the earth surface - globalwarmingart.com
Hari ini, 26 Maret 2011, kita akan melewati Earth-Hour. Sebagian dari kita akan melalui satu jam tanpa listrik sebagai sebuah peringatan atas momen spesial ini. Menarik ketika kita mencermati adanya pertentangan perlu atau tidaknya Earth-Hour ini, serta pula efektif atau tidaknya hal ini dilakukan.
Argumentasi bermunculan. Ada yang bilang apa artinya kalau cuma mematikan listrik satu jam, karena toh itu tak akan membuat dunia lebih baik. Ada pula yang punya argumen bahwa kalau tidak ikut berarti tidak keren, karena sekarang trend-nya adalah cinta lingkungan atau go green.
Bagi saya, terserahlah apa argumen masing-masing soal Earth-Hour. Yang penting, kalau melakukan sesuatu, lakukan dengan hati.
Pandai berargumen, tapi tidak menunjukkan hasil nyata. Itu pintar, tapi tak punya hati.
Kenapa? Karena orang yang punya hati pasti sadar bahwa hidup adalah perbuatan dan karya nyata. Karena segalanya berlalu dengan cepat dalam hidup seseorang. Perbuatan dan karya nyata yang silih berganti yang mengisi proses yang cepat itu. Dari semua itu, orang akan dinilai, apakah ia berkesungguhan hati dalam hidupnya, atau ia hanya semata menghabiskan nafas dalam hal-hal yang dangkal dan tidak berasal dari kedalaman hatinya.
Ini juga soal kebahagiaan. Karena, hatilah tempat bersemayamnya kebahagiaan.
Hati tidak sama dengan emosi dan perasaan membuta. Acap kali, bekerja dengan hati diselewengkan sebagai bekerja dengan selalu senyum dan tak pernah membuat orang lain tak enak hati. Itu namanya bermulutmanis, bukan bekerja dengan hati. Bekerja dengan hati selalu dijiwai oleh prinsip untuk melakukan yang bermanfaat. Bekerja dengan hati, membuat kita berani melakukan hal yang tak populer sekalipun, karena kita tahu kita melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Seorang guru besar dari perguruan tinggi negeri yang menjadi instruktur dalam sebuah lokakarya yang pernah saya ikuti mengatakan sesuatu yang menarik. Dia berkata begini: “Biar bagaimanapun caranya, kalau kita bekerja dengan hati, maka yang keluar adalah hasil yang benar dan bermanfaat”.
Saya rasa dia benar. Apabila memang yang kita lakukan berasal dari hati, maka kita melakukan dengan kesukaan. Kita melakukan dalam keutuhan, karena kita melakukan sesuatu bukan hanya karena kita pikir yang kita lakukan benar. Kita melakukan sesuatu itu juga karena kita merasa bahwa hal itu benar. Berangkat dari berpikir dan merasakan bahwa hal itu benar, kita akan berkomitmen untuk melakukan itu dengan benar pula. Dari itulah, muncul manfaat.
Sebaliknya, ketika kita melakukan sesuatu bukan dari hati, kita tak ubahnya boneka. Kita menjadi dangkal, dan apapun yang kita lakukan sesungguhnya adalah tindakan hampa tanpa rasa. Bagai boneka, kita melakukan, tanpa kesadaran mengapa kita melakukan. Kita melakukan tanpa rasa yang mengiringi setiap gerak kita. Saat badan kita bergerak, jiwa kita hanyut entah kemana.
Lebih sedih lagi ketika kita melakukan sesuatu yang kita tidak sepakati. Jangankan hati, pikiranpun tak mampu memberi penjelasan pada diri sendiri, mengapa kita melakukannya. Di saat yang demikian, perasaan kita akan terasa sesak ketika kita menyadari bahwa yang kita lakukan bukanlah sesuatu dari hati. Inilah kenapa akhirnya mereka yang harus melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan hati mereka, akhirnya belajar ‘membunuh’ hatinya.
Di sinilah tantangan bagi setiap orang. Bekerja dengan hati tidak mudah. Lebih mudah menutup mata dan menjadi ‘mati hati’. Lebih mudah menjadi oportunis yang menyenangkan sana-sini, dan melupakan hati sendiri.
Namun, hati tak pernah bisa pergi. Ketika semua sudah pergi, dan penyesalan menyeruak dalam diri, kita tahu bahwa kita telah melalaikan hati sendiri. Kita jadi tersadar, kebahagiaan pun ternyata bersumber dari hati, saat kita tak memungkirinya. Kita mungkin akan jadi merindukan saat-saat kita bekerja dengan hati.
Jadi, bagaimanakah anda selama ini?
PS: Bagi anda yang akan mengikuti Earth-Hour, lakukanlah dengan hati 🙂
Ya. Saya sepakat dengan tulisan ini. Selama ini saya pribadi selalu melakukan sesuatu dengan hati. Banyak yang suka. Lebih banyak lagi yang tidak suka. Hehehe… “hiduplah seolah besok kamu akan mati. Matilah seolah kamu sudah menjalani seluruh hidupmu dengan penuh.”…
Hehehe….betul 🙂 Ini jaman yang unik. Sepertinya tindakan dari hati tidak selalu mendapat tempat. Tapi, jangan-jangan sudah begitu sepanjang sejarah.
Tampaknya begitu. hehehe.. Sudah sepanjang sejarah orang-orang yang melakukan sesuatu dari hati dan juga dengan hatinya selalu dikategorikan sebagai “the other”. Namun dilihat dari sisi lain, merekalah yang menjadi roda perubahan. Setiap perubahan selalu membutuhkan martir yang siap mati untuk ditelan, demi terciptanya perubahan itu sendiri. Fakta yang menyedihkan memang.
Menurut saya, prinsip dasar orang dalam memproses pekerjaannya hingga selesai adalah:
Si aTun SeHat
Dimana:
Si a adalah Siap menjalankan tugas sesuai dengan pekerjaannya
Tun adalah Tuntas dalam menyelesaikan pekerjaanya
SeHat adalah Sepenuh Hati dalam memproses pekerjaan, dari memulai hingga menyelesaikannya.
Hal ini adalah dasar budaya kerja yang harus ditanamkan, dibiasakan, dan dilakukan setiap manusia dalam bekerja, baik secara individual maupun teamwork, dimana saja.
Sepakat, Bro. Itulah prinsipnya. Tantangannya adalah pada implementasi dalam keseharian.
Implementation is depends on each corporate work culture. Thinking about work culture and daily implementation, I’m sure that every company will be able to implement Si aTun SeHat as long as meet their business process & policies, and it doesn’t become a slogan only.
That’s tricky, though. To meet the business process and policies, we need the implementation of constructive corporate culture 🙂