbulkan ketidakpuasan di lingkungan perusahaan. Sementara kalau kita mau bilang kepuasan, kapan sih manusia itu bisa puas? Dari pengalamanku, kemungkinan bagi kedua aspek tersebut bekerja di level managerial masih ada, akan tetapi bagaimana dengan level worker?
    Aku coba untuk menjelaskan dengan terminologi psikologi tentang kondisi yang aku bilang hampir mustahil tersebut.
    Maslow menekankan bahwa love & belongingness ada di tahap ke 3 dari piramida kebutuhan, untuk para worker bagaimana mereka mau melangkah ke tahap ke 3 lha wong tahap pertama aja begitu sulitnya mereka memenuhi. Di lain pihak kepentingan perusahaan adalah bicara tentang efektivitas dan efisiensi dalam unit usahanya, jadi ya bagaimana perusahaan bisa mendapatkan output yang diharapkan dengan biaya yang seminim mungkin. Di sini saja sudah terlihat sekali gap-nya. Belum lagi kita harus berhadapan dengan peraturan perundangan yang serasa semakin mencekik perusahaan, sekalipun peraturan perundangan tersebut juga tidak sepenuhnya mengakomodir kepentingan para worker. Sebagai contoh kenaikan UMK bagi perusahaan merupakan cost yang cukup berat, sementara di level worker juga tidak sepenuhnya mencukupi KHL, dan waktu mereka lebih banyak terbuang untuk memanage financial mereka dan keluarganya. Kalau mau ditarik akarnya ya kita kembalikan kepada pemerintah, bagaimana mereka melakukan upaya untuk menekan inflasi.
    Masih ada lagi tekanan dari para NGO, dan organisasi buruh serta beberapa oknum yang masih mencari makan dari hasil tekanan2 terhadap perusahaan. So complicated I though. Mereka bagaikan mafia yang menggerogoti perusahaan, sebagian memiliki pemikiran idealis memperjuangkan nasib buruh, sebagian berpikir pragmatis bagaimana mereka mendapatkan keuntungan dari tekanan2 tersebut.
    Worker rata2 juga tidak terlalu berpendidikan tinggi sehingga memberikan pendidikan untuk mereka agar mencintai pekerjaan saya katakan hampir mustahil. Cara berpikir mereka begitu sederhana, asal bisa makan hari ini ya sudah.
    Kemudian untuk aspek yang berikutnya yaitu hope, aspek ini sering bertabrakan dengan kondisi perubahan yang begitu cepat terjadi. Selagi mereka mulai memiliki harapan untuk kondisi yang lebih baik, tiba2 muncul perubahan yang notabene seringkali membuat mereka tidak nyaman dan muncul ketidakpuasan terhadap perusahaan. Lantas bagaimana mau menumbuhkan harapan dalam diri mereka kalau seringkali mereka “disakiti” dengan kondisi perubahan yang muncul.
    Kalau tulisan ini menjadi sebuah titik awal untuk sebuah solusi dari masalah yang muncul aku yang akan pertama kali support. Tentunya aku mengharapkan adanya review yang lebih konkret mengenai “how to”-nya terkait dengan kondisi yang sangat rumit tadi. Yah tentunya kembali lagi pada tulisanmu, semoga harapan untuk mendapatkan solusi lebih cepat terwujud menjadi nyata daripada sekedar diskusi panjang dan seperti kebiasaan orang indonesia yaitu berkomentar seperti layaknya komentator sepak bola. Hehehe…:-)

    1. Hehehehe…..ini komentar yang kutunggu 🙂 Thanks, Bro! Ini pertanyaan panjang, dan jawabanya panjang juga. Bisa jadi post tersendiri nih hahaha 🙂

      Betul sekali, bahwa love and hope terasa utopis, idealis dan tidak realistik. Aku juga mengalami ‘pergulatan’ juga ketika pertama kali mengeksplorasi ini. Berdasar umumnya pengalaman, rasanya love and hope tidak masuk akal bagi penerapan di organisasi. Namun, ada beberapa kasus minoritas yang justru menunjukkan bahwa keduanya adalah hal yang sangat konkret sebagai bentuk social capital, dan bisa efektif.

      Masalahnya, apa kita bisa melihat love and hope ini dengan kontekstal atau tidak. Kalau tidak bisa, ya tentu akan jadi absurd, dan akibatnya, penerapan keduanya dalam people management pun tidak efektif.

      Mari bicara love dulu :-). Konkretnya, seperti yang kutulis, love itu bisa beragam arahnya. Entah itu tempat kerjanya, pekerjaannya sendiri, lingkungan, atau rekan kerja. Bahkan bisa juga status “sudah bekerja”. Ini kuncinya. Seringkali, kita mengukur love orang lain dengan kacamata kita. Ini bisa menyebabkan kesalahan cukup fatal, karena love itu personal. Aku misalnya, sangat jarang menggunakan Maslow. Kenapa? Karena love menurut Maslow sangat romantik, dan itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup dia yang berorientasi pada aktualisasi diri. Masalahnya, pada kalangan tertentu, model Maslow sama sekali tidak kontekstual. Level operator teknis pabrik yang kamu contohkan, misalnya.

      Dari beberapa pengalaman menangani klien di beberapa industri dimana love relevan dalam setting kerja level operator, aku menemukan satu hal penting: Love mereka sepenuhnya pada pemenuhan kebutuhan, love yang instinktif dan mungkin lebih ke needs atau lust. Ini yang sulit dipahami kebanyakan pelaku manajemen. Mereka mengharapkan mereka cinta perusahaan walau merasa tidak puas. Ini tidak relevan. Yang bisa mencintai organisasi, bahkan bisa jadi bukan hanya love, tapi devotion (pengabdian); hanyalah mereka yang merasakan betul nilai membershipnya pada organisasi. Manajemen mungkin bisa merasakan ini, karena mereka sangat jelas bisa merasakan stake, interest dan power mereka dalam menentukan hidup organisasi. Keterlibatan middle management tinggi.

      Sebaliknya, operator yang dipekerjakan dalam status borongan atau per unit; serta merupakan komponen produksi yang sangat dispensable; tentu takkan melihat alasan untuk love pada pekerjaan dan organisasi. Riilnya, mereka berkeyakinan bahwa mereka kan hanya mampir, dan pekerjaan mereka bisa digantikan oleh siapapun (dispensable and replaceable). BIsa jadi peran mereka sebenarnya sangat penting bagi perusahaan. Tapi itu kan pikiran manajemen, bukan persepsi dan belief mereka. Kalau mereka diberitahu bahwa mereka penting, mereka akan dengan sendirinya berpkir bahwa bagaimana mungkin peran yang penting hanya mendapat penghasilan secukupnya? Bagi mereka, kenyataannya mereka cuma pelengkap penderita bagi sistem produksi 🙂

      Dengan sendirinya, sebenarnya tidak ada alasan bagi mereka untuk mencintai posisi pekerjaan dan tempat kerja. Yang mereka cintai mungkin hanyalah hasil kerjanya yang mungkin tidak sempurna. Ini jenis love-nya ibarat orang yang menikah karena ya harus menikah, tapi tidak lebih. Love itu kan makin rendha kadarnya kalau keterlibatan kita rendah. Pada konteks mereka, keterlibatan hampir tidak ada, dan ikatan yang ada hanya semata imbal kerja; itupun sangat rapuh karena ikatan itu dispensable and replaceable. Nah, kalau ada yang nawarin love lebih baik, ya pindah ke lain hati 🙂
      Nah, di jaman yang penuh dengan penjaja cinta ini, level seperti mereka memang mudah sekali untuk tidak komit dan tidak setia hehehe. Karena banyak godaan pindah ke lain hati (dalam bentuk perusahaan lain, NGO baik, NGO jelek, SB baik, SB jelek, parpol, dll), sementara cinta yang sekarang sebenarnya agak terpaksa hahaha……. 😉

      The main point is, they have a totally different context of love with people in the middle management, and definitely with Maslow ;-). I prefer with McGregor models in this. Using the irrelevant framework will deceive us. Kalau kita ingin mereka memiliki cinta yang sama, maka kita harus menirukan sistem buruh perusahaan negara-negara Eropa Utara, Tapi itu tidak realistik di Indonesia. Kalau begitu, jangan expect love ke organisasi atau pekerjaan. Sebaliknya, bentuklah love pada komunitas pekerja yang ada. Sebaliknya, kalau sudah nggak ada love pada pekerjaan dan organisasi, terus mereka juga nggak punya love pada sesama pekerja yang lain, ya udah deh; nggak ada cinta yang layak dipertahankan hehehe….Kalau sudah ada love pada komunitas pekerjanya, manajemen tinggal harus tahu, terampil, dan gesit (agile) dalam berurusan dengan komunitas pekerjanya. Saya sudah melihat ini berhasil di beberapa tempat, bahkan sampai mereka bergenerasi menjadi pekerja. Perlu diingat, sebagaimana cinta dalam konteks apapun; love never perfect, but it will work if we know how to work on it 🙂

      As for hope, I think it’s simpler than love. Yang kamu katakan aku setuju sepenuhnya. Ini pola khas Indonesia, dimana hope itu didefinisikan sebatas hasil lebih baik, diyakini seperti surga dan diasumsikan tidak perlu dimaknai ulang. Yang terjadi dalam realitas Indonesia bukan membangun hope, tapi memberikan janji. Jadi orang dibiasakan untuk mengharap sesuatu dari otoritas, Ini reward, yang kadang dipersepsikan sebagai free reward :-). Ini yang bikin rusak, karena seakan cek kosong diberikan untuk masa depan. Siapa juga yang bisa jamin hehehe…..there is nothing like free lunch.

      Hope itu soal masa depan, dan masa depan itu punya satu sifat pokok yaitu tidak bisa diduga 🙂 Jaminannya cuma satu, yaitu siapa yang mau hope-nya terwujud, ya harus berkreasi, bukan nunggu reward eksternal. Hope itu internally driven. Ini yang harusnya dibentuk oleh leadership organisasi. Berbeda dengan reward, dimana sebenarnya yang punya hope cuma otoritas atau pemilik bisnis; hope dalam people management adalah soal membangun hope dalam setiap orang. Artinya, enterepreneurial sense tidak hanya dimiliki oleh pimpinana, tapi oleh semua pihak. Konsekuensinya, ya harus ada love dulu, sehingga smeua merasa berkepentingan atas pekerjaannya, walau konteksnya beda-beda.

      But overall, aku sepenuhnya setuju bahwa sistem pendidikan dan sistem politik di Indonesia yang membentuk mental ‘tangan di bawah’ dan ‘bukan lautan tapi kolam susu’ membuat love and hope sulit dibangun. Nah, kalau sistem rusak, maka yang bisa diharapkan hanyalah strong leadership yang membangun love and hope. RRC itu contoh paling besar soal ini. Orang Indonesia yan mentalnya minta enaknya tentu sulit memahami bagaimana orang RRC, mulai dari buruh level bawah hingga eksekutif-eksekutif level atas lulusan luar punya love and hope yang luar biasa pada ekonomi negaranya.

      That conclude my comment, Bro 😉

      1. Setuju, tetapi faktor yang harus di perhatikan dalam mengelola SDM adalah kesadaran bahwa mausia adalah driver organisasi. Sering saya menemukan organisasi yang berorientasi pada kepentingan bisnisnya saja, sementara SDM hanya dianggap sebagai business tool yang kebutuhannya tidak diperhatikan. Perusahaan menuntut karyawan loyal, tetapi perusahaan tidak loyal kepada karyawan. akhirnya banyak karyawan yang tidak cinta pada pekerjaanya, mereka kerja untuk cari makan karena revenue mereka Cuma Cukup Makan. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan bisnis perusahaan, karena karyawan hanya bekerja secukupnya, yang penting digaji. padahal, pertumbuhan dan perkembangan bisnis perusahaan membutuhkan passion & kerja keras untuk mencapai highest revenue & productivity. Buat para Boss: Pandanglah karyawan sebagai asset organisasi yang harus dimaintain revenue dan loyalitasnya. Jangan cuma menuntut karyawan.

      2. Hehehehe……”Perusahaan menuntut karyawan loyal, tetapi perusahaan tidak loyal kepada karyawan. akhirnya banyak karyawan yang tidak cinta pada pekerjaanya, mereka kerja untuk cari makan karena revenue mereka Cuma Cukup Makan”

        Ini quote yang penting. Belongingness ideal baru bisa tercipta apabila ada ini. Prasyarat ini, kalau kita bicara konteks Indonesia yang sangat feodal, cukup sulit terwujud.

        Walau demikian, love pada ‘cuma cukup makan’ masih mending daripada ‘sudah tak cinta, tak cukup makan pula’ 😉

        Memang agak rumit kalau bicara soal konteks Indonesia

  5. Well, memang love terhadap pekerjaan dan hasil kerja merupakan key factor bagi para worker untuk bisa bertahan dalam sebuah perusahaan. Akan tetapi jika dikaitkan dengan skema love yang dipaparkan dalam tulisanmu, hal tersebut tidak lah cukup.
    Maslow memang banyak menekankan segi love secara romantic akan tetapi dia juga memberikan penekanan pada tahap ke 3 yaitu belongingness bukan semata-mata sekedar personal love saja.
    Dalam konteks agar karyawan ikut memikirkan segi entepreneurship tentunya juga butuh yang namanya belongingness terhadap perusahaan, bukan sekedar love saja.
    RRC merupakan sebuah negara besar yang bisa kita jadikan contoh untuk topik tentang love and belongingness thd negaranya yang terwakili dalam bentuk nasionalisme yang tinggi. Akan tetapi perlu kita kaji lebih jauh lagi, bahwa RRC membangun “Love” tersebut juga tidak sebentar. Mereka memperjuangkan hal tersebut selama bertahun-tahun dan dengan program serta leadership yang sangat kuat. Ingat RRC menekankan sistem komunisme dalam segala aktivitas dalam negaranya.
    Paparan tentang Love & Hope tsb mungkin saja cocok untuk unit usaha yang tidak padat karya dan campur tangan manusia dalam unit pokok bisnis tidak terlalu kental, sementara untuk yang padat karya tidak semudah yang diucapkan dan bahkan hampir mustahi jika kita melihat kondisi sekarang ini terutama di Indonesia.
    Pada intinya saya setuju jika paparan tsb di atas menjadi sebuah dream yang akan terwujud di kemudian hari. Itupun jika terjadi perubahan yang sifatnya makro yang melibatkan seluruh lapisan baik di tingkat swasta maupun pemerintah, perubahan internal dalam perusahaan saja tidak akan cukup untuk memperbaiki situasi.
    Just a brief of my conclusion.

    1. Hehehe….debat ini makin menarik dan bermutu 🙂

      Tapi pertama-tama, aku harus kuklarifikasi dulu. Ide alternatif yang kutawarkan melalui tulisan ini adalah justru untuk tidak terlalu mengharapkan sense of belongingness pada organisasi/perusahaan itu. Setelah belajar dari beberapa kasus industri, dan beberapa klien, sense of belongingness itu ilusi naif yang bikin kita semua frustasi. Sense of belongingness berangkat dari asumsi bahwa semua orang bisa mencintai satu, dalam hal ini satu cinta untuk organisasi. Tampaknya ini ideal, tapi tidak begitu realistik. Oleh karena itu, yang aku usulkan adalah melihat love itu pada porsi riil yang sesuai konteks masing-masing orang. Sebagaimana di tulisanku, kukatakan bahwa love pada pekerjaan saja sudah cukup untuk people management. Karena pada kenyataannya, ada yang bahkan cuma love pada status ada kerjaan; sisanya, gaji dan sebagainya, mereka tidak puas :-). Tapi ini pun bisa dikelola.

      Soal RRC, aku justru belajar dari teman-temanku dari RRC bahwa nasionalisme RRC yang kesannya sangat sentimentil itu tidak begitu tepat. Image sensasional itu muncul di mata orang Indonesia, mungkin lebih karena proyeksi dari betapa rendahnya nasionalisme riil di negeri ini. Kalau yang saya pelajari, mereka ternyata cinta pekerjaannya. Teman saya yang sedang dalam proses jadi doktor di bidang shrimp aqua culture contohnya. Waktu aku dulu baru kenal dan menyatakan kekagumannya pada RRC yang begitu sensasional, dia malah tertawa dan bialng bahwa sebenarnya mereka biasa-biasa saja. Kata dia, di RRC, profesor bidang peternakan udang itu menghabiskan waktu di tambak, bukan di gedung, walau kantornya lengkap. Profesor bidang pertanian ya hidup di sawah, karena ya memang cinta pada pekerjaannya. Dan dia bilang, itu hal yang umum dan lumrah, nggak selalu ada hubungannya dengan ekonomi atau malah hal-hal berbau negara. Tapi dia bilang, negara yang memberi wadah agar orang mencintai pekerjaannya, tidak mudah silau atau terpengaruh negara lain. Itu yang menurut dia bikin kemajuan. Jadi justru sebenarnya mereka terbentuk dari cinta yang sederhana.

      Kalau soal padat karya, aku tidak sepakat, karena justru tulisan ini diilhami oleh situasi riil yang kutemui di pabrik berisi 6000 orang :-). Ternyata pabrik bisa punya ikllim begini hehehe….bahkan aku sempat mikir, ini pabrik terlalu banyak love-nya. Tapi ternyata bagus. Kuncinya sederhana, love for their work. Tanpa belongingness idealis pada perusahaan, mereka bisa secara sistemik mendukung enterpreneurial spirit perusahaan. Ini pabrik di Indonesia, dan hasilnya kelas dunia. Ini bukan dream, but without many people know, it’s been working well for almost twenty years. Karena inilah, aku akhirnya memutuskan tulis ini.

  6. Well, sepertinya ada perbedaan paradigma tentang belongingness di sini.
    Sejauh yang kupahami tentang belongingness adalah tentang perasaan kebersatuan, yaitu lebih pada rasa memiliki perusahaan berikut segala asetnya karena ketika ada satu atau lebih bagian yang rusak atau disfungsi maka bagian yang lain akan ikut terpengaruh, sehingga dalam segala aktivitasnya mereka benar2 menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan adalah penting dan jika mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka akan berakibat juga bagi keseluruhan organisasi, pada akhirnya akan berimplikasi juga terhadap mereka sendiri, entah itu berupa sumber penghasilannya atau beberapa mungkin merasa benar-benar mencintai organisasinya seperti yang kamu bilang.

    Untuk nasionalisme RRC aku setuju bahwa memang terjadi pergeseran nilai nasionalismenya menjadi cinta pekerjaan seperti yang kamu bilang, akan tetapi jika ditarik atau digali lagi semua berakar kembali pada nasionalisme yang ditanamkan selama bertahun-tahun atau setidaknya trait-trait yang dipahami rakyatnya tentang masyarakat RRC. Kalau kita mengkaji hal ini mungkin tidak terlalu kentara jika objek kajiannya ada di negaranya.
    Kita bisa lihat orang2 chinese yang merantau di luar negaranya. Mereka tidak mengalami doktrin secara langsung tentang nasionalismenya, akan tetapi lebih pada nilai-nilai org chinese yang diturunkan secara turun temurun. Namun toh kita bisa lihat banyak contoh orang2 keturunan chinese yang berhasil (sekalipun ada juga yang menjadi loser) karena mengamalkan nilai-nilai yang diturunkan dengan sedikit nasionalismenya, sehingga ketika mereka menjadi loser atau bertindak menyimpang dari nilai-nilai yang mereka anut, mayoritas akan kembali mengingat nilai-nilai yang diturunkan dan merasa malu (sebagai orang chinese) jika gagal sehingga mayoritas mereka akan bangkit kembali.

    Kalau soal temuanmu di pabrik dengan jumlah karyawan mencapai 6000 orang itu mungkin dengan kompleksitas dan bidang yang berbeda. Dan perlu kita pahami bersama bahwa hal tersebut tidak bisa digeneralisasikan untuk industri dengan kompleksitas yang lain. Sayangnya ada banyak hal yang tidak bisa aku sampaikan dalam tulisan ini, karena menyangkut isu-isu yang cukup sensitif dan confidential. Bahkan sejak awalpun aku berusaha menggunakan bahasa yang tersamar. Kalau seandainya bisa mungkin akan lebih gamblang deskripsinya dan lebih enak mendiskusikannya, hehe….

    But anyway, thanks for the discussion, cukup menyenangkan dan setidaknya mampu melatih otak untuk brainstorming sekalipun masih belum menemukan titik cerah terhadap permasalahan yang terpapar.

    1. Aha, I see! Kalau itu aku sepakat. Kita memang berangkat dari perspektif yang berbeda soal belongingness. Karena aku menduga kita bicara love and belongingness seperti yang diistilahkan Maslow.

      Kalau belongingness yang transaksional seperti yang kamu katakan, aku setuju dan itu relevan dengan yang ide tulisan ini. Prinsipnya memang soal kepentingan bersama (mutual interest) karena semua butuh organisasi jalan. Ini sejalan dengan ide mengkesplorasi love for work yang menjadi ide utama tulisanku ini.

      Soal RRC, aku juga sepakat. Memang sebenarnya akar love for work di RRC berada pada nilai-nilai kemasyarakatan mereka yang sudah berabad-abad. Dan, sebagaimana banyak orang tahu, salah satu nilai kemasyarakatan orang chinese adalah suka bekerja keras.

      Soal perbedaan karakter industri, aku relatif sepakat karena jelas karakter industri menentukan pola kerja dan tata kelola. Hanya aku berhipotesa bahwa ada inovasi-inovasi universal yang perlu kita eksplorasi seputar people management, dan salah satu yang ‘kulemparkan’ adalah love and hope ini. Tentu saja, spesifikasi setiap kasus memang sangat menentukan, karena pola universal tidak pernah bisa applicable. Modifikasi pada detil sesuai kasus lah yang menentukan keberhasilan. No problem soal belum ada titik cerah, karena ini adalah ide inovatif yang coba dilempar. Jusru diskusi ini yang akan mempertajam bagaimana konsep ini berevolusi ke depan. Ini bentuk collaborative marketing kok hehehe 🙂

      BTW, kapan kopi darat nya neh? Yang detil-detil baru bisa dibicarakan kalau kopdar 😉

    1. Kalau boleh, saya ingin memperjelas dulu tentang apa yang rekan Firdaus maksudkan sebagai ‘kasus love n hope’?
      Saya melihat love and hope disini sebagai sebuah prinsip interaksi atau engagement yang perlu dibangun di pekerjaan. Tentu dalam artian bahwa organisasi harus punya desian atau sistem yang membentuk kondisi dimana orang akan bekerja berdasar love and hope. Ini justru lebih efektif diwujudkan melalui hal-hal kecil.

      Jika Firdaus berkenan menjelaskan lebih jauh mengenai ‘kasus love and hope’, saya dengan senang hati akan berbagi beberapa contoh yang pernah terjadi.

Leave a reply to Glenn Cancel reply